Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.
Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.
Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Langit Aedhira muram. Matahari seperti malu-malu mengintip dari balik awan kelabu, dan udara pagi itu terasa berat, seakan menyimpan kabar buruk yang belum sempat dikirimkan.
Lyra duduk sendirian di atas akar pohon tua yang mencuat dari tanah seperti tangan tua yang berusaha meraih langit. Sejak kejadian di Kuil Liris, dunia rasanya berubah. Bukan hanya karena penglihatannya soal masa lalu Kaelen dan Auron, tapi juga karena sesuatu dalam dirinya mulai berubah… seolah ada bagian jiwa yang kini tidak bisa lagi dipisahkan dari dunia ini.
Kaelen berdiri tak jauh dari sana, matanya tak lepas dari Lyra. Ia ingin bicara, ingin menjelaskan… tapi apa yang bisa dijelaskan? Tentang pengkhianatan ayah Lyra terhadap Aedhira? Atau tentang darah yang mengikat mereka—dengan cara yang tak pernah mereka bayangkan?
"Jadi..." suara Lyra akhirnya memecah keheningan, “…ayahku tuh dulunya pahlawan, terus tiba-tiba berubah jadi pengkhianat?”
Kaelen menelan ludah. "Nggak sesederhana itu."
"Lucu, ya. Dunia ini emang nggak suka yang sederhana," katanya sambil tertawa kecil. "Tapi makasih, Kaelen. Udah... ngasih tahu aku, meskipun setengahnya bikin aku pengen muntah.”
Kaelen mengerutkan kening. “Kamu marah?”
Lyra mengangkat bahu. “Nggak tahu. Marah, bingung, kecewa... semuanya kayak ngaduk di kepala. Dan tahu nggak yang paling ngeselin? Aku masih mikirin kamu, padahal yang kamu sembunyiin itu berat banget buat aku.”
Kaelen mendekat. “Aku cuma pengen kamu siap, Lyra. Aku takut kalau kamu tahu semua terlalu cepat—kamu bakal ninggalin Aedhira.”
“Terus sekarang aku harus gimana? Nggak ada jalan pulang, Kael. Nggak ada... apa pun lagi.” Suaranya nyaris berbisik.
Angin mengacak rambut Lyra, dan untuk pertama kalinya sejak lama, Kaelen merasa ia tak punya jawaban. Tak ada kalimat bijak, tak ada rencana cadangan. Hanya rasa bersalah.
Tiba-tiba, suara langkah kuda terdengar mendekat. Arven muncul, dengan wajah yang tidak kalah gelap dari awan di langit. “Kita punya masalah.”
Kaelen dan Lyra refleks berdiri. “Masalah apa?” tanya Kaelen.
“Menara Gelap. Satu utusan Raja Kelam datang ke sana... dan membawa nama Lyra.”
Lyra menegang. “Apa?”
“Dia menyebutmu sebagai 'anak warisan Auron'. Mereka bilang darahmu bisa membuka Gerbang Kedua. Dan Raja Kelam... mulai bergerak.”
Kaelen mengepal. “Sial.”
“Bukan cuma sial,” potong Arven. “Kalau itu benar, mereka akan buru Lyra. Dan kalau mereka berhasil membuka Gerbang Kedua, kita nggak cuma hadapi perang. Kita bakal hadapi kehancuran seluruh dunia ini.”
Lyra merasa napasnya tercekat. Dunia runtuh lagi, untuk yang ke sekian kali. Dan sialnya… ia belum sempat bangun sepenuhnya dari yang pertama.
Mereka bertiga kembali ke perkemahan utama yang kini dijaga dua kali lebih ketat. Sejak nama Lyra disebut-sebut oleh utusan Raja Kelam, semua jadi lebih tegang dari biasanya. Arven bahkan melarang siapa pun menyebut namanya keras-keras di luar lingkaran mereka.
“Nama itu bukan cuma nama sekarang,” kata Arven saat mereka duduk di tenda strategi. “Itu udah jadi pemantik perang. Mereka bakal kejar kamu bukan karena siapa kamu sekarang, tapi karena siapa yang dulu ada di darahmu.”
