Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Office War: Natasha vs Wanita Spreadsheet (Bagian 1)
Hari berikutnya aku datang lebih pagi dari biasanya. Alasannya? Bukan karena produktivitas melonjak atau panggilan jiwa professional. Tapi karena tadi pagi mimpiku dipecat karena telat masuk, lalu dibangunkan alarm yang isinya suara mamaku bilang, “Jangan lupa kerja. Tapi inget, kamu belum nikah.”
Kombo maut.
Jadi di kantor aku datang paling awal. Lampu belum nyala semua, AC belum sempat dingin, dan burung-burung di luar jendela masih sibuk cari arah kiblat. Aku duduk, menatap layar computer yang kosong seperti masa depan percintaanku, lalu membuka file excel yang udah kuberi nama penuh dendam dan kreativitas:
“Strategi Hadapi Manusia Sirik dan Busuk Hati – FINAL.xlsx”
Yes. Ini bukan sembarangan Excel. Ini senjata.
Tab pertama: “History Kejahatan Natasha”
25 Januari: Menyembunyikan invoice di balik printer (ada bukti CCTV + testimony Pak Jaya OB)
3 Februari: Bikin laporan palsu ke HR tentang aku dan Mas Kenlei ‘sering lembur bareng’. Padahal kami cuma nonton webinar pajak bareng sambil makan roti sobek.
15 februari: Bikin email pasif-agresif cc ke semua tim padahal masalah cuma soal typo angka 0.
Tab kedua: “Rencana Strategi Balasan”
A1: Bikin Natasha salah kirim email ke klien dengan auto-correct biadab.
B1: Menempelkan post-it penuh kutipan motivasi yang ambigu di mejanya.
C1: Kolaborasi diam-diam dengan divisi desain buat masukin wajah Natasha ke ilustrasi kampanye “Waspada Toxic People di Kantor”.
Tapi sekuat-kuatnya aku bikin rencana jahat versi lowkey, tetap aja Natasha punya skill menyebalkan yang susah ditandingi: senyum palsu sekuat beton, dan kedekatan misterius dengan HR.
Tiga puluh menit kemudian, semua staff berdatangan termasuk Natasha.
Suara hak tinggi bersatu dengan wangi parfum yang menyengat sudah mendekat ke meja. Lalu—
“Wah, Mbak Meisya. Ternyata kalau udah akrab sama Asisten Manajer, semua kerjaan langsung mulus, ya?”
Kalimat itu dilempar dengan senyum yang bisa masuk nominasi senyum paling pasif-agresif tahun ini. Aku hanya menoleh setengah dan menyahut datar.
“Ternyata kalau kerjaannya beres dan sesuai deadline, emang segalanya jadi mulus, ya.”
Dia mendengus kecil, tapi tidak menyerah.
“Kebetulan banget ya beberapa waktu lalu di puji Pak Bram soal presentasi evaluasi kinerja bulanan. Padahal biasanya…ya, gitu deh.”
“Maksudnya?” aku menoleh penuh sekarang, tangan masih di mouse, tapi siap pindah ke keyboard…atau granat, tergantung situasi.
“Maksud gue, kayaknya sekarang lebih sering diskusi sama Mas Kenlei, ya? Sering banget lihat kalian berdua ngobrol… di pantry, di lift, bahkan katanya sempat pulang bareng?”
Aku diam sejenak. Mengatur napas. Mengatur niat untuk tidak melempar stapler.
“Kita kerja satu divisi, Nat. diskusi itu—bagian dari pekerjaan. Dan soal pulang bareng, kayaknya lebih cepat lo tanya ke satpam. Dia CCTV hidup. Lebih akurat daripada opini.”
Tatapannya mulai keruh, senyumnya memudar. Tapi dia masih mencoba menyerang lewat celah lain.
“Ya, siapa tahu. Soalnya nggak semua orang bisa dapat pujian langsung dari Pak Bram. Kecuali—ya, ada sesuatu yang lebih.”
Aku berdiri.
“Lo tahu nggak, pujian itu datang karena hasil. Bukan karena gue sering ngobrol sama Mas Kenlei, tapi karena laporan yang lo bilang ‘gitu deh’ itu justru gue revisi sendiri sampai jam sepuluh malam. Sementara lo udah pulang duluan, sibuk foto kopi wajah lo buat di pasang di kubikel baru.”
Ruangan tiba-tiba senyap. Beberapa staff yang awalnya sibuk mengetik sekarang pura-pura memeriksa monitor tanpa nyala.
Natasha memutar bola matanya, tapi tanpa kata lagi, dia berbalik dan melenggang pergi. Dan aku tahu ini belum selesai.
Karena orang yang iri—nggak pernah bisa menerima kalau ternyata yang mereka curigai itu—cuma bekerja lebih keras.
Aku duduk kembali. Tangan gemetar sedikit, tapi hati tenang. Karena hari ini aku nggak cuma kerja pakai otak, tapi juga pakai batas sabar yang makin tipis.
Hari itu, grup chat kantor yang biasanya sepi dan cuma ramai kalau ada announcement pemotongan THR atau ajakan jajan cilok bareng, tiba-tiba mendadak ramai.
