NovelToon NovelToon
Mengandung Benih Tuan Muda

Mengandung Benih Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / One Night Stand / Hamil di luar nikah / Menikah Karena Anak
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: rafizqi

Seorang wanita miskin bernama Kirana secara tidak sengaja mengandung anak dari Tuan Muda Alvaro, pria tampan, dingin, dan pewaris keluarga konglomerat yang kejam dan sudah memiliki tunangan.

Peristiwa itu terjadi saat Kirana dipaksa menggantikan posisi anak majikannya dalam sebuah pesta elite yang berujung tragedi. Kirana pun dibuang, dihina, dan dianggap wanita murahan.

Namun, takdir berkata lain. Saat Alvaro mengetahui Kirana mengandung anaknya. Keduanya pun menikah di atas kertas surat perjanjian.

Apa yang akan terjadi kepada Kirana selanjutnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 - Melahirkan seorang bayi

Langkah-langkah tergesa terdengar di koridor rumah besar itu. Kirana berjalan menuruni tangga dengan hati-hati, tangannya memegangi perutnya yang sudah besar. Namun dari atas, Clarissa berdiri dengan tatapan penuh bara, matanya menyala dingin.

Saat Kirana hendak melewati anak tangga terakhir, tiba-tiba Clarissa menjatuhkan vas bunga besar ke arah lantai. Suara pecahannya mengejutkan Kirana. Ia kehilangan keseimbangan—dan tubuhnya terhempas ke bawah tangga.

“Ahhh!” Kirana menjerit.

Tubuhnya terhantam keras. Tangannya berusaha melindungi perutnya, namun rasa sakit yang menusuk membuat napasnya terputus-putus.

Tangisan pelayan bergema di aula besar ketika tubuh Kirana terguling di ujung tangga. Darah merembes dari bawah gaunnya.

“Nyonya! Astaga, tolong! Nyonya jatuh!” Teriak Pelayan histeris.

Alvaro yang mendengar teriakan itu dari ruang kerjanya langsung berlari turun. Saat melihat Kirana tergeletak, wajahnya seketika pucat.

“Kirana!" Teriak Alvaro pecah.

"Bertahanlah… jangan tutup mata!” Suara Alvaro bergetar karena takut.

Ia mengangkat tubuh Kirana dalam dekapannya tanpa pikir panjang.

“A-Alvaro… anak kita… tolong—” Kirana lemah, ia terisak menahan sakit.

“Jangan bicara! Aku akan bawa kau ke rumah sakit sekarang juga!” Alvaro gagap. Ia sangat panik saat ini.

Tanpa menunggu ambulans, ia langsung menggendong Kirana menuju mobil pribadinya. Pelayan berusaha menghentikan.

“Tuan, lebih baik tunggu ambulans, keadaannya berbahaya—”

Alvaro membentak, emosional.

“Tutup mulutmu! Kalau aku menunggu, mereka bisa mati!”

...----------------...

Di dalam mobil

Alvaro menaruh Kirana di kursi belakang, kepalanya di pangkuan. Dengan tangan gemetar, ia menyalakan mesin dan menginjak pedal gas sekuat tenaga. Bahkan dia tidak membiarkan orang lain yang menyetir mobilnya.

“Alvaro… sakit sekali… aku takut… anak kita…” Kirana terengah.

Alvaro mengeratkan rahang, suaranya pecah memarahi Kirana yang bicara sembarangan.

“Jangan berani bicara begitu! Kau akan selamat, kau dan bayi kita! Dengar aku, Kirana! Aku tidak akan membiarkanmu pergi!”

Mobil melaju kencang menembus malam. Klakson meraung, lampu jalan berkelebat. Di wajah Alvaro, peluh bercucuran. Ia bahkan melanggar lampu merah, tak peduli.

Alvaro berteriak, kesal kepada dirinya sendiri. Kedua kalinya dia tidak bisa menjaga Kirana dengan baik, dan dua kali juga dia harus merasakan panik.

“Bertahan, Kirana! Demi Tuhan, bertahanlah! Jangan tinggalkan aku… jangan tinggalkan aku seperti Elena—”

Kirana yang setengah sadar menangkap nama itu samar-samar, namun rasa sakit terlalu kuat untuk bertanya.

Sesampainya di rumah sakit

Alvaro melompat keluar, lalu menggendong Kirana keluar mobil.

“Tolong! Seseorang tolong aku! Dia pendarahan, dia hamil besar!” teriak Alvaro histeris memanggil para tim medis.

Perawat dan dokter segera berlari dengan brankar. Mereka menarik Kirana masuk, tapi Alvaro masih memegang erat tangannya sampai dokter memaksa melepaskannya.

“Pak, kami harus segera operasi darurat! Lepaskan dia!”

Alvaro matanya merah, hampir menangis.

“Kalau sampai terjadi apa-apa pada mereka… aku tidak akan pernah memaafkan kalian!” ancam Alvaro penuh emosi.

Pintu ruang operasi tertutup rapat. Alvaro terhuyung, punggungnya menempel ke dinding, wajahnya hancur dengan rasa khawatir yang berkecamuk.

Sementara itu, Clarissa berdiri tak jauh di ujung lorong. Kedua tangannya mengepal, hatinya terbakar melihat betapa Alvaro begitu takut kehilangan Kirana.

Clarissa mendesis lirih.

“Dia rela mati-matian untuknya… bukan untukku. Tidak akan kubiarkan hal ini terus terjadi.”

...----------------...

Setelah setengah jam menunggu di depan ruang operasi. Kini seorang Dokter keluar dari ruangan.

Alvaro sontak berdiri ketika melihat Dokter.

"Bagaimana? Apa dia baik-baik saja? bagaimana dengan anakku?" tanya Alvaro dengan nada khawatir.

Clarissa melihat kekhawatiran itu, lalu berbisik di dalam hati, "Kamu begitu takut kehilangan Kirana, tapi kamu masih tidak menyadari bahwa kamu sebenarnya sudah memiliki perasaan kepada nya"

"Beruntung anda membawa ibu Kirana tepat waktu. Pendarahan nya sudah segera kami hentikan dengan cepat. Sehingga ibu Kirana dan bayinya selamat" ucap Dokter kemudian.

Alvaro langsung menangis haru. Bahagia, sedih, rasa takut bercampur aduk menjadi satu. Hingga membuatnya tidak bisa mengendalikan emosinya.

Alvaro langsung masuk menemui Kirana. Dia berterima kasih karena Kirana sudah berjuang untuk tetap ada dan tidak meninggalkannya.

Setelah menemui Kirana. Alvaro langsung menjenguk anaknya.

Di ruang perawatan bayi, cahaya putih lembut menyinari inkubator kecil tempat bayi mungil itu dibaringkan. Alvaro berdiri disana dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Suara pelan perawat yang memberi instruksi terdengar samar di telinga Alvaro.

“Pak, silakan. Hati-hati… topang bagian kepalanya.”

Dengan tangan yang biasanya tegas, dingin, dan kaku, Alvaro justru terlihat ragu. Jemarinya sedikit bergetar ketika menyentuh tubuh kecil itu. Perlahan, perawat meletakkan bayi mungil itu ke dalam dekapannya.

Alvaro menatap wajah polos itu—begitu rapuh, begitu murni. Mata bayi itu terpejam, bibirnya mungil, napasnya pelan. Untuk sesaat, dunia terasa berhenti.

Dada Alvaro naik-turun tak terkendali. Tenggorokannya tercekat. Ia tidak pernah membayangkan akan merasakan sesuatu seperti ini: hangat, berat, dan sekaligus menenangkan.

Air matanya menggenang. Ia berusaha menahan, tapi begitu melihat jari-jari mungil itu bergerak dan seolah menggenggam udara, setetes air akhirnya jatuh juga dari sudut matanya.

“Anakku…” Alvaro berbisik, nyaris tak terdengar. Ia tak pernah membayangkan akan memiliki seorang anak. Kini dia merasa berbeda. Seorang pria yang akan memikul tanggung jawab sebagai seorang ayah.

Ia menunduk, menempelkan keningnya ke dahi bayinya, memejamkan mata sejenak. Isakan kecil lolos, tapi ia buru-buru menutupinya dengan tarikan napas panjang.

“Terima kasih… sudah bertahan, Nak,” gumamnya lirih, suaranya serak, seolah bicara pada dirinya sendiri.

Di balik kaca, seorang perawat muda sempat terdiam menyaksikan—tak percaya melihat sosok Alvaro Wilantara, pria yang selama ini dikenal dingin, keras, dan tak tersentuh, kini luluh hanya oleh seorang bayi mungil.

Ketika ia kembali ke ruang rawat Kirana, Alvaro masih membawa bayinya dalam gendongan. Tatapannya berbeda: tidak lagi hanya penuh kewajiban, tapi juga ada kehangatan yang tulus. Ia menatap Kirana yang masih terbaring lemah.

"Tuan. Dokter memanggil anda"

Alvaro menoleh saat seorang perawat memanggilnya. Ia berhenti menatap Kirana. Meletakan bayinya disana, lalu pergi meninggalkan ruangan.

Sementara itu. Tak lama setelah kepergiannya. Kirana bangun.

Ruangan rumah sakit itu hening, hanya suara detak mesin monitor yang mengiringi napas pelan Kirana. Tubuhnya masih lemah, perutnya dibalut perban, tapi di sampingnya, bayi mungilnya sudah tertidur di dalam inkubator kecil dengan kondisi selamat.

Kirana membuka mata perlahan. Cahaya putih menyilaukan matanya. Tatapannya berkeliling mencari sosok Alvaro—namun tempat itu kosong. Yang ada hanya Clarissa, berdiri anggun di sisi ranjang, dengan senyum samar yang dingin.

“Alvaro… dia di mana?” Lirih Kirana pelan.

Clarissa duduk, menunduk sedikit agar sejajar dengan Kirana, lalu menepuk punggung tangannya seolah penuh empati.

“Dia keluar sebentar… urusan penting. Tapi tenang saja, aku di sini menemanimu.” Ucapnya. Clarissa tenang, penuh permainan.

Kirana mencoba tersenyum, meski jelas hatinya resah.

“Dia… benar-benar panik waktu mengantarku kemari, kan? Aku hampir kehilangan bayi ini…”

Clarissa menahan tawa sinis yang ingin pecah. Ia lalu menatap Kirana dengan sorot mata yang seolah iba, namun dalamnya penuh racun.

“Ya… dia panik. Sangat panik. Tapi Kirana… jangan salah paham dengan sikapnya.”

Kirana mengerutkan kening.

“Maksudmu?”

Clarissa menarik napas panjang, lalu bersandar di kursi dengan elegan.

"Elena"

Kirana melotot. Tak menyangka bahwa Clarissa juga tau nama itu.

“Kau tahu siapa yang sebenarnya masih ada di hatinya itu? dia Elena.”

Nama itu jatuh begitu saja, menusuk telinga Kirana. Ia terdiam, matanya membulat.

“Elena…?”

Clarissa menatap tajam, suaranya merdu namun kejam.

“Wanita yang selalu disebutnya dalam igauannya. Wanita yang tidak pernah bisa ia lupakan. Aku yakin kau juga pernah mendengar dia menyebutnya, bukan? Itu karena Elena adalah cintanya yang sebenarnya. Semua kepeduliannya padamu… jangan salah artikan. Itu hanyalah karena kau mengandung darahnya, bukan karena hatinya.” Ucap Clarissa, mencoba mempengaruhi pikiran Kirana.

Kirana tercekat, hatinya mencelos. Ia teringat malam saat Alvaro mengigau, menyebut nama itu—nama yang kini dijelaskan Clarissa.

Suara Kirana bergetar, “Jadi… semua yang ia lakukan… bukan karena aku?” lirihnya hampir tidak terdengar.

Clarissa menyunggingkan senyum tipis, seolah peduli tapi sebenarnya sedang menikam.

“Aku tahu ini pahit. Tapi kau harus sadar, Kirana. Alvaro tidak pernah benar-benar melihatmu. Hatimu hanya persinggahan. Sedangkan Elena… Elena adalah rumahnya.”

"Buktinya, Alvaro tidak ada saat kamu bangun" lanjutnya.

Air mata Kirana mulai jatuh, menggulir di pipinya yang pucat. Tangannya meremas selimut.

Clarissa menyudutkan, bisikan penuh racun.

“Kau hanya sementara di sisinya. Cepat atau lambat, dia akan kembali pada bayangan Elena. Kau… dan bahkan anak ini… tidak akan pernah bisa menggantikan cinta yang sudah mati.”

Clarissa bangkit, meninggalkan kata-kata itu yang menusuk dalam hati Kirana. Saat ia melangkah keluar, senyum licik tersungging di bibirnya. Ia merasa sekali lagi berhasil menanam keraguan.

Sementara Kirana hanya bisa terbaring, menatap kosong ke arah bayi mungilnya di inkubator, hatinya berkecamuk di antara rasa syukur karena selamat… dan rasa sakit karena mengetahui "Siapa Elena itu sebenarnya”.

.

.

.

Bersambung.

1
Ma Em
Kirana kamu jgn lemah Kirana hrs berani lawan mereka yg merendahkan kamu kalau Kirana lemah siapa yg mau melindungi Arya dari orang2 yg tdk menyukainya , Kirana hrs bangkit tegas dlm bertindak dan berani dlm mengambil keputusan 💪💪💪
Ma Em
Clarissa kamu cuma tunangan sedangkan Kirana adalah istri sah Alvaro siapa yg paling berhak tinggal bersama Alvaro , dasar ulat bulu yg tdk tau malu .
Ma Em
Syukurlah Kirana bertemu dgn Bram , semoga Bram bisa melindungi Kirana dari niat jahat Clarisa .
Ma Em
Kirana kamu jgn percaya dgn omongan beracun Clarisa dia hanya akan memecah belah hubungan mu dgn Alvaro, jgn terlalu polos dan bodoh karena bisa dihasut sama wanita ular seperti Clarisa .
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!