MENIKAHI Mr. Arrogan

Hampir jam sembilan malam, udara terasa sangat dingin menembus kulit meski cuaca malam ini terang benderang.

Hana pulang ke apartemen sembari menenteng beberapa bahan makanan juga beberapa stok minuman. Karena sejak hamil, ia menjadi sosok yang doyan makan apalagi jika hari menjelang tengah malam seperti ini.

Dengan langkah pelan, Hana memasuki apartemen. Sesaat, ia mengintip tetangga barunya. Hening, mungkin karena baru pindah jadi kemungkinan besar penghuninya sedang istirahat. Selain Novy, ia tak mengenal siapapun di apartemen ini. Barangkali, tetangga barunya juga seramah Novy mungkin Hana akan memiliki lebih banyak teman lagi. Hana lantas masuk ke dalam rumah.

"Ehm, tiba-tiba aku pengen makan mie kuah ala korea. Sepertinya ini kemauan kamu ya sayang!" Hana tersenyum mengusap perutnya yang masih belum kentara.

Air liurnya hampir menetes membayangkan betapa menyenangkannya makan mie kuah sambil menikmati udara dingin di balkon. Menatap hiruk pikuknya Surabaya malam hari dari atas sepertinya akan menjadi pilihan terbaik.

Hana menatap semangkuk mie itu dengan senyum sumringah dan ekspresi tak sabar. Ia menaruh di atas nampan bersama sebotol air mineral lalu membawanya ke balkon apartemennya.

"Ehm, jam segini baru mau makan bu?" canda Novy tanpa sengaja memergoki Hana yang tengah menyantap mie kuah di balkon kamar.

Novy adalah tetangga apartemen Hana di sebelah kanan sementara sebelah kiri dihuni oleh Kenaan.

"Iya, aku lapar. Beginilah kalau hamil, bawaannya makan terus. Kau mau?" tawar Hana.

Deg.

Kenaan susah payah menelan ludahnya mendengar suara familiar itu. Tubuhnya mendadak merosot ke lantai. Dengan tangan memegang sepotong roti yang berusaha ia makan. Namun, semua terasa berat, dadanya tiba-tiba sesak.

"Hana? Apakah itu Hana?" batinnya.

"Ah tidak, aku ini." Novy mengangkat minumannya. Menunjukkannya pada Hana.

"Jangan terlalu banyak makan mie instan, Hana. Wanita hamil harus menjaga pola makan sehat. Mainlah kesini, aku ada banyak stok makanan!" tawa Novy yang ia pikir Hana makan mie karena berhemat.

Kenaan menjatuhkan rotinya, dengan sisa tenaga berusaha berdiri dan memastikan pendengarannya.

Dan benar, wanita itu adalah Hana sang istri yang kabur darinya.

"Hana," batinnya sesak.

Apalagi mendengar Hana hanya makan dengan mie kuah membuat pertahanan dirinya runtuh ke dasar paling dalam.

Kenaan bangkit, ia mencari tempat aman untuknya memperhatikan Hana. Sang istri masih keliatan cantik, hanya sedikit lebih berisi.

Kenaan menatap sepotong roti yang tenggorok di lantai, sudah beberapa hari ia tak mendapat asupan dengan baik. Namun, dibandingkan apa yang dilalui Hana itu bukan apa-apa.

Kenaan segera bangkit, setelah Hana masuk ke dalam. Dengan ragu dan langkah berat ia keluar apartemen.

"Aku harap kesempatan keduaku masih ada," gumam Kenaan. Ia menekan bell apartemen Hana karena tak sabar untuk bertemu sang istri.

"Huaaa, kenyangnya!" Hana menguap pelan setelah perutnya terisi, akan tetapi bunyi bell apartemen membuatnya mengerutkan kening.

Melihat jam di dinding, Hana akhirnya membuka pintu apartemennya.

Barangkali, Novy datang berkunjung.

Ting!

Pintu apartemen berhasil terbuka setelah Hana menekan angka sandi. Namun, betapa terkejutnya ia mendapati sosok yang saat ini berdiri di depan pintu apartemen adalah Kenaan.

Brukk! Kenaan menjatuhkan tubuhnya bersujud di hadapan Hana.

"Ha-Hana," lirih Kenaan.

Hana diam, ia terkejut dengan keberadaan Kenaan di apartemennya. Hana pikir, suaminya tak akan mencari. Namun, yang terjadi malah Kenaan tampak sangat menyedihkan! Wajah pucat dan rambut acak-acakan.

