Pernikahan tanpa Cinta?
Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?
Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Lingga menoleh sepenuhnya, menatapnya lurus tanpa kedip. “Pertama, ubah panggilan kamu ke saya. Saya lebih tua dari kamu, dan itu sudah seharusnya. Kedua, lo-gue tidak pantas untuk sepasang suami istri. Dan ketiga…” ia menahan sebentar, suaranya lebih rendah, “lakukan tugas dan kewajiban kamu sebagai istri.”
Diandra segera meraih gagang pintu mobil, namun pintu terkunci rapat. Ia menoleh tajam ke arah Lingga, wajahnya penuh amarah.
“Bukain pintunya!”
Lingga hanya melirik sekilas, ekspresinya tetap dingin. “Masih ingat peraturannya, Diandra?” suaranya tenang, tapi jelas tidak berniat membiarkannya pergi begitu saja.
Kebetulan mobil sudah berhenti di parkiran rumah sakit. Diandra mendengus, lalu menyandarkan tubuhnya dengan kesal.
“Iya, gue ingat,” jawabnya malas, tangannya kembali mencoba membuka pintu meski tahu hasilnya sama saja.
“Kalau ingat, coba.”
Diandra memutar bola matanya dengan kesal. “Aku udah telat, jangan bikin ribet lagi,” gerutunya, terpaksa mengubah bahasanya.
Lingga tersenyum samar, seolah menikmati reaksi keras kepala istrinya itu. Namun, tangannya tetap tidak bergerak untuk membuka kunci.
“Apalagi?”
“Panggil yang benar.”
Diandra terdiam sesaat. Ia menarik napas dalam, menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Dengan wajah dibuat-buat, akhirnya ia menoleh ke arah Lingga.
“Aku udah telat, jadi biarkan aku keluar, Lingga.” katanya, nada suaranya dipaksa lembut meski matanya masih menyala kesal.
Lingga mengulurkan tangannya, membuat Diandra menatapnya bingung.
“Apa lagi?”
“Salim.”
"Harus?" tanya Diandra malas, Lingga mengangguk.
Diandra mendengus, menghela napas panjang seolah kehabisan tenaga. Namun, pada akhirnya ia tetap meraih tangan Lingga dan menciumnya, sama seperti saat mereka sah menjadi suami istri tadi siang.
Lingga akhirnya membuka kunci pintu. “Nanti saya jemput,” ucapnya pelan, penuh kepastian, seakan keputusan itu bukan sesuatu yang bisa ditawar.
Diandra melangkah cepat, meninggalkan mobil dengan wajah kesal yang sulit disembunyikan. Tumit sepatunya berdetak nyaring di lantai marmer rumah sakit, seakan mengabarkan pada semua orang bahwa ia sedang tidak ingin diganggu.
Belum sempat ia menenangkan diri, seseorang menegurnya di lobi. “Muka lo kenapa? Kusut banget,” ujar Kevin, rekan kerjanya yang baru datang.
“Gue lagi kesel,” jawab Diandra ketus, malas menjelaskan lebih jauh.
Kevin mengerutkan kening, matanya masih menatap tajam ke arah luar. “Tapi tadi siapa yang nganter lo? Gue liat lo turun dari mobil… dan itu bukan mobil biasanya.”
Refleks, Diandra ikut menoleh ke arah parkiran. Dari balik kaca bening lobi, mobil hitam itu masih terparkir manis. Mesin sudah mati, lampu padam, tapi tetap saja keberadaannya mencolok, seperti tanda tanya besar yang menunggu dijawab.
“Temen,” ucap Diandra cepat. Terlalu cepat, sampai-sampai terdengar seperti jawaban yang dipaksakan.
Tanpa memberi Kevin kesempatan bertanya lagi, ia langsung meraih lengan sahabatnya itu. “Udah, ayo masuk.”
Namun Kevin masih sempat melirik sekali lagi ke arah mobil itu. Ada sesuatu di matanya, seperti rasa ingin tahu dan keheranan. “Pacar lo?” tanyanya santai, tapi cukup untuk membuat Diandra menghentikan langkah.
Tatapan tajam Diandra melesat ke arahnya. “Udah gue bilang, temen,” sahutnya, nada suaranya meninggi tanpa ia sadari.
Entah kenapa, rasa kesal itu tiba-tiba menyeruak. Mungkin karena Kevin terlalu banyak bertanya. Atau mungkin karena dalam hati kecilnya, ia sendiri masih belum bisa menerima kehadiran Lingga di hidupnya. Semuanya terasa seperti mimpi yang belum sempat ia cerna.
