Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Akrab…
Jingga terus menatap layar TV, pura-pura fokus. Padahal otaknya penuh tanda tanya. Savero… kok bisa beda begini?
Savero yang biasanya hanya mengucapkan kata-kata yang sinis, nyelekit dan tak berperasaan itu, malam ini terasa… aneh. Bukan sekadar lembut, tapi juga… penuh perhatian.
Pria tampan itu tiba-tiba melirik Jingga, lalu bergumam, “Kamu sudah makan?”
Pertanyaan sederhana itu sukses membuat Jingga menoleh cepat, matanya melebar. “Hah?”
“Saya tanya, apa kamu sudah makan?” ulang Savero, kali ini lebih jelas, meski wajahnya tetap datar.
Jingga mengedip cepat, lalu tertawa pendek. “Astaga, saya beneran harus catat ini di kalender. Pak Savero menanyakan saya udah makan atau belum? Biasanya kan kalimat yang keluar dari mulut Bapak tuh… ‘kerjaanmu salah’, ‘laporanmu kacau’, atau ‘gajimu kepotong’. Ini tiba-tiba nanyain masalah perut saya.”
Savero menahan senyum, meski ujung bibirnya sempat terangkat. “Jawab saja.”
“Udah,” sahut Jingga, lalu dengan cepat menambahkan, “makan mi instan tadi.”
Savero menghela napas, lalu beranjak berdiri. Jingga spontan menoleh heran. “Hei, mau kemana?”
“Bikin sesuatu di dapur,” jawabnya singkat.
Lima belas menit kemudian, ia kembali sambil membawa dua gelas susu hangat dan sepiring roti panggang. Meletakkannya di meja depan Jingga.
Jingga terdiam beberapa detik, memandang piring itu seperti melihat benda asing dari planet lain. Lalu perlahan ia menoleh pada Savero. “Bapak yakin nggak salah alamat? Ini buat saya?”
Savero mendesah pelan. “Ya buat siapa lagi? Kucing?”
Jingga ngakak. “Gila! Saya beneran curiga, jangan-jangan Bapak ketuker jiwa sama orang lain deh. Atau jangan-jangan Bapak habis ketabrak mobil, terus kepribadian Bapak berubah? Itu sering tuh di sinetron.”
Savero memijat pangkal hidungnya, menahan sabar. “Kalau tidak mau, buang saja.”
“Eh, mau kok!” Jingga buru-buru meraih segelas susu, meniupnya pelan, lalu meneguk sedikit. Matanya menyipit, lalu tersenyum kecil. “Nggak nyangka Bapak bisa bikin susu sehangat ini. Saya pikir semua yang Bapak sentuh berubah jadi dingin juga.”
Savero menoleh cepat padanya. Tatapan itu membuat Jingga tiba-tiba terdiam. Ada sesuatu di sana, bukan tatapan bos jutek, bukan tatapan orang asing yang terpaksa menikah dengannya, tapi tatapan yang lebih ramah, hangat.
Jingga menelan ludah, salah tingkah. Untuk menutupi degup jantungnya, ia kembali melontarkan canda. “Ya Tuhan, jangan-jangan Bapak amnesia… lupa kalau saya orang yang Bapak benci?”
Savero langsung terbatuk kecil, wajahnya panik. “Siapa yang benci sama kamu?.”
Jingga tertawa lepas. “Hahaha, saya cuma bercanda, Pak Suami. Tapi serius, Bapak malam ini aneh banget. Saya jadi takut.”
Savero menunduk sebentar, lalu berkata lirih, “Kalau saya berubah, apa itu hal yang buruk?”
Kali ini Jingga terdiam cukup lama, tak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu keluar dari mulut pria yang selama ini ia anggap super jutek.
Jingga menatap Savero lama, lalu mengangkat sebelah alis. “Bapak nanya sendiri tuh, ‘kalau berubah apa buruk?’ Serius? Ini saya harus jawab dengan jujur atau jawaban bohong supaya Bapak tidak marah?”
“Jawab jujur,” ucap Savero singkat, padahal jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
Jingga menaruh gelas susunya di meja, lalu mencondongkan tubuh. “Hmm… sejujurnya, saya sih seneng kalau Bapak berubah. Tapi ya… saya takut juga.”
Savero mengerutkan dahi. “Takut?”
“Iya, takut Bapak tiba-tiba balik ke mode super jutek lagi. Ntar saya udah senyum-senyum, eh, besoknya gaji kepotong lagi. Kan sakit, Pak Bos.”
Savero berdehem, wajahnya makin memerah. “Saya tidak… “
“Eh, eh!” Jingga tiba-tiba menempelkan punggung tangannya lagi ke pelipis Savero. “Saya serius deh. Jangan-jangan Bapak demam? Kok bisa berubah drastis gini?”
Savero langsung membeku. Seperti tadi, sentuhan kecil di pelipisnya membuat tubuhnya menegang, gugup sekali. Kali pertama ia bersentuhan dengan Jingga secara sadar, bukan karena pengaruh minuman
Jingga makin jahil. “Hmm… suhu normal sih. Jadi kalau bukan demam, jangan-jangan Bapak lagi jatuh cinta sama seseorang ya?”
