Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.
Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?
Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tenung Kepala Anjing
Setibanya di lingkungan indekos, Dion heran karena beberapa penghuni beserta Anton yang bekerja sebagai petugas keamanan berkerumun di depan kamarnya.
“Ada apa, Pak?” tanya Dion yang baru saja turun dari mobil bersama Meyleen.
Para penghuni indekos tampak kaget ternyata pemilik mobil yang datang bersama Dion adalah seorang gadis cantik. Para pria tampak sibuk memandangi Meyleen sementara yang perempuan berbisik-bisik.
“Seekor anjing mengorek-ngorek tanah di depan kamarmu dan menemukan ini,” jelas Anton sembari menunjukkan sebuah benda terselubung kain putih.
Kain itu tampak kotor karena tanah tapi juga memerah pertanda benda di dalamnya mengeluarkan darah.
“Itu apa, Pak?” tanya Dion.
“Kepala anjing dibungkus kain putih yang ditanam di depan kamarmu. Beberapa penghuni mengaku melihat dua orang pemuda menanamnya di sini pagi tadi,” jelas Anton lagi.
Dion mengernyitkan kening tak mengerti. “Dua pemuda mengubur anjing mati di depan kamarku?”
“Kepala anjing beserta pecahan kaca dan paku-paku berkarat,” Anton menyingkap kain putih yang digunakan untuk menyelubungi benda yang disebutnya sebagai kepala anjing.
Dion kaget setengah mati melihat kepala anjing terpenggal itu. Sekujur kepalanya ditancapi paku-paku besar berkarat dan pecahan kaca.
“Ke mana badannya?” tanya Dion.
Anton tak menjawab pertanyaan Dion. Pria paruh baya itu malah menatap Dion dengan pandangan kasihan. “Kau masih tak mengerti?”
Meyleen yang juga kaget dengan pemandangan itu segera menjauh dan berdiri di samping mobilnya.
Menjawab Anton, Dion yang masih tak mengerti hanya geleng-geleng kepala. Sementara itu beberapa penghuni indekos kembali saling berbisik.
“Ini adalah benda yang dimaksudkan untuk guna-guna,” jelas Anton.
“Guna-guna? Siapa yang akan diguna-gunai pak?” tanya Dion lagi.
Anton mulai kesal dengan kepolosan Dion. “Ya penghuni kamar ini lah.”
“Kenapa ada orang yang ingin mengguna-gunai aku? Oh ya, siapa kedua pemuda yang menanam benda itu tadi?” tanya Dion lalu mengalihkan pandangannya pada Anton dan juga pada penghuni yang masih berkerumun.
“Kami tidak kenal, Bang. Sepertinya bukan orang sini. Mereka tiba dengan mobil dan parkir di depan kamar Abang. Kami kira temannya Bang Dion jadi kami biarkan saja,” jawab salah satu penghuni kos.
“Trus, ada yang lihat dia menanam benda itu?” tanya Dion lagi.
“Tidak ada yang melihat. Tapi Santi, yang kamarnya di lantai tiga mengaku melihat salah satu dari kedua pemuda itu membawa sekop kecil,” jawab penghuni itu lagi.
“Beberapa saat lalu seekor anjing mengais-ngais tanah coba menggali di depan kamarmu dan menggonggong keras ketika mengeluarkan benda ini dari dalam tanah,” Anton menjelaskan apa yang telah terjadi di depan kamar Dion.
“Karena benda ini ditujukan padamu, sebaiknya kamu yang menyingkirkannya,” tambah Anton.
“Mengapa tidak dibuang saja, Pak?” tanya Dion.
“Aku sarankan Dion buang ke sungai saja sekarang,” jawabnya sedikit kesal karena Dion tak punya ide soal guna-guna sedikit pun.
Dion tak ingin kejadian di depan kamarnya itu menjadi tontonan lebih lama menuruti saran Anton. Ia mengambil beberapa tas plastik dan memasukkan benda itu ke dalamnya.
“Maaf kamu harus menyaksikan hal seperti ini saat pertama kali mengunjungiku,” kata Dion yang tidak enak pada Meyleen.