Lyra mengangguk pelan, walau dalam hati ia masih tak percaya. “Tapi aku nggak tahu cara buka Gerbang Kedua. Aku bahkan nggak tahu itu bentuknya kayak apa!”
Kaelen menatap peta besar di atas meja, di mana garis merah ditarik dari Menara Gelap menuju reruntuhan Durnval — lokasi Gerbang Kedua yang hanya ada di legenda.
“Dan kita nggak bisa tunggu mereka sampai ke sana duluan,” gumam Kaelen.
“Masalahnya, kita juga nggak tahu jalur pasti ke Durnval. Lokasinya hilang dari semua peta.” Arven terdengar frustrasi.
“Terus kita cari petunjuk. Atau kita pakai cara nyeleneh,” kata Lyra, suaranya lebih mantap dari sebelumnya.
“Nyeleneh?” Kaelen menaikkan alis.
Lyra berdiri, menggulung lengan bajunya. “Kita ke tempat yang ngaku-ngaku netral dan punya info paling lengkap di Aedhira. Kita ke Perpustakaan Abadi.”
Arven hampir tersedak. “Kamu gila. Tempat itu dijaga para Penjaga Waktu. Mereka nggak bakal suka orang asing masuk ke sana, apalagi kamu yang namanya udah masuk daftar buru.”
“Tapi mereka juga punya semua rekaman masa lalu. Kalau ada tempat yang bisa kasih kita petunjuk soal Durnval, cuma itu.” Lyra menatap dua lelaki di depannya. “Kita nggak punya waktu buat nunggu. Atau kalian mau diam dan nonton aku diburu sambil ngeteh?”
Kaelen menghela napas. “Kamu pasti suka bikin hidup susah, ya.”
“Welcome to my life,” jawab Lyra sambil menyeringai.
Perjalanan menuju Perpustakaan Abadi tidak seperti yang dibayangkan Lyra. Ia kira tempat itu bakal kayak Hogwarts versi hening—anggun, elegan, dan magis. Tapi kenyataannya?
Itu... menakutkan.
Bangunan menjulang dari batu hitam dan kristal biru kehijauan, seakan tumbuh langsung dari perut bumi. Pintu masuknya dijaga dua patung penjaga setinggi rumah tiga lantai, matanya bersinar redup dan bergerak mengikuti siapa pun yang lewat. Belum apa-apa, Lyra sudah keringetan.
“Tempat ini bikin kuduk gue berdiri,” gumamnya sambil mengerutkan hidung. “Serasa kita masuk ke museum horor.”
Arven tersenyum tipis. “Itu karena tempat ini bukan cuma perpustakaan. Ini... penjara. Semua memori, semua peristiwa besar yang ingin dikubur para Penguasa Dunia... disimpan di sini.”
“Termasuk rahasia Durnval?” Kaelen bertanya setengah berharap, setengah ngeri.
Arven mengangguk. “Kalau ada satu tempat yang tahu apa pun tentang Gerbang Kedua... itu di dalam sana.”
Begitu mereka melangkah masuk, suasana berubah drastis. Tak ada suara. Tak ada jejak langkah. Tak ada gema.
Semua terasa... beku.
Lyra merinding. “Kita hidup, kan? Atau kita udah masuk ke semacam purgatorium?”
Suara tawa tiba-tiba terdengar di belakang mereka. Bukan tawa hangat. Tapi yang dingin, datar, dan... terlalu familiar.
“Lucu, Caellum muda. Selera humormu masih sama seperti ayahmu.”
Mereka bertiga berbalik. Sosok berjubah abu-abu berdiri di antara bayangan rak-rak tinggi. Wajahnya tersembunyi di balik tudung, tapi suaranya memancarkan kekuatan.
“Siapa kamu?” tanya Arven, tangannya siaga di pedang.
Sosok itu menunduk sedikit, seperti memberi salam. “Namaku Sorrel. Aku Penjaga Waktu. Dan... aku mengenal Auron Draveil lebih dari siapa pun di Aedhira.”
Deg.
Lyra membeku. Bahkan jari-jarinya terasa mati rasa.
“Kenapa kamu tahu nama ayahku?” tanyanya, pelan.
Sorrel tersenyum samar. “Karena akulah yang dulu mengajari ayahmu cara membuka Gerbang.”
“Aku mengajari Auron... karena kupikir dia akan menyelamatkan dunia,” kata Sorrel, berjalan pelan di antara rak-rak yang menjulang seperti tembok. “Ternyata dia memilih jalan yang berbeda.”
Lyra menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”
“Dia datang ke Perpustakaan ini, sama seperti kalian. Saat itu dia... penuh tekad. Katanya, dia ingin mengakhiri perang. Menghentikan Raja Kelam. Menyelamatkan ibumu.”
Sorrel berhenti, menoleh ke Lyra. Matanya yang kini tampak di bawah tudung berkilau aneh—campuran rasa bersalah dan harapan yang nyaris padam.
“Dan dia menemukan kebenaran. Bahwa Gerbang Kedua tak bisa dibuka... tanpa pengorbanan.”
Kaelen menggertakkan gigi. “Apa maksudmu? Pengorbanan kayak gimana?”
Sorrel mengangkat tangan dan menjentikkan jarinya. Cahaya biru menyala dari ujung rak, dan sebuah dinding cahaya terbuka. Di baliknya, tergantung seperti layar bioskop, adalah potongan memori masa lalu: Auron muda, berdiri di ruangan yang sama, bersama Sorrel.
“Untuk membuka Gerbang Kedua, kau harus menukar sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu... yang tidak bisa dikembalikan.”
Lyra menyaksikan versi muda ayahnya—berambut perak kusut, mata menyala dengan obsesi. “Kalau harus kukorbankan kenanganku, kuambil risiko itu,” katanya dalam memori itu.
Sorrel di masa lalu menunduk, suaranya berat. “Bukan ingatanmu yang akan hilang, Auron. Tapi bagian dari jiwamu.”
“Bagian mana?” tanya Auron.
Sorrel tak menjawab. Tapi Lyra bisa melihatnya. Sorrel tahu Auron tidak akan mundur, bahkan jika harus kehilangan kemanusiaannya sendiri.
“Dia tetap melakukannya, bukan?” tanya Lyra pelan.
Sorrel mengangguk. “Setelah itu... dia berubah. Menjadi sosok yang kau dan ibumu tak kenali lagi. Ia pikir itu harga kecil untuk menyelamatkan dunia... tapi tak sadar bahwa dunia yang diselamatkannya pun akhirnya kehilangan dirinya.”
Lyra menahan air mata yang mengambang di ujung mata.
Kaelen menggenggam tangannya pelan. “Kalau dia kehilangan jiwanya... mungkinkah itu yang membuatnya menghilang?”
Arven menatap layar cahaya itu dalam diam. “Atau mungkin... dia tidak benar-benar pergi. Mungkin dia terkunci di balik Gerbang itu sendiri.”
Sorrel memejamkan mata. “Kemungkinan itu... tidak kecil.”
Lyra berdiri perlahan. “Lalu... bagaimana aku bisa membukanya kembali? Jika aku harus mengorbankan bagian dari jiwaku... apakah itu satu-satunya cara?”
Sorrel menatapnya tajam. “Itu bukan pilihan yang mudah. Tapi jika kau ingin tahu... jawabannya ada di Memori Terlarang. Ruang di mana bahkan waktu enggan berpijak.”
“Dan letaknya?” tanya Arven, kini benar-benar tegang.
Sorrel menunjuk ke bawah, ke dalam lubang yang baru saja terbuka di lantai batu. “Tiga lantai di bawah tanah. Tapi ingat... tidak semua yang kau temui di sana adalah kebenaran. Ada ingatan yang bisa menipu. Bahkan milikmu sendiri.”
Tangga spiral dari besi tua berderit saat mereka menuruni lorong yang makin gelap dan dingin. Dindingnya dihiasi ukiran aneh yang seolah bergerak jika dilirik dari sudut mata. Lyra menggenggam erat lentera kecil pemberian Sorrel, cahaya birunya berpendar lembut—satu-satunya cahaya yang membuat lorong itu tidak terasa sepenuhnya seperti kuburan.