Semuanya bermula dari pesan singkat di grup non-resmi karyawan yang beranggota level Assisten Manajer ke bawah:
Natasha- Ops:
“Mbak Meisya, boleh nggak kalau next week gue yang handle meeting mingguan sama Mas Kenlei? Biar divisi operasional juga lebih update.”
Kalimat itu… terlihat sopan. Tapi kalau cukup jeli membaca nada, aku bisa mencium ada aroma tidak ikhlas di antara huruf-hurufnya.
Aku diam. Belum sempat jawab, beberapa rekan yang lain sudah mulai mengetik.
Rizky – Finance:
“Wah, Mbak Nat pengen ikut meeting mingguan, bukankah biasanya Pak Robby yang ikut meeting? Tapi kalau masalah projek yang akan datang, harusnya Mbak Nat bisa ikut sih.”
Intan – HR:
“Asyik, jadi Mbak Nat yang quality time sama Mas Kenlei nih~”
Sarah –HR:
“Kenapa gak semua yang terlibat ikut meetingnya?”
Natasha – Ops:
“Haha, bukan quality time dong, Intan. Ini murni kerjaan.”
“Lagipula, kalau satu orang terus yang dekat sama atasan, nanti kesannya—ekslusif banget ya.”
Gilang – IT:
“Eksklusif atau—intens?”
Aku yang awalnya sibuk bikin draft laporan hanya bisa menatap notifikasi yang terus muncul. Belum sempat mengetik, Mas Kenlei sendiri tiba-tiba muncul di chat.
Kenlei- Asst. Manager Acct:
“Meeting tetap dijadwalkan sesuai divisi, ya. Tapi kalau Divisi Operasional ada concern khusus, bisa minta slot tambahan ke sekretaris Bu Nani. Semua dapat porsi yang adil.”
Sederhana. Tegas. Diplomatis. Tapi yang membuatku hampir tumpah minuman adalah pesan berikutnya dari Natasha, yang ditulis personal ke aku beberapa menit kemudian (tapi—salah kirim ke grup).
Natasha – Ops:
“Meisya, lo tahu kan gue lagi deket sama Mas Kenlei. Tolong jaga jarak ya. Masa iya semua meeting harus lo yang jadi PIC terus?”
Grup seketika hening. Sangat hening. Bahkan aku yakin orang-orang di warehouse pun bisa merasakan auranya.
Meisya – Accounting:
“Natasha, lo salah kirim. Tapi ngak apa-apa. Biar semua tahu, gue satu divisi sama Mas Kenlei. Meeting dan komunikasi rutin itu bagian dari jobdesc. Kalau lo merasa terganggu, lo bisa sampaikan ke atasan lo, bukan ke gue.”
Lalu yang paling mengejutkan: Kenlei membalas.
Kenlei – Ass. Manager Acct:
“Natasha, tolong jaga profesionalitas. Semua koordinasi didasarkan pada kebutuhan kerja, bukan pendekatan pribadi. Saya tidak ingin hal ini mempengaruhi kinerja tim.”
Boom. Kalau ini sinetron, pasti ada backsound “DUARRR!!” dan efek zoom berulang ke wajah Natasha.
Setelah itu, grup sepi. Sangat sepi. Bahkan Rizky pun nggak berani kirim stiker kucing nangis. Semua kembali ke pekerjaan masing-masing, pura-pura sibuk, tapi aku tahu—drama kantor ini masih bersambung. Karena kalau Natasha merasa usahanya di rebut, dan sekarang rasa malunya terpampang public—dia pasti akan caracara lain.
Dan aku? Aku cuma bisa tarik napas panjang, lalu pelan-pelan ngetik ke Rahma:
Aku:
“Rahma, gue barusan dijadiin tokoh antagonis di sinetron kantor gue sendiri. Mau ketawa tapi kok lelah ya.”
Rahma:
“Si Nat-Nat itu lagi? Ngira lo perebut pacar orang?”
Aku:
“Ma, gue gak pernah deket sama Mas Kenlei. Maksudnya—ya deket, tapi bukan ‘deket.’ Ya lebih—spreadsheet mate.”
Rahma:
“Spread what?”
Aku: (mengirim stiker manyun),
“Spreadsheet mate. Teman selembar Excel. Yang isinya angka, bukan cinta.”
Rahma: (ngirim stiker ketawa ngakak),
“Gila, lo butuh liburan. Atau minimal siraman rohani.”
Aku:
“Gue butuh kantor yang isinya orang waras, Ma.”
Rahma:
“Eh, kenapa gak curhat aja ke Mas Kenlei?”
Aku diam sebentar. Tapi ibu jariku masih di layar.
Rahma:
“Atau… ya minimal kontak Felix deh. Si manusia iceberg itu. Dia bisa jadi bodyguard lo sekarang.”
Aku:
“Rahma. Gue tim leader Accounting, bukan princess di negeri Excel. Gue butuh strategi, bukan bodyguard.”
Rahma:
“Ya strategi lo sekarang apa?”
Aku:
“Nahan pengen nyiram Natasha pake kuah seblak level 5.”
Rahma:
“HAHAHAHA”
Dan begitulah drama kantor hari ini. Sambil tetep jaga wibawa sebagai wanita dewasa umur 30 yang polos, absurd dan penuh perhitungan—terutama perhitungan pajak.
**