Seorang perempuan bernama Zainab Rahayu Fadillah memutuskan menikah dengan seorang pria bernama Hasan Bahri. Dia menerima pinangan itu, dikarenakan keluarga sang suami adalah keluarga dari turunan turunan seorang tuan guru di sebuah kota.
Zainab dan keluarga, jika mereka adalah dari keturunan baik, maka sikapnya juga akan baik. Namun kenyataannya bertolak belakang. Dunia telah menghukum Zainab dalam sebuah pernikahan yang penuh neraka.
Tidak seperti yang mereka pikirkan, justru suami selalu membuat huru hara. Mereka hampir setiap hari bertengkar. Zainab selalu dipandang rendah oleh keluarga suami. Suami tidak mau bekerja, kerjanya makan tidur dirumah. Namun penderitaan itu belum selesai, adik ipar dan juga ponakannya juga sering numpang makan di rumah mereka, tanpa mau membantu dari segi uang dan tenaga. Zainab harus berjuang sendiri mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miftahur Rahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mau jadi Dokter dan Penyanyi terkenal
“Umi, udah beli buku gambar dan pensil warna Mel dan Abang?” tanya Mel kemudian. Zainab terdiam sejenak.
“Belum nak... Umi belum punya uang untuk belinya. Janji deh, nanti kalau ada duit, Umi belikan ya...” bujuk Zainab.
Keduanya hanya tersenyum, namun dihati keduanya ada rasa kecewa dan sedih.
Zainab mengusap kepala Mel perlahan, lalu menoleh kearah Fatur yang menunduk dan diam saja. Zainab menghela napas lelah.
“Maaf ya bang, umi belum bisa beli pensil dan buku gambar untuk Mel dan abang... Nanti, setelah umi jual pinang, janji deh, umi akan beli buku gambar dan pensil warna untuk Mel dan abang...” ujar Zainab mengecup pipi putranya.
“Ngggak apa-apa Mi...” jawabnya pendek.
Namun dari suaranya, menunjukkan kekecewaan. Melinda juga ikut terdiam.
Suara cempreng, Astuti mengalihkan perhatian anak ibu itu.
“Main yuk...” ajaknya. Mel dan Fatur langsung meletakkan parangnya, lalu berdiri.
“Mau main apa?” tanya Fatur.
“Main pondok, aja gimana?” usul Mel.
Astuti menganguk. Tiga bocah itu bermain pondok disamping rumah Zainab, pondok yang dibuatkan oleh sang ibu, saat libur sekolah.
Tiga bocah itu asyik bermain. Zainab, memandangi dua anaknya dengan menghela napas panjang.
Pemandangan yang membuat Zainab semakin terenyuh saat melihat kedua anaknya, pura-pura menelpon seseorang dengan mengunakan kotak korek api.
“Hallo... Ini saya Mel bu... Dirumah kami ada yang sakit, bisa segera datang kesini?” ucap Melinda, sambil menempelkan korek api ditelinganya.
Pura-pura menelpon seseorang.
Astuti tertawa kecil, ia mengambil kotak kecil miliknya.
“Bu dokter, anak Fatur demam. Bisa segera kesini dan bawa obat?” kata As, dengan wajah yang dibuat khawatir.
Fatur pun tidak mau kalah, menyambar kotak korek api itu dari tangan Mel.
“Saya suaminya bu Dokter... Istri saya pingsan dan anak saya demam tingi. Bisa segera datang?” tanyanya dengan wajah serius yang dibuat-buat.
Detik kemudian, tawa ketiganya pecah, karena geli mendengar, obrolan yang mereka ucapkan sendiri.
Disamping rumah, Zainab berdiri memandangi dua anaknya. Hatinya terenyuh. Dizaman itu, beberapa orang suda memiliki handphone, tapi hanya segelintir orang saja.
Langkah berat, terdengar dari jembatan atau titian depan rumah Zainab. Zainab menoleh, ia melihat sang suami berjalan gontai dengan wajah lelahnya.
Zainab mengerutkan keningnya, apa pekerjaan sang suami yang membuatnya terlihat selalu lelah? Padahal jika dirumah, seharian hanya tidur doang.
Hasan, melirik pada tawa kedua anaknya yang sedang bermain.
“Hei, lagi main apa tuh?” tanya Hasan ramah.
Mel dan Fatur menoleh begitupun Astuti.
“Lagi main rumah-rumahan Yah. Kami lagi masak...” jawab Mel dengan wajah sumringah.
“Kami sedang menelpon dokter, ada yang sakit...” timpal Fatur.
Hasan tertawa kecil. “Waw, nanti kalau udah besar, abang jadi Dokter saja, biar bisa mengobati ayah sama umi jika sakit...”
“Memang Fatur boleh sekolah lagi nanti, jika Fatur sudah besar?” tanya Fatur dengan wajah berbinar.
“Boleh dong... Ayah dan Umi mau lihat Fatur jadi Dokter...”
“Kalau Mel, mau jadi penyanyi terkenal...” imbuh Mel dengan wajah bahagia.
“Makanya kalian harus rajin belajar, biar bisa jadi orang pinter dan menjadi terkenal...” jawab sang ayah.
