“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Kejamnya Rima
Kemala sempat terdiam, wajahnya hanya menegang sejenak, lalu kembali datar. Dalam hatinya bergema lirih, “Sudah kuduga… cepat atau lambat ini pasti terjadi.”
Kevia menunduk, jari-jarinya meremas rok seragamnya di pangkuan. “Apa ini… akibat keributan Ayah dan Ibu Riri pagi tadi? Jadi salahku? Semua salahku…”
Tawa pelan penuh sinis terdengar dari Riri, matanya melirik Kevia dan Kemala seperti predator yang baru saja mencium bau darah.
Ardi menghentikan gerakan tangannya di meja, rahangnya mengeras. “Apa maksudmu, Rima?” suaranya berat, penuh amarah yang ditahan.
Rima tersenyum miring, wajahnya seakan menari-nari di atas penderitaan orang lain.
“Ardi sayang… sejak kau jadi suamiku, kau belum pernah benar-benar membuatku bahagia.” Nada suaranya menajam, menusuk seperti belati. “Dan itu… karena Kemala, bukan?”
Ardi menatapnya tajam. “Kau—”
Belum sempat ia melanjutkan, Rima langsung memotong, suaranya meledak seperti cambuk.
“Kenapa? Mau marah? Mau protes?” Rima menyeringai, suaranya dingin menusuk. “Kalau begitu dengarkan baik-baik. Mulai besok, anak dan istrimu ini bukan hanya dilarang duduk di meja makan. Kevia harus membereskan rumah sebelum dan sepulang sekolah menggantikan ibunya. Kemala? Tak boleh keluar kamar tanpa izinku. Dan kau, Ardi, jangan pernah menemui Kemala tanpa izin dariku!”
BRAKK!
Ardi tiba-tiba berdiri, tangannya menggebrak meja. Piring, sendok, sisa makanan meloncat dari wadah, air tumpah dan memercik di permukaan meja. Suara dentuman itu memecah ruang makan, membuat Kemala, Kevia, Rima, dan Riri terlonjak.
“KAU GILA!” raung Ardi, wajahnya merah padam, tubuhnya bergetar oleh amarah. “Kemala adalah istriku! Istri pertamaku! Satu-satunya wanita yang aku cintai. Kenapa aku tak boleh menemuinya? Dia lebih berhak atas diriku daripada kau!” Telunjuknya teracung tepat di wajah Rima.
“A-ayah…” suara Kevia bergetar, nyaris hanya sebuah bisikan.
Kemala yang pucat bangkit, meski tubuhnya lemah, tangannya meraih lengan suaminya. “Ardi… kontrol emosimu,” ucapnya lirih, penuh sesak, namun tetap lembut.
Riri menyilangkan tangan, bibirnya melengkung sinis.
Sementara Rima, menatap tajam, dingin, penuh kuasa.
PLAK!
Tangan Rima menepis telunjuk Ardi kasar, suara tepisan itu menggema.
“Kau makin berani, ya?” ucapnya, nadanya menajam seperti pisau. “Aku tak peduli dia istri sah, istri pertama, atau wanita yang kau cinta. Ini rumahku, Ardi. Kalian semua cuma menumpang hidup dariku. Jadi kalian harus tunduk padaku!”
Riri menegakkan dagunya, senyum merendahkan terlukis jelas.
“Ck. Dasar tak tahu diri. Sudah numpang, masih sok belagu,” cibiran itu meluncur bagaikan racun.
“Menumpang?” Ardi menatap, lalu ke Rima dengan mata menyala. Napasnya berat, menggelegar. “Kami tinggal di sini karena KEINGINANMU, bukan kami. Aku pun bekerja tiap hari, mengurus bisnismu. Tapi tidak sepeser pun kau berikan padaku. Kalau kau tak mau kami di sini, baik! Kami akan pergi. Aku tak sudi tinggal di neraka ini lagi!”
Ardi menoleh pada Kemala dan Kevia. Suaranya melembut, kontras dengan ledakan tadi.
“Kemasi barang-barang kita. Kita tak akan tinggal di sini satu menit pun lagi.”
Tatapan penuh harapan bergetar di wajah Kemala dan Kevia. Senyum kecil, seakan pintu kebebasan terbuka, hampir saja merekah di bibir mereka.
Namun suara Rima memutus semuanya. Dingin. Mengancam.
“Kalian pikir bisa pergi dari rumah ini begitu saja?” ia mendengus, matanya menyala. “Ardi… rupanya kau mengabaikan perkataanku tadi pagi.”
Ardi menatapnya tajam, rahangnya mengeras. “Kami bukan budakmu. Kami punya hak untuk pergi. Jika kau berani berbuat macam-macam, aku tak segan melapor pada polisi.”
“Polisi?” Rima memasang ekspresi terkejut, pura-pura takut. Tapi sesaat kemudian bibirnya melengkung, senyum bengis merekah. “Sayang sekali… aku tak takut. Sekali aku tampar mereka dengan uang, mulut mereka akan terkunci. Laporanmu? Hanya akan jadi bungkus gorengan di warung pinggir jalan.”
Ardi mengepal tinjunya, urat di lehernya menonjol. “Aku tak percaya kau bisa melakukannya. Ayo, Kemala, Kevia, kita pergi!”
Rima menatap Ardi tajam, matanya berkilat bagai pisau.
“Rupanya kau benar-benar nekat, Ardi. Jangan pikir aku hanya menggertak, lalu kau bisa pergi dariku semaumu.”
PRANG!