Savero terbatuk kecil, buru-buru menyingkirkan tangan Jingga dari pelipisnya. “Kamu ini… bicara apa sih?”
“Hahaha!” Jingga menepuk pahanya, puas melihat wajah Savero memerah. “Astaga, saya nggak nyangka! Bapak bisa salah tingkah juga, ternyata.”
Savero berpaling, pura-pura fokus pada roti panggang di piring. “Makan saja, jangan banyak bicara.”
“Wih, makin jelas nih. Jadi Bapak sedang jatuh cinta sama artis yang mana?” Jingga mencondongkan tubuh, menatap Savero lekat-lekat, senyumnya nakal.
Savero memalingkan wajah, telinganya memerah. “Artis? Kenapa artis?”
“Pasti kalangan artis atau model dong yang bikin Bapak jatuh cinta, gak mungkin rakyat jelata seperti saya kan?”
Savero mengerutkan kening, “Kenapa tidak mungkin?”
“Jadi, Bapak jatuh cinta pada orang biasa seperti saya?… katakan, apa itu pegawai di kantor? Di departemen mana? Marketing? Humas? Atau jangan\-jangan… di bagian keuangan?” Selidik Jingga, terkejut sendiri.
Savero tiba-tiba berdiri, meraih gelas di atas meja. “Saya… ke dapur dulu.”, lalu melangkah cepat keluar kamar.
Jingga ngakak keras. “HAHAHA! Ya Tuhan, baru kali ini aku lihat Bos besar salah tingkah! Aduh, lucu banget sumpah.”
Savero berdiri di luar kamar, menyandarkan tubuhnya ke pintu. Mengusap dadanya yang berdetak tak karuan. Ia berusaha mengendalikan diri, tapi senyum kecil akhirnya lolos juga.
Di kamar, Jingga masih cekikikan, lalu bersandar ke sofa, “Pak Suami ini bisa lucu juga ternyata.” Ujarnya.
Lalu tiba-tiba punggungnya menegak, “Sebentar… kira-kira siapa gadis di departemen keuangan yang Pak Savero taksir ya? Kalau Mba Vivi…. gak mungkin, soalnya udah nikah. Mba Meri? Lebih gak mungkin, usianya jauh di atas Pak Savero. Terus siapa? Apa mungkin Lidya? Gak mungkin juga… kayaknya gak bakalan suka sama cewek lebay kayak Lidya, atau jangan-jangan… Nisa?” Gumamnya, sibuk sendiri
Malam makin larut. Lampu kamar hanya tinggal menyisakan satu bohlam redup dari lampu lantai di sudut, menebar cahaya kekuningan yang lembut.
Sofa di sisi kiri kamar kini menjadi tempat beristirahat Jingga. Ia meringkuk dengan posisi setengah menyamping, selimut tipis hanya menutupi pinggang ke bawah. Napasnya teratur, sesekali bergeming mencari posisi nyaman. Rambutnya yang panjang tergerai kusut, menutupi sebagian wajah.
Savero berdiri di dekat meja kerja yang menempel ke dinding, pura-pura sibuk menata berkas. Sebenarnya matanya sudah sejak tadi terpaku pada sosok yang tertidur di sofa itu. Ada sesuatu di dalam dirinya yang tak bisa ia cegah, semacam rasa hangat yang pelan-pelan menjalar dan mencairkan hatinya yang selama ini ia biarkan beku.
Ia melangkah mendekat perlahan. Suara langkahnya tak terdengar di lantai kamar yang berlapis karpet tebal. Pandangannya jatuh pada wajah Jingga yang terlihat jauh lebih tenang saat tidur. Garis sinis dan jenaka yang biasa muncul di bibirnya berganti wajah yang teduh dan polos.
Tanpa sadar, Savero berjongkok di samping sofa. Ia menghela napas perlahan, seakan berusaha menenangkan detak jantungnya sendiri. Lalu dengan hati-hati, ia membenarkan selimut Jingga yang sedikit melorot, menariknya hingga menutupi bahu Jingga. Gerakannya pelan, penuh kehati-hatian, khawatir gadis itu terbangun.
Tangannya sempat terulur lagi, kali ini hendak membenarkan helaian rambut yang jatuh menutupi wajah Jingga. Ujung jarinya hampir menyentuh, tapi ia berhenti di tengah jalan. Ada ragu yang menahan. Jika ia benar-benar melakukannya, apa itu akan membuatnya terlihat… terlalu peduli?
Savero menarik kembali tangannya, menggenggam erat di udara. Napasnya berat. Ia menatap wajah itu sekali lagi, lalu menunduk, tersenyum samar pada dirinya sendiri, senyum yang bahkan ia sendiri heran kenapa bisa muncul.
“Tidurlah, Jingga…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, hanya menguap ke udara kamar yang sunyi.
Ia lalu berdiri, berjalan ke arah ranjang, tapi sempat menoleh sekali lagi ke arah sofa. Ada jeda
singkat, seolah ia masih ingin memastikan perempuan itu benar-benar nyaman sebelum ia memejamkan matanya sendiri
(Bersambung)…
.
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya