Saraswati Anjani, gadis dua puluh dua tahun itu hidupnya mendadak berubah setelah menemukan bayi di semak-semak sekitar indekosnya.
bayi yang dia beri nama Langit itu perlahan tapi pasti merubah hidupnya yang semula selalu sial menjadi sangat beruntung.
mulai dari pekeejaan baru, lingkungan baru bahkan kisah cinta yang baru. temukan kisah lucu dan serunya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erin FY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pekerjaan Baru
Bab 18
Pekerjaan Baru
Aku memutuskan memesan ojek online untuk mempermudah mencari alamat Mas Damar karena jujur saja aku tak terlalu hafal daerah sekitar rumah ayah Langit itu.
Hampir empat puluh lima menit perjalanan, aku pun sampai di tujuan. Sebuah rumah megah dengan asitekstur modern tersuguh di depan mata. Benar-benar pemandangan yang jarang aku lihat.
"Mbak, cari siapa?" Seorang lelaki berseragam security menghampiri.
"Pak, bener ini rumah Mas Damar?"
"Iya, benar ini rumah Pak Damar, ada perlu apa, Mbak?"
"Kemarin saya disuruh beliau datang kemari, saya Saras, pengasuh anaknya Mas Damar," jelasku yang membuat dahi pak security berkerut. Mungkin dia ragu dengan ucapanku, tapi bukankah aku berkata yang sebenarnya?
"Loh, Mbak, kok pagi banget datangnya?" Sebuah sapaan terdengar dari arah lain. Aku dan pak security spontan melihat ke arah sumber suara. Terlihat supir yang kemarin menjemput Mas Damar datang mendekat.
"Ah, iya, Pak. Habisnya saya lupa gak tanya dulu sama Mas Damar harus datang jam berapa," ucapku dengan tersenyum sungkan. Pak supir hanya tersenyum menanggapi ucapanku.
"Bro, dia tamuanya Pak Damar, biar aku antar masuk," kata pak supir kepada bapak berseragam safari warna biru itu.
"Ayo, Mbak, masuk! Bapak sudah bangun, kok, tadi juga habis olah raga di depan sini," ajak pak supir seraya berjalan terlebih dulu di depanku.
"Mari, Pak Iksan. Saya duluan," pamitku pada pak security.
"Loh, kok tahu nama saya?" tanyanya heran. Aku hanya tersenyum sembari mengarahkan dagu pada nickname di dadanya. Dia ikut melihat arah petunjukku, sebelum akhirnya ikut tersenyum.
Entah pergi kemana pak supir tadi, sedangkan aku dibiarkan sendiri berdiri di ruangan yang begitu besar, sepertinya ruang tamu. Kalau ada ibu, pasti ruangan sebesar ini dipakainya buat jemur padi. Aman dari hujan dan ayam tetangga.
"Hei, Ras. Pagi banget," sapa Mas Damar dari tangga lantai dua.
"Eh, iya, Mas. Takut kesiangan nanti. Belum lagi harus muter-muter cari alamat dulu," jelasku dengan tersenyum manis.
"Emang tadi nyasar?"
"Enggak, sih, untungnya bang ojolnya ngerti."
"Bagus, deh. Kalau gitu aku kenalin dulu aja sama yang lainnya."
Mas Damar mengajakku ke arah samping rumah, terdapat sebuah kolam besar yang terlihat menyegarkan, jadi pingin nyebur, sapa tau keluar-keluar berubah jadi putri duyung.
"Mbak ... mbak, bisa kumpul sebentar?" seru Mas Damar kepada beberapa orang di sana. Ternyata ini adalah jalan tembusan menuju dapur.
"Mbak, kenalin ini Saras, yang akan jagain Langit. Untuk tugas memandikan, dan mengurus keperluan Langit tetap dikerjakan Arin. Saras hanya saya tugaskan untuk mengawasi dan menjamin keselamatan Langit. Bukan saya tidak percaya dengan kalian, hanya ada hal lain yang membuat saya memutuskan ini." Mas Damar berhenti sejenak sembari menatap sekeliling.
"Ini mutlak keputusan saya, jadi saya tidak mau mendengar desas-desus apapun. Tidak ada juga rasa iri dan dendam karena merasa Saras saya istimewakan. Jika saya mendengar ada yang seperti itu nantinya, maka jangan salahkan jika akan ada tindakan tegas. Mengerti?" tanya Mas Damar dengan tegasnya. Jujur, sekarang ini aku seperti melihat sisi lain Mas Damar. Pria yang semula terlihat kalem kini berubah begitu berwibawa dan tegas di depan anak buahnya.
Beberapa orang terlihat mengangguk, ada yang juga menjawab dengan suara lirih. Aku hanya tersenyum kikuk saat beberapa orang melihat ke arahku. Aah ... ini akan menjadi peperangan yang tak terlihat sepertinya.
"Ras, ayo saya antar ke kamar Langit. Di sana ada Arin, baby sitter Langit yang akan membantumu nanti," ajak Mas Damar yang kuangguki.
Aku membuntuti kemana pun Mas Damar pergi. Kali ini dia menuju lantai dua, lagi-lagi aku dibuat takjub dengan pemandangan yang ada. Jika dilantai bawah terkesan dengan desain yang elegan dan mewah, di lantai dua semua justru berbeda. Suasana hangat dan penuh kekeluargaan terpancar di sini.
Ada beberapa ruangan terlihat di sini, mungkin itu adalah kamar tidur, tapi kenapa banyak sekali?bisa Muat orang satu desa nih. Mas Damar menuju kamar paling ujung, sepertinya itu kamar Langit, karena samar-samar bisa kudengar suara tangis dari dalam.
Pintu terbuka, terlihat Langit sedang berganti pakaian dibantu oleh seorang perempuan, sepertinya bocah itu baru selesai mandi, karena dulu dia selalu menangis jika di dalam air.
"Pak," sapa mbak-mbak yang mengantikan baju Langit.
"Apa dia memang selalu menangis jika sedang mandi?"
"Iya, Pak. Padahal saya juga sudah ukur kadar panas airnya tapi tetap saja Den Langit menangis kalau mandi," jelas mbak-mbak yang kalau tidak salah bernama Arin itu.
"Ya, sudahlah. Arin, ini kenalin Saras yang akan mengawasi kamu dan Langit. Dia hanya bertugas menjaga Langit, untuk urusan memandikan dan membersihkan kotoran Langit, itu tetap tugasmu," tegas Mas Damar dengan ekspresi sama seperti di dapur tadi. Mbak Arin mengangguk saat sebelumnya melirikku dengan tersenyum.
"Ya, sudah. Saya siap-siap mau ke kantor dulu. Ras, selamat bekerja, ya? Kalau kamu butuh apa-apa bilang saja sama Arin dan mbak di dapur tadi. Oh, ya, tentang gaji kamu, kita bicarakan nanti sepulang dari kantor," jelas Mas Damar sebelum akhirnya dia pergi.
"Mbak, aku mohon bantuannya, kita bisa berbagi tugas, gak enak rasanya jika aku cuma mengawasi," ucapku kepada Arin seraya mendekat ke arahnya.
"Gak papa, Mbak. Kalau memang itu perintah Pak Damar berarti sudah kewajiban saya untuk menurutinya," jawab Arin dengan senyuman. Wanita di hadapanku ini, tampak usianya tak lebih tua dariku, tubuhnya tinggi dan sintal, wajahnya pun sebenarnya manis. Beda sekali denganku, tinggi mungkin aku lebih menang, hanya saja masalah body, apalah aku yang sering dibilang sepupuan dengan TV LED, datar.
"Saras. Panggil saja aku Saras. Aku rasa mungkin kita seumuran."
"Oke, kalau begitu kamu juga harus memanggilku Arin. Akhirnya, aku punya teman seumuran di sini, kamu sudah ke dapurkan?" tanyanya yang kujawab dengan anggukan. "Sudah pada sepuh, gak ada yang bisa diajak ngehalu," lanjutnya yang dengan kami tertawa bersama.
Arin ternyata orang yang sangat menyenangkan, terbukti dari obrolan kami beberapa menit saja aku sudah merasa sangat klik dengannya. Suara keributan di lantai bawah membuat aku dan Arin saling pandang, dengan menggendong Langit, gadis itu mengajakku untuk melihat apa yang terjadi.
"Siapa, sih, itu, Rin?" tanyaku saat melihat seorang wanita marah-marah di bawah sana.
Bodynya bisa dibilang lebih aduhai daripada Arin, bahkan kata orang dia seperti gitar spanyol. Wajahnya yang penuh dengan goresan make-up membuat dia terlihat bagiakan boneka barbie, cantik. Belum lagi tas mewah dan baju mahal yang ia pakai, semua terlihat sempurna.
"Ngakunya, sih, Dia calon istrinya Pak Damar." What? Berat ... berat ... saingannya kelewat di atas rata-rata.