"Aku gak tahu apa yang lebih menakutkan," gumam Kaelen pelan, "gelapnya tempat ini... atau kemungkinan kita ngeliat versi masa depan kita yang... nyebelin."
"Versi masa depan yang nyebelin?" Arven mengangkat alis.
"Yaa... siapa tahu masa depan gua ternyata jadi... eh, pencetak perang atau bapak-bapak pengangguran di tenda oranye," kata Kaelen setengah bercanda, berusaha meringankan suasana.
Lyra hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. Tapi ia tahu... apa yang menanti mereka di bawah tidak akan bisa ditertawakan.
Setelah turun selama hampir sepuluh menit, mereka tiba di sebuah pintu hitam mengilap. Tak ada gagang, tak ada kunci. Hanya simbol berbentuk mata terpejam di tengahnya.
"Harus gimana bukanya?" tanya Lyra.
"Letakkan tanganmu di tengahnya," bisik Sorrel, yang entah bagaimana sudah muncul di belakang mereka.
Lyra mendekat dan menempelkan telapak tangannya ke simbol itu. Mata di pintu perlahan terbuka—muncul bola cahaya yang menyala ungu, memindai wajah Lyra.
Suara mekanik terdengar samar: “Darah Caellum terdeteksi. Akses diizinkan.”
Pintu itu menghilang seperti asap tersapu angin.
Yang mereka lihat di baliknya... bukan ruangan biasa.
Melainkan dunia yang menyerupai mimpi, tapi terasa lebih nyata dari kenyataan. Langit berbintang, lantai seperti kaca bening yang mencerminkan cahaya tak kasat mata. Puluhan pintu menggantung di udara, tiap pintu terbuat dari bahan berbeda—ada yang dari emas, kayu, batu, bahkan bayangan.
"Ini... apa?" bisik Kaelen.
"Setiap pintu adalah memori, atau kemungkinan masa depan," jawab Sorrel. "Kalian harus memilih satu. Tapi hati-hati. Memilih yang salah... bisa membuat kalian terjebak."
Lyra menatap semua pintu itu. Salah satunya pasti berisi petunjuk tentang Gerbang Kedua dan ayahnya.
Ia melangkah ke arah sebuah pintu batu yang retak, terasa familiar tanpa tahu kenapa. Tangannya menyentuh gagangnya...
Dan tiba-tiba, ia tersedot masuk.
Di dalam pintu batu...
Lyra berdiri di sebuah padang rumput berembun. Di kejauhan, terlihat dirinya sendiri... lebih tua, dengan rambut lebih panjang, mengenakan jubah perang hitam dan mahkota perak.
Ia memimpin pasukan, dan di sampingnya... berdiri Arven, juga dalam armor kelam. Wajahnya keras. Beku.
"Dia menjadi... Ratu?" bisik Lyra.
"Aku bukan hanya Ratu..." suara Lyra yang lebih tua terdengar mengerikan. "Aku adalah Penakluk Aedhira."
Tiba-tiba, langit berubah merah darah. Ribuan makhluk terbang mengelilingi langit—makhluk kelam, tak berbentuk, seperti jiwa yang kehilangan wujud. Mereka meneriakkan nama Lyra seperti mantra perang.
Gemetar, Lyra mundur dari pintu itu dan melompat keluar kembali ke lorong antar pintu. Napasnya tercekat.
"Aku... aku gak suka yang itu."
Kaelen menatapnya khawatir. "Lo liat apa?"
"Diriku. Tapi... bukan aku. Seolah... sesuatu dalam diriku mengambil alih. Dan Arven... dia juga berbeda."
Arven diam, tatapannya tajam. Tapi matanya berkedip cepat—ia juga merasakan sesuatu yang aneh.
Sorrel mengangguk. "Itulah sisi gelap kemungkinan. Sekarang... cobalah lagi. Tapi kali ini, jangan hanya pakai naluri. Gunakan hatimu."
Kaelen mengangkat bahu. "Gue coba deh." Dia berjalan ke pintu kayu berukir bulu-bulu burung.