“Sungainya di mana? Aku antar pakai mobil, ya?” Meyleen menawarkan bantuan.
“Tidak usah, aku takut mobilnya ketularan bau busuk. Cuma dekat, di ujung jalan di depan itu,” jawab Dion.
“Meyleen mau tunggu di sini atau di dalam kamar, atau?” tanya Dion ragu.
“Aku ikut denganmu,” jawabnya sambil mendekat pada Dion.
Keduanya pun berjalan menuju sungai yang dimaksudkan oleh Anton.
“Aku heran. Di zaman ini masih saja ada orang yang menggunakan cara-cara seperti ini,” suara Dion memecah keheningan ketika berjalan beriringan dengan Meyleen.
“Dion punya dugaan siapa pelakunya?”
“Aku tak pernah berkonflik dengan seseorang di sini.”
“Bagaimana dengan perempuan?”
Dion terdiam sejenak dan menghentikan langkahnya dan menghembuskan napas panjang. “Aku tak bisa memikirkan apa yang telah kulakukan hingga layak mendapat perlakuan konyol seperti ini.”
“Apa perempuan yang sama terkait dengan pengeroyokan itu?” Meyleen masih menghujani Dion dengan pertanyaan.
Dion tertawa dan menggelengkan kepala. “Sudahlah Meyleen. Kita lupakan saja. Kamu tidak percaya pada hal mistis seperti ini bukan?”
“Lho. Apa hubungannya dengan mempercayai mistis atau tidak?” tanya Meyleen lagi sambil ikut melangkah mengikuti Dion.
“Aku tak ingin Meyleen jadi takut dan tak mau lagi jadi temanku.”
“Tentu saja aku tak percaya pada hal seperti itu. Aku lebih tertarik pada motif pelaku daripada mistis-mistisan,” jelas Meyleen.
Dion yang sebenarnya tak ingin membahas kemungkinan-kemungkinan, mengalihkan perhatian Meyleen dengan menunjuk ke aras sungai yang sudah berada dekat.
“Ah, aku akan merasa bersalah kalau harus melemparkan plastik ini ke sungai,” ujar Dion ketika keduanya sampai di bibir sungai.
“Jelas salah!” timpal Meyleen.
Dion lalu mengangkat plastik dan membalikkannya untuk membiarkan benda itu keluar dan jatuh ke sungai, sementara plastik tetap berada di tangannya.
“Nah sekarang tinggal cari tempat aman untuk membuang plastik,” ujar Dion sembari mengedarkan pandangannya mencari tempat sampah di sekitar situ. Ia kemudian melangkah ke seberang jalan dan membuang plastik di tangannya ke kumpulan sampah yang tampaknya sengaja ditumpuk.
“Aku belum pernah memasuki area permukiman seperti ini di kota Medan,” ujar Meyleen ketika mereka melangkah kembali ke indekos Dion.
“Umumnya pemukim di sini adalah perantau jadi bukan penduduk asli. Lagipula ini tergolong pemukiman baru. Dan kehidupan terkadang keras jadi harus pandai-pandai membawa diri,” jelas Dion.
Mendengar penjelasan itu, Meyleen kemudian mempercepat langkah dan merapatkan tubuh pada Dion.
“Maksudku bukan tindak kriminal seperti jambret, tapi lebih pada perkelahian sesama warga,” jelas Dion sambil tertawa.
“Oh!” seru Meyleen pendek lalu ikut tertawa.
“Bagaimana dengan pertanyaanku sebelumnya? Dion belum jawab,” tanya Meyleen kemudian.
“Pertanyaan yang mana, Nona Mey?” Dion coba berkelit.
“Hei, belum pernah ada yang memanggilku dengan sebutan itu. Enak didengar!” seru Meyleen girang karena Dion memanggilnya dengan sebutan nona.
“Lho! Memangnya tak pernah dipanggil Miss Meyleen?”
“Kalau itu sih terlalu sering.”
“Kan sama saja, Miss Meyleen dalam bahasa Indonesia kan artinya Nona Meyleen.”