"Ada apa?" tanya Hana dengan wajah datar berusaha menyembunyikan rasa ibanya.

"Aku minta maaf, aku mengaku salah. Tolong ampuni sikapku selama ini," lirih Kenaan tergugu.

Kenaan rela menjatuhkan harga dirinya demi mendapat ampunan dari sang istri.

"Aku tidak ingat apapun di malam itu. Malam itu, aku hanya ingat bangun seorang diri di kamar hotel dengan penjagaan Aiden. Hana, jika itu kamu kenapa? Kenapa kamu diam saja saat aku--" Kenaan tak sanggup melanjutkan kalimatnya, rasa salah mendominasi hingga membuat seorang Kenaan Atharis tak mampu mengatakan apapun.

"Terus, apa kamu akan percaya jika aku mengatakannya? Menurutmu, apa aku akan bersikap bodoh setelah beberapa bulan baru tahu kenyataan itu? Kenaan, pulanglah jika tujuanmu kesini hanya untuk membujukku kembali." Hana memalingkan wajahnya ke sembarang arah, ia tak ingin mengasihani Kenaan saat ini meski lubuk hatinya sungguh bertolak belakang dengan sikapnya.

"Paling tidak, maafkan aku dan kita perbaiki semuanya," mohon Kenaan.

"Bangun! Kau tak perlu menjatuhkan harga dirimu demi wanita kotor sepertiku Kenaan Atharis! Cepat bangun!"

Kenaan bangkit, ia menunduk dalam. Sungguh kebodohan yang mungkin akan selalu diingat oleh Hana, dimana dirinya menganggap sang istri layaknya kertas kotor yang pantas dibuang.

Kenyataannya, Hana-lah satu-satunya wanita yang mengusik hatinya, mengoyak jatuh harga dirinya bahkan memporak porandakan isi otaknya.

"Bisakah kita berbaikan? Kau masih istrku? Sah dimata hukum dan agama!"

"Kalau begitu, kita sudahi saja pernikahan tak sehat ini. Toh kamu sudah melihat bukan? Tujuanku sudah tercapai. Mamamu sudah menganggap lunas hutang-hutang ayahku."

Kenaan berusaha meraih tangan Hana akan tetapi dengan segera Hana menghindar.

Namun, bukan Kenaan namanya jika ia menyerah begitu saja. Dengan gerakan cepat ia meraih tubuh Hana dan memeluknya.

Pelukan yang membuat Kenaan tenang dan jauh lebih baik. Bahkan rasa mual yang sempat melanda karena memaksa makan tadi seolah lenyap begitu saja.

"Lepas, Ken! Kau selalu semaumu dan memaksaku, aku bukan boneka! Aku wanita yang bisa merasa sakit," ujar Hana lirih. Air matanya menetes, betapa sebenarnya dalam hati ia juga sama-sama tersiksa oleh jarak. Salah paham menghantarkan mereka pada ego yang tinggi.

"Sebentar saja, beberapa hari ini aku tak bisa makan dengan baik. Tenagaku habis," gumam Kenaan tak kalah lirihnya.

Hana mematung, ia tak membalas pelukan Kenaan akan tetapi juga tak lagi menolak apalagi memberontak.

"Itu karma, kau tau karma?" decak Hana lalu mendorong Kenaan mundur.

"Hya, aku tahu ini karmaku karenanya. Aku minta maaf, tapi sekarang aku yakin kalau kamu sedang hamil anakku!" Kenaan tersenyum tipis.

"Sudahlah, aku mau istirahat. Jika tidak ada hal penting lain lebih baik kamu pergi. Pernikahan kita sudah sehat, ada baiknya kita akhiri saja!"

"Tapi Han?"

Hana mundur, ia segera masuk dan menutup otomatis pintunya.

Kenaan terduduk, meremas lututnya.

Mungkin benar, maaf saja rasa-rasanya tak akan cukup menghilangkan jejak sikap buruknya.

Kenaan kembali masuk apartemen dengan perasaan entah. Sedih, tapi juga lega bertemu dengan Hana bahkan memeluknya.

Perasaan Kenaan jauh lebih baik sekarang. Setelahnya, ia akan tetap berjuang mendapatkan kembali hati sang istri.

Sementara Hana di dalam kamar menghela napas, ia masuk ke dalam kamar. Berusaha menghapus air matanya yang luruh setelah mati-matian bersikap kejam pada Kenaan.

"Apa aku harus memaafkanmu? Atau mengakhiri semuanya?" dilema Hana dalam isak kecil tangisnya.