Rima menghantam gelas ke tepi meja hingga pecah. Suara ledakan kaca memekakkan telinga. Potongan pecahan beterbangan, dan sebelum siapa pun sempat bereaksi, Rima melempar serpih tajam itu ke arah Kemala.
“Mala!”
Ardi spontan merangkul istrinya, tubuhnya menjadi perisai. Pecahan itu melesat, nyaris menancap di wajah Kemala. Jika saja Ardi terlambat sepersekian detik, mungkin darah sudah mengalir di sana.
Kemala menjerit tertahan, tubuhnya gemetar. Kevia menutup mulutnya, matanya membesar, jantungnya seakan berhenti. Riri hanya tersenyum tipis, matanya berbinar dingin menikmati kekacauan.
Ardi menoleh, wajahnya penuh murka. “Rima… kau benar-benar sudah gila!”
Rima menyeringai, bibirnya melengkung kejam. “Gila? Aku tak peduli apa katamu. Tapi dengar baik-baik, Ardi. Jika kalian berani melangkah keluar rumah ini tanpa izinku… aku akan menghancurkan kalian. Bukan hanya hidup kalian, tapi harga diri kalian.”
Ardi mengepalkan tangannya, nadinya berdenyut. “Kau sudah melampaui batas!” Dengan langkah menggelegar, ia maju mendekati Rima.
Namun Rima hanya tersenyum dingin, lalu berteriak lantang:
“Joni! Janto! Cepat kemari! Pegang dia, dan ajari perempuan penyakitan itu bagaimana rasanya melawan Rima!”
Dua pria bertubuh kekar masuk seolah sudah menunggu perintah.
“Baik, Nyonya,” jawab mereka serentak.
Ardi membelalakkan mata, darahnya mendidih. Kemala mundur, Kevia merapat erat di pelukan ibunya. Riri di balik meja makan menyilangkan tangan, senyum puas mengembang di wajahnya.
“Berhenti! Jangan sentuh istriku!” raung Ardi, matanya merah, rahangnya terkunci.
Tapi dua pria itu tak berhenti. Mereka mendekat ke arah Kemala. Dengan amarah membara, Ardi melompat ke depan dan menghantam salah satunya. Pukulan telaknya mendarat, tapi lawannya sigap membalas. Tubrukan tubuh, suara benturan keras, kursi terjungkal.
Perkelahian berlangsung sengit. Ardi berusaha mati-matian, tapi kedua pria itu jelas terlatih. Hantaman demi hantaman menghujam tubuhnya. Napas Ardi mulai tersengal, darah menetes dari sudut bibirnya. Hingga akhirnya—
BUGH!
Sebuah pukulan telak menghantam dadanya, membuatnya terhempas keras ke lantai.
“Ardi!”
“Ayah!”
Jerit Kemala dan Kevia bersamaan.
Ardi terkapar, tangannya terentang lemah. Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya sudah tak kuasa.
“Ikat dia di kursi!” perintah Rima lantang.
Kedua pria itu menyeret Ardi, menekannya paksa ke kursi, mengikat pergelangan tangannya.
Ardi berontak, tapi sia-sia. Matanya melebar ngeri ketika mendengar kata-kata berikutnya dari bibir Rima.
“Dan sekarang… bawa perempuan itu ke sini. Sobek pakaiannya. Aku ingin Ardi melihat, apa akibatnya melawan aku.”
“Tidak! Jangan! Tolong jangan!” teriak Kemala dengan suara pecah. Ia merapat ke Kevia, memeluk anaknya erat-erat.
“Lepaskan ibuku!” Kevia berteriak histeris. Tubuh mungilnya nekat mendorong Joni dan Janto, tapi tubuh besar itu bergeming. Sekali dorongan balik, Kevia terhempas ke lantai.
“Via!” Kemala menjerit, tak sempat menolong putrinya.
Dua pria itu makin mendekat. Kemala merapatkan tubuhnya ke dinding, kedua tangannya gemetar menahan bajunya agar tak ditarik. Air matanya jatuh deras, wajahnya pucat pasi.
“Rima… kumohon… jangan lakukan ini…” suaranya pecah, nyaris lenyap.
Di sudut ruangan, Riri menyandarkan dagu di tangan, tersenyum puas. “Hih… akhirnya kalian dapat juga balasannya,” bisiknya dingin.
“Hentikan, Rima!” teriak Ardi putus asa. Ia meronta dari ikatan, tali kursi menggesek kulitnya hingga perih, namun ia tak peduli. “Dasar iblis! Kau tak punya hati!”
Rima tak menoleh. Langkahnya pelan, penuh wibawa kejam. Tangannya melambai singkat.
“Cepat. Lakukan. Biar dia tahu tempatnya.”
Kevia bangkit lagi, tubuhnya gemetar, berdiri di depan ibunya. “Jangan sentuh ibu!”
“Minggir!” bentak Janto, mendorong kasar.
BUGH!
“Ahk!”
Kepala Kevia membentur lantai keras.
“Viaaa!” jerit Ardi dan Kemala serentak.
“Hentikan, brengsek!” Ardi meraung, tubuhnya menghentak-hentak kursi, mencoba merobek ikatan yang menahan.
Kemala merunduk, ingin meraih putrinya. Tapi Joni menarik lengannya kasar, menahannya. Tangan satunya merenggut kain bahu Kemala.
KRAKK!
Suara sobekan kain itu terdengar jelas, memecah ruang.
“Malaaa!”
“Ibu!”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu
makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.
semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...
sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....