Tapi Meyleen tak mau mendebat Dion. Dia tetap merasa bahagia dengan panggilan ‘nona’ yang membuatnya merasa lebih dekat dengan pemuda itu.
“Jejaka Dion, jawab dong pertanyaan tadi!”
Dion tertawa terpingkal-pingkal mendengar penyebutan itu.
“Malah tertawa. Ada yang salah?” tanya Meyleen heran.
“Meyleen kok tahu kalau aku masih perjaka?” ledek Dion lalu melanjutkan tawa gelinya.
“Yang benar apa dong? Tuan Dion?” tanya Meyleen.
“Jejaka memang adalah lawan kata ‘nona’ tapi tak pernah dijadikan sebutan, setidaknya tidak di daerah ini. Sebutan tuan lebih tepat tapi terdengar formal sekali,” jelas Dion.
“Ih. Curang deh! Harus sebutan apa dong yang setara?”
“Sebut saja nama. Sebutan Bung juga cocok, meski sudah jarang digunakan sekarang. Kecuali..,” Dion tak melanjutkan kalimatnya karena ia ragu dan menatap Meyleen sesaat.
“Kecuali apa?” tanya Meyleen penasaran.
“Kecuali Meyleen rela memanggilku dengan sebutan abang,” sahut Dion sambil menaik-naikkan alisnya usil.
Meyleen kembali tersenyum girang membalas tatapan Dion. “Bang Dion… Hmm, boleh juga!”
Kombinasi tatapan dan ucapan itu membuat Dion menyesali idenya. “Tapi jangan dong. Kak Mey kan lebih tua dariku.”
Meyleen yang kadung senang tak menggubris permintaan Dion. Dia terus saja memanggil pemuda itu dengan sebutan abang.
“Bang Dion. Jawab dong pertanyaan tadi?” tanyanya lagi.
Dion garuk-garuk kepala lalu tertawa pendek. Ia tak lagi mengelak dari pertanyaan gadis itu. “Kupikir pelakunya berbeda. Begitu juga dengan motifnya.”
Meyleen yang masih ingin mengajukan pertanyaan harus menahan dirinya ketika keduanya sudah kembali memasuki area indekos Dion.
Keadaan sudah tidak seramai tadi, tapi sekarang sekelompok mahasiswi sedang berkumpul di gazebo yang berada tak jauh dari kamar Dion.
“Dion, kenapa mereka memperhatikan kita seperti itu? Apa mereka penghuni indekos ini juga?” tanya Meyleen yang kini duduk di teras kecil di depan kamar Dion.
“Tak usah dihiraukan. Beberapa dari mereka adalah penghuni sini,” sahut Dion.
Sementara itu di gazebo, para mahasiswi yang memperhatikan kedatangan Dion bersama seorang wanita cantik menjadikan pemuda itu topik pembicaraan.
“Wah pantas Bang Dion cuek dengan cewek-cewek sini. Dia sudah punya pacar cantik. Tampaknya orang kaya lagi,” celoteh seorang mahasiswi yang juga penghuni indekos yang sama dengan Dion.
“Tentu saja Bang Dion akan memilih cewek cantik dan kaya. Mereka sepertinya cocok,” timpal seorang lain.
“Kalian sih kecentilan. Apa mungkin Bang Dion mau memilih cewek seperti kita ini? Standarnya pasti lebih tinggi dong,” seorang lain nimbrung.
“Sainganmu sangat cantik Yuna. Sepertinya cewek Tionghoa tuh, putih sekali,” ujar Lastri pada Yuna yang sedari tadi hanya duduk di sampingnya.
Telinga dan hatinya menjadi sangat panas mendengar pujian-pujian yang dilontarkan pada wanita yang datang bersama Dion. Tak tahan mendengar komentar teman-temannya yang menyindir dirinya, Yuna mengajak Lastri, teman terdekatnya untuk meninggalkan tempat itu.
“Rencana kita sudah gagal gara-gara anjing yang menggali bungkusan itu. Sekarang dia malah pamer cewek,” keluh Yuna pada Lastri.
“Tenang saja. Kita temui lagi orang pintar itu untuk memberitahu bahwa bungkusan itu gagal. Aku yakin ada cara lain,” Lastri coba menghibur temannya.