Kevin mengangkat alis, bibirnya terangkat tipis. “Temen yang nungguin lo tidur sambil ngelus kepala lo, Ra?”
Jantung Diandra sontak berdegup lebih cepat. “Lo… lo lihat?” tanyanya terkejut.
Kevin terkekeh kecil, berusaha terlihat santai. “Iya. Waktu itu gue mau ngajakin lo sarapan, tapi pas buka pintu, gue liat dia ada di ruangan lo. Ya gue ngerti diri lah. Lagian… gue nggak masalah kalau lo punya pacar.”
Diandra mengembuskan napas berat. Untuk menutupi atau justru menyangkal? Karena ia sendiri tidak yakin. “Dia bukan pacar gue.”
Kevin menatapnya lekat-lekat, seakan berusaha menembus lapisan jawaban setengah hati itu. “Lagi PDKT, berarti?”
Pertanyaan itu terdengar ringan, tapi menusuk. Karena kenyataannya, Diandra sendiri tak punya jawaban pasti. Lingga datang tiba-tiba, seperti badai yang menyeretnya ke pusaran baru. Ia belum siap, tapi juga tak bisa benar-benar menolak.
“Gak tau, lah.” Diandra akhirnya memilih menghindar, langkahnya lebih cepat mendahului Kevin.
Di belakangnya, Kevin hanya menghela napas, seolah mengerti ada sesuatu di antara Diandra dan pria itu.
____
Mata Yudhistira membelalak begitu melihat beberapa lembar foto yang baru saja diletakkan di atas mejanya. Jari-jarinya yang berhiaskan cincin berkilat menyapu permukaan foto itu perlahan, satu per satu, seolah sedang menilai nilai tukarannya. Senyum miring kemudian tersungging di wajahnya.
“Sebarkan berita ini ke media,” ucapnya tenang, tapi sarat dengan tekanan. “Berita ini akan mengiring opini publik sesuai keinginan kita. Dan perempuan itu… dia jelas tak suka jika identitasnya terbongkar, bukan? Biar dia tahu sedang berhadapan dengan siapa.”
Hilman, orang kepercayaannya, menelan ludah. Ada keraguan yang tak bisa ia sembunyikan. “Tapi bagaimana dengan Mas Lingga, Pak?” tanyanya pelan, hati-hati.
Alih-alih marah, Yudhistira justru menyandarkan tubuh ke kursinya dengan tenang. Jemarinya mengetuk meja kayu jati itu ritmis. “Justru lewat ini kita bisa tahu rencana Lingga. Kenapa dia menikah tiba-tiba dengan keluarga Aditama? Apa kamu tidak curiga, Hilman? Perempuan itu bisa saja punya motif tersembunyi. Jangan-jangan…” ia berhenti sejenak, matanya menyipit licik, “... Lingga sedang diperdaya.”
Hilman menunduk, tak bisa membantah. Ia sendiri sudah lama mengenal Lingga, dan tahu betul kalau pria itu tak pernah mengambil keputusan gegabah. Pernikahan mendadak ini memang janggal.
“Baik, Pak. Jujur saja, saya juga kaget. Mas Lingga biasanya penuh perhitungan, tapi kali ini…” Hilman menggantung kalimatnya, masih tak habis pikir.
Yudhistira mengibaskan tangannya, seolah tak butuh jawaban. “Pokoknya sebarkan hari ini juga. Jadikan headline. Buat opini yang menggiring publik, biar muncul banyak spekulasi. Semakin keruh, semakin baik.”
“Siap, Pak.” Hilman mengangguk.
“Tapi…” Yudhistira menyeringai tipis, suaranya lebih rendah, “blur wajah Lingga.”
Hilman mengangkat kepala, bingung. “Kenapa begitu, Pak?”
Yudhistira kembali mengetuk meja, lalu mencondongkan tubuh. Tatapannya tajam, penuh kalkulasi. “Ada dua kemungkinan. Pertama, kalau publik tahu jelas siapa Lingga, mereka akan menyerangnya. Kedua, itu bisa berimbas buruk pada nama perusahaan. Kita tidak bisa ambil risiko itu. Kita main aman, hanya wajah si perempuan yang jelas. Dengan begitu, Lingga tetap aman… sementara dia yang jadi sasaran.”
Senyum licik mengembang penuh di wajah Yudhistira. Baginya, ini bukan sekadar permainan citra. Ini adalah peringatan. Peringatan bahwa siapa pun yang berani masuk ke lingkaran keluarga Adiwijaya harus siap dengan segala konsekuensinya.