Begitu ia masuk... ia melihat dirinya berdiri di tepi tebing, menatap bintang, sendirian. Tapi damai. Tenang. Tak ada perang. Tak ada kekuatan magis.
Hanya... kebebasan.
Ia keluar kembali dan berkata, "Bukan masa depan paling keren, tapi... gua hidup. Itu udah cukup."
Arven masih diam. Ia memilih sebuah pintu logam dengan simbol mirip serpihan bulan.
Di dalam... ia melihat dirinya berdiri di tengah medan perang. Tangan berlumur darah. Tapi bukan darah musuh—melainkan darah Lyra.
Dan suara di sekelilingnya hanya berkata satu kalimat:
“Pengkhianatan akan datang dari arah yang kau lindungi.”
Arven keluar dengan wajah setegas batu. "Aku... nggak yakin sama yang itu."
Lyra menoleh ke Sorrel. "Apa maksud semua ini? Gak ada satu pun dari ini yang ngebantu kita cari Gerbang Kedua!"
Sorrel menatap ke langit. “Kalian belum membuka pintu yang seharusnya.”
Dan tiba-tiba... pintu dari cahaya biru muncul, menggantung sendiri di ujung lorong.
Tanpa simbol. Tanpa tanda.
Lyra tahu... itu miliknya.
Dengan napas dalam, ia mendekat, membuka pintu, dan masuk.
Begitu Lyra masuk ke pintu cahaya biru itu, dunia di sekitarnya berubah seperti kilatan petir menyambar pikirannya. Tapi bukannya pingsan atau pusing, ia justru merasa... jernih. Seolah seluruh emosinya ditata ulang. Tenang tapi juga tajam.
Ia berdiri di sebuah danau yang memantulkan bintang-bintang. Di tengah danau mengambang sebuah altar batu, dan di atasnya, tergeletak buku kuno berjilid kulit hitam keunguan, seolah bernapas perlahan.
Dari balik kabut, seorang wanita muncul.
Wajahnya mirip Lyra, tapi lebih dewasa. Matanya biru seperti langit musim dingin, rambutnya panjang berwarna perak terang.
"Siapa—" suara Lyra nyaris tercekat, "—kamu?"
"Aku... adalah bagian darimu yang tak pernah kau kenal. Sebuah warisan yang disembunyikan ayahmu demi keselamatanmu."
Wanita itu menyentuh altar, danau di sekeliling mereka tiba-tiba memancarkan cahaya, menampakkan bayangan masa lalu: Auron Draveil berdiri bersama seorang wanita lain yang sangat mirip dengan Lyra. Mereka bertengkar hebat.
"Ayahmu jatuh cinta pada seseorang dari Kaum Cahaya. Tapi hukum Aedhira melarang itu," jelas wanita itu. "Kau lahir dari penyatuan yang tak seharusnya terjadi."
Lyra terdiam. "Jadi... itu kenapa dia menyembunyikanku?"
"Ya. Karena kau adalah satu-satunya kunci yang bisa membuka Gerbang Kedua."
Cahaya dari danau mulai menyorot sebuah celah besar di antara dua gunung, jauh di utara, di tanah yang disebut orang sebagai Hollow Reign—daerah terkutuk yang konon membunuh siapa pun yang memasukinya tanpa warisan darah Caellum.
Lyra menelan ludah. “Gerbang itu... di sana?”
“Benar. Dan hanya kau yang bisa membukanya. Tapi, kau juga harus memilih: membuka Gerbang berarti membangunkan semua kekuatan dalam darahmu. Termasuk sisi yang mungkin tak bisa kau kendalikan.”
Wanita itu mendekat, matanya lembut tapi menusuk. “Apakah kau siap menerima seluruh bagian dari dirimu, termasuk yang bisa menghancurkan orang yang kau cintai?”
Lyra ingin menjawab iya, tapi pikirannya langsung melayang ke Kaelen, Arven, dan bahkan Aether—semua yang pernah berjuang bersamanya.
Ia menunduk. “Aku nggak tahu...”
Wanita itu tersenyum samar. “Kalau begitu... cari tahu dulu.”