Dion yang duduk di depan kamar bersama Meyleen sejenak menghentikan obrolan untuk menyapa Yuna dan temannya yang berjalan di depannya.
“Yuna, mau kembali ke kampus, Dik?” sapa Dion.
Yuna tak menjawab sapaan itu. Ia malah menoleh dengan sinis pada Dion dan Meyleen. Selanjutnya ia setengah berlari menjauh dari depan kamar Dion disusul oleh Lastri menuju mobil Yuna yang diparkir di dekat gerbang indekos.
“Dion kenal dia? Kenapa dia tampak marah? Sepertinya dia menangis,” Meyleen penasaran dengan sikap Yuna.
Dion lalu menceritakan bagaimana ia mengenal Yuna yang merupakan teman sekampungnya dan ia kenal sedari kecil. Dion juga tak lupa menceritakan kejadian bulan lalu di mana Yuna menganggapnya sebagai kekasih dan mendapat penolakan dari Dion.
“Jangan-jangan, guna-guna itu adalah ulahnya.”
“Entahlah. Aku tidak punya bukti.”
“Kenapa Dion menolaknya? Cantik bukan?”
Dion tak segera menjawab pertanyaan Meyleen. Entah berapa kali dalam hidupnya mendengar pertanyaan serupa.
Dia menatap Meyleen yang masih menunggu jawabannya. “Aku menganggapnya sebagai adik atau saudara. Kan sudah kenal dari kecil.”
Tapi jawaban itu tak memuaskan Meyleen. “Aku tau di daerah ini ada budaya yang menjodohkan seseorang dengan sepupunya sendiri.”
“Oh. Dalam sukuku disebut pariban. Iya, memang ada tradisi seperti itu. Secara kekerabatan, Yuna memang masih tergolong paribanku tapi bukan sepupu dekat, jauh pun bukan. Hanya berdasarkan kesamaan marga antara ia dengan ibuku,” jelas Dion.
“Jawabanmu politis dan terkesan hanya ingin menghindar dari jawaban sesungguhnya,” gumam Meyleen seolah pada diri sendiri tapi masih terdengar jelas oleh Dion.
“Nona Mey, sudahlah, masalah kecil begitu diurusin,” ujar Dion sambil tersenyum.
“Urusan cinta bukan urusan kecil, lho. Kerap sekali justru menjadi penentu masa depan seseorang. Lagipula kan mumpung di sini. Kalau di kantor kita bahas pekerjaan seharian, lha ini belum juga satu jam,” Meyleen sedikit merengek.
“Baiklah. Yuna memang cantik, tapi aku tak tertarik padanya. Sedari kecil aku memang suka padanya yang manja, lucu dan baik, tapi hanya sebatas itu. Lagipula aku ini anak tunggal jadi aku tak bohong ketika mengatakan aku menganggapnya seperti saudara.”
“Hanya saja, bertemu kembali dengannya ketika ia sudah tumbuh sebagai gadis dewasa sekarang membuat hatiku hambar. Pergaulannya terlalu bebas, sikap, gaya bicara dan cara berpakaiannya terlalu vulgar. Ia suka bertindak sesukanya. Mungkin karena terlalu dimanja oleh orang tuanya,” Dion menjelaskan mengapa ia tidak lagi menyukai Yuna.
“Dion seorang konservatif, ya?” tanya Meyleen tapi lebih terdengar sebagai komentar.
“Tentu saja, sebagai orang timur dan beragama. Meskipun dalam banyak hal aku menganggap diriku liberal,” jawab Dion.
“Aku pernah dengar istilah, cinta ditolak dukun bertindak, benar istilahnya begitu?”
Dion pun kembali tertawa dengan pernyataan Meyleen. “Istilahnya benar! Tapi soal apa Yuna coba mengguna-gunaiku aku masih tak yakin.”