Ia berjalan masuk rumah.
“Jangan ribut ya mainnya, Ayah mau istirahat...” ucapnya sebelum masuk kedalam rumah.
“Dunia anak-anak memang indah...” gumamnya, melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah.
Ia berbaring pada tikar ditengah rumah. Detik kemudian, sudah terdengar dengkuran halus dari Hasan.
“Bang, nasinya udah matang. Ayo kita makan...” ajak Mel pada abangnya.
Mel menyodorkan sebuah tempurung kelapa yang sudah dipecahkan, yang dibuat untuk menjadi piring, didalamnya ada pasir sebagai nasi.
Fatur dengan sumringah, pura-pura makan dengan lahap.
“Enak banget... Ayam goreng... Mel dan As pinter masak...” puji Fatur.
Zainab belum beranjak dari samping rumah, bersandar pada dinding rumah. Ia mengusap disudut matanya. Ia bersyukur anaknya bisa tertawa, walaupun hidup serba kekurangan.
Saat hari sudah mulai sore, tiga bocah itu berhenti bermain. Mereka malah mandi diparit dan menceburkan diri.
Didalam parit, ketiganya saling bercanda. Zainab mulai memasukkan pinang yang sudah kering dijemur, kedalam goni. Yang masih basah ia masukkan kedalam ember sedang dan meletakkannya disudut dapur.
Hari sudah mulai gelap. Rumah itu nampak sunyi, karena penguninya sudah mulai tidur.
Paginya Mel, Fatur dan Astuti pergi kesekolah bersama. Namun masih mau menyebrang kearah sekolah. Budi dan kawan-kawannya menghadang Fatur.
“Si miskin itu udah datang...” seru Budi.
Teman-temannya tertawa cekikikan. Fatur menunduk, menahan malu.
“Dasar induk gajah, pergi kau dari sini... Kami mau lewat...” teriak Mel garang. Budi dan teman-temannya tertawa.
“Bayar dulu...” ujar Budi melirik teman-temannya, lalu tertawa cukup keras.
“Kau kira ini jalan bapak kau, yang mengharuskan aku bayar padamu, saat lewat?” ujar Mel nampak emosi. Ia turun dari sepedanya dan bercakak pinggang.
“Jangan sok berani bocah kecil. Kalau mau lewat harus bayar dulu...” ujarnya terkekeh.
“Minggir Induk Gajah...” usir Mel mendorong Budi.
Tapi, budi tidak bergeming, malah makin tertawa dengan cukup keras, membuat Mel semakin kesal.
Akhirnya Astuti maju, setelah melihat perdebatan yang panas itu.
“Jangan ganggu teman-temanku... Pergi...” usir Astuti dengan berani. Budi terdiam. Ia tidak takut, ia lebih takut jika Astuti mengadukannya kepada orang tuanya dan gurunya.
Namun detik kemudian, ia berusaha tidak memperlihatkan ketakutannya. Ia tertawa dengan keras. “Lihat, sekarang Fatur dibela sama cewek. Dasar banci...” ejek Budi, mengabaikan kata-kata Astuti.
“Kamu pikir kamu itu siapa? modal badan besar aja, sok-sok mau jadi preman. Belajar dengan benar... Minggir...” bentak Astuti.
“Aku tidak punya urusan denganmu...” jawab Budi dengan dingin.
“Ia temanku, kau berurusan denganku jika kau mengusik temanku...” ucap Astuti dingin.
Budi menoleh kearah Astuti dengan jengah.
“Kenapa kau, berteman dengan orang miskin seperti dia? Kau tidak pantas berteman dengannya...” ujar Budi.
“Apa salahnya? Mau kuadukan sama guru hah?” ancam Astuti.
Budi tertawa meremehkan Astuti.
Astuti berteriak memanggil sang guru, membuat Budi dan teman-temannya kelabakan dan akhirnya memberikan jalan untuk tiga bocah itu.
Namun, dengan sengaja Budi mendorong Fatur hingga terjatuh. Mel yang melihat itu, langsung mengigit tangan Budi dengan cukup keras, membuat anak itu meringis.
Tiga bocah itu, berlari mendorong sepedanya setelah Mel mengigit tangan Budi.
“Dasar miskin...” maki Budi.
Didepan kelas, ketiganya nampak berhenti dan napas mereka terlihat ngos-ngosan.
Setelah istirahat, duduk didepan kelas, Astuti mengeluarkan dua buah buku gambar dan dua buah papan pensil warna. Mel dan Fatur yang melihat itu nampak kaget. Keduanya menelan ludah, keduanya sudah lama berharap mendapatkan buku gambar dan pensil warna, namun sampai kini keduanya belum mendapatkannya.
“Ini untuk Mel dan Fatur, ibu As yang belikan...” jelas Astuti dengan wajah sumringah.
Wajah Fatur dan Mel nampak sumringah dan berbinar. Keduanya sangat senang.
“Terima kasih...” ucap keduanya dengan bersamaan.
“Sama-sama...”
salam kenal ya, jgn lupa mampir di 'aku akan mencintaimu suamiku' 🤗🤗
aku akan datang kalo udh UP lagi 😉
jangan lupa untuk mampir juga yaaa makasihhh