Tiba-tiba cahaya dari altar melesat ke arah Lyra dan menyerap ke dalam dadanya. Ia merasa hangat, tapi juga berat. Seolah ada sesuatu yang kini ikut bernapas bersamanya.
Ketika ia membuka mata... ia sudah kembali ke ruangan pintu-pintu bersama Kaelen dan Arven.
“Apa yang lo liat?” tanya Kaelen langsung.
Lyra masih terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Aku tahu di mana Gerbang Kedua. Di Hollow Reign.”
Kaelen mengangkat alis. “Yang katanya terkutuk dan suka ngegigit jiwa orang?”
“Yap,” jawab Lyra, ekspresinya masih kosong. “Dan aku... satu-satunya yang bisa bukainnya.”
Arven menyipitkan mata. “Apa lo yakin kita harus ke sana?”
“Satu-satunya jalan buat ngalahin Veylar dan mengakhiri semua ini... ya lewat Gerbang itu.”
Sorrel muncul dari bayangan. “Kalau begitu, waktu kalian hampir habis. Veylar tahu tentang lokasi Gerbang. Tapi dia gak bisa membukanya—jadi dia pasti akan mengincar Lyra.”
Kaelen bersiul. “Tentu. Gak ada tekanan sama sekali, kan?”
Lyra mendesah. “Kita harus ke Hollow Reign sebelum Veylar. Kalau kita terlambat, aku gak yakin bisa menghadapi dia dalam versi terkuatnya.”
Arven mengangguk. “Kalau gitu... kita berangkat malam ini.”
Di tempat lain…
Veylar duduk di atas singgasana yang terbuat dari tulang dan serpihan kristal gelap. Di sekelilingnya, para penjaga bermata merah menunduk patuh. Seorang mata-mata datang berlutut, napasnya tercekat.
“Tuan… kami menemukan lokasi Gerbang Kedua. Tapi… Lyra juga tahu.”
Veylar tersenyum. “Bagus. Biarkan dia datang. Aku ingin melihat apakah warisan Caellum benar-benar sekuat legenda.”
Lalu ia berdiri. Bayangan di balik tubuhnya membesar, membentuk siluet monster bersayap. “Jika dia gagal menahan kekuatan Gerbang... maka Aedhira akan jatuh. Dan dari reruntuhannya, aku akan bangkit sebagai Tuhan.”
Kembali ke rombongan Lyra…
Malam itu, mereka meninggalkan lorong pintu-pintu menuju jalan rahasia menuju Hollow Reign. Cuaca mulai memburuk. Angin menggigit kulit, dan suara-suara aneh terdengar dari kejauhan—jeritan seperti anak-anak yang tertawa lalu menangis dalam satu napas.
Kaelen menoleh ke Lyra. “Ini tempat paling creepy yang pernah kita datengin.”
Arven mendengus. “Itu baru anginnya. Nanti kalo roh penjaga udah bangun, lo bakal rindu suara angin.”
Lyra diam. Tapi pikirannya penuh. Ia bisa merasakan perubahan dalam dirinya. Sejak menerima cahaya dari altar, inderanya jadi lebih tajam. Ia bahkan bisa mendengar detak jantung Arven yang semakin cepat... karena gugup. Atau karena sesuatu yang ia sembunyikan.
Saat mereka sampai di tepi Hollow Reign, tanah di depan mereka terbuka seperti mulut naga. Langit di atasnya menghitam total.
Tepat di depan mereka, berdiri gerbang raksasa dari obsidian dan urat cahaya perak. Ukiran di permukaannya membentuk dua kata: "Caellum Aeternum."
“Ini dia,” bisik Lyra. “Gerbang Kedua.”
Tapi sebelum ia bisa mendekat...
Suara dentuman keras mengguncang tanah.
Dan dari balik kabut... muncul sosok tinggi berjubah ungu kelam, matanya bersinar merah darah.
Veylar.
“Selamat datang, Caellum terakhir,” serunya dengan senyum miring. “Mari kita lihat... apakah kamu layak mewarisi kunci dunia ini.”
tapi kau di harapkan di dunia edheira