“Ih, kenapa Dion masih bersikap seperti ini. Seseorang coba mencelakakannya tapi ia biasa saja. Tapi sikap seperti itulah yang membuatnya justru berbeda dari orang lain. Dia selalu saja bersikap positif. Apa dia benar-benar selugu itu? Apa dia tak pernah merasa dengan ketampanannya ia dengan mudah memikat gadis-gadis,” gumam Meyleen dalam hati, gemas dengan sikap Dion.
“Nona Meyleen. Lagi memikirkan apa?”
Suara Dion membuyarkan lamunan Meyleen. Ia pun sedikit berbohong. “Ah, bukan apa-apa, Bang Dion! Aku hanya berpikir soal pertemuan kita tadi dengan Kiki dan soal peluang marketing yang bisa kita manfaatkan dengan kegiatan maraton itu.”
Dion kembali tertawa geli mendengar Meyleen memanggilnya abang dengan nada manja. Tapi ia kembali bersemangat dengan topik obrolan yang kembali membahas maraton.
Tak terasa mereka sudah berbincang selama satu jam lebih di depan kamar Dion dan terpaksa berhenti karena mereka harus menuju gimnasium.
...***...
Malam harinya sepulang dari kantor, Dion kembali bercengkerama dengan Melati melalui mimpi. Dion menceritakan penemuan kepala anjing yang dibungkus kain putih dan ditanam di depan kamarnya.
“Aku tahu siapa yang melakukannya. Itu tuh kekasih masa kecilmu. Ia yang menyuruh dua orang pemuda temannya melakukannya tadi pagi,” jelas Melati sedikit ketus.
Dion sedikit terkejut dengan nada bicara Melati, tapi ia memilih diam saja.
“Aku melihat Yuna duduk di dalam mobil ketika kedua temannya menanam bungkusan putih menggunakan sekop,” sambung Melati.
“Apa guna-guna seperti itu sungguh-sungguh bisa mencelakai seseorang?” tanya Dion sedikit khawatir.
“Aku juga tak tahu. Kita lihat saja apa yang bisa mereka lakukan dengan itu. Dion harus menjauhkan diri dari si Yuna itu. Dia bukan orang baik-baik dan sudah bermaksud jahat padamu,” Melati menasihati Dion.
“Seingatku dia gadis yang baik. Mungkin hanya salah pergaulan saja. Apa tak sebaiknya dinasihati dahulu,” ujar Dion.
Melati sejenak memandangi Dion yang masih saja ‘ngeyel’ membela Yuna. “Bukankah Dion sudah pernah beri nasihat itu padanya? Dion harus lebih berhati-hati dengan orang yang jelas-jelas berniat jahat. Saranku lebih baik dijauhi.”
“Dia pasti marah karena usahanya mengguna-gunai dengan kepala anjing itu gagal ditambah Dion tadi membawa teman wanita, dia pasti cemburu. Kemungkinan ia akan melakukan hal gila lainnya,” imbuh Melati.
“Apalagi dia cantik. Panggil-panggil ‘Bang Dion’ lagi. Bagaimana hubunganmu dengan dia?” Melati kembali ketus.
“Biasa, Kak, tidak ada yang istimewa,” Dion tak menghiraukan kalimat bernada cemburu itu. Dion bahkan sudah merebahkan tubuhnya di samping Melati yang sedang menonton televisi.
“Kak, sekali-sekali aku ingin mengajak Kak Melati jalan-jalan,” Dion mengalihkan topik pembicaraan.
“Sudah lewat tengah malam. Nanti orang heran kalau melihat kamu berjalan-jalan sendirian,” sahut Melati, masih menyimpan sedikit kesal.
“Kak, aku kan punya tabungan. Aku ingin beli sepeda motor supaya bisa membawa kakak jalan-jalan tengah malam,” cetus Dion sembari membalikkan badannya dan menghadap Melati.
“Jangan habiskan tabunganmu. Biarkan bertambah dulu.”
“Aku ingin ajak Kak Mel makan bakso trus lihat-lihat kota di malam hari,” tambah Dion tapi Melati seakan tak menghiraukannya dan terus larut dalam tontonannya.
Akhirnya Dion pun bangkit menuju dipan. Tapi bukannya rebah di situ, ia malah mengambil bantal dan kembali merebahkan diri di sisi Melati dan tertidur.