NovelToon NovelToon
Penghakiman Diruang Dosa

Penghakiman Diruang Dosa

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Spiritual / Iblis / Menyembunyikan Identitas / Barat
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: R.H.

⚠️ *Peringatan Konten:* Cerita ini mengandung tema kekerasan, trauma psikologis, dan pelecehan.

Keadilan atau kegilaan? Lion menghukum para pendosa dengan caranya sendiri. Tapi siapa yang berhak menentukan siapa yang bersalah dan pantas dihukum?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.H., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17. Lorong Rumah Sakit

Aku duduk di lorong rumah sakit, menunggu perawat datang. Rasa khawatiran menyelimuti pikiranku.

Lima tahun bekerja di warung Pak Bruto telah mengajarkanku arti kasih sayang—sesuatu yang tak pernah aku dapatkan dari ayah kandungku sendiri. Ibuku telah meninggal saat aku berusia 10 tahun, dan sejak itu aku berjalan sendiri dalam hidup.

Sesekali aku menoleh ke arah pintu ruang UGD. Takut mendengar kabar buruk. Tiba-tiba, seorang wanita berusia sekitar 35 tahun datang bersama dua anak kecilnya.

Wanita itu mendekatiku dengan wajah cemas.

"Lion, ayah saya baik-baik saja, kan?" tanya wanita itu dengan mata berkaca-kaca.

Aku hanya diam menatapnya. Saras—anak pertama Pak Bruto. Lalu mengalihkan pandangan pada kedua anaknya yang duduk disampingku.

"Aku tidak tahu kondisinya. Semoga pak bruto baik-baik saja," jawabku pelan. "Kita hanya bisa mendoakan yang terbaik."

Saras tampak semakin gelisah. Ia mondar-mandir dengan wajah penuh penyesalan.

"Yah... Saras minta maaf. Saras anak durhaka. Maafkan Saras yang nggak bisa ngurus ayah," bisiknya lirih. Tapi aku mendengarnya jelas.

Tak lama, seorang dokter keluar dari ruang UGD. Ia membuka maskernya dan menghela napas.

"Dok, bagaimana kondisi ayah saya?" tanya Saras cepat dengan suara bergetar.

Dokter itu menatapku sekilas, lalu menatap Saras dengan wajah muram. Jantungku seketika berdegup kencang

"Maaf... Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain. Pak Bruto sudah meninggal dunia."

Aku dan Saras terdiam kaku. Tubuhku langsung lemas, aku menunduk menatap lantai. Lelaki tua yang sudah kuanggap seperti ayah kini telah tiada.

Saras menangis. begitu pula kedua anaknya yang memeluk erat ibunya.

"Kakek... jangan tinggalin Ami, Kek..." tangis anak perempuannya yang berusia enam tahun, diikuti oleh Andra sang kakak.

Aku tidak sanggup menunjukkan kesedihanku di depan banyak orang. Dengan langkah gontai, aku pergi menuju taman belakang rumah sakit. Duduk di bangku taman, kupejamkan mata, membiarkan angin sepoy-sepoy menenangkan pikiranku yang kacau. Kenangan tentang Pak Bruto selama lima tahun terakhir kembali berputar di kepalaku.

Flashback

Aku mengingat jelas saat pertama kali bertemu Pak Bruto. Saat itu aku masih berusia 20 tahun, belum bekerja, masih kuliah.

Di kampus, aku dikenal sebagai mahasiswa berprestasi. Tapi di rumah, aku hidup bersama ayah kandungku, Bima Argandara—lelaki ambisius dan kejam.

Hidupku penuh tekanan, karena baginya aku harus selalu sempurna. Prestasi dan piagam yang kuraih dengan susah payah tak pernah cukup di matanya.

Bima selalu menuntut kesempurnaan. Prestasi yang kuperoleh tak pernah cukup. Semuanya yang kurahi dianggap remeh. Aku tak tahu apa yang sebenarnya ia inginkan.

Ceritaku hampir mirip seperti kisah adam tapi kita berbeda. Adam ingin sempurna Dimata ayahnya demi menembus kesalahannya. Hingga dia melakukan banyak cara untuk bisa sama dengan Adam. Namun, Dimata ayahnya dia tetap Adam bukan Adom.

Hingga Adam hilang kendali akan diri sendiri dan terjebak dalam lingkaran hitam. Sedangkan aku ditutut itu menjadi sempurna.

Di rumah mewah itu, semua keinginanku dipenuhi. Tapi aku tak pernah merasakan kebahagiaan. Aku bahkan tak tahu cara tersenyum tulus.

Suatu hari, sepulang kuliah, aku mendapati Bima duduk di sofa, membaca koran. Begitu melihatku, ia menurunkan kacamatanya dan mulai mencecar ku.

"Nilai kamu turun drastis! Dari 100 jadi 20! Mau jadi apa kamu? Gembel?"

Aku hanya diam. Ia semakin marah, memukul dan mencaci ku.

"Ayah kasih kamu segalanya, tapi nilai saja kamu nggak bisa sempurna!"

Bahkan saat nilainya hanya turun dari 100 ke 80 pun ia bisa marah besar. Baginya, aku hanyalah proyek kesempurnaan. Bagiku, aku manusia biasa yang butuh dimengerti—bukan robot.

Lalu, ia menyeretku kasar ke kamar dan mengunciku dari luar.

"Kalau nilai kamu belum sempurna, jangan harap bisa makan!"

Aku berlutut menahan tangis. Putus asa, aku mengambil pisau dari laci meja. Darah segar menetes ketika bilah itu menggores kulitku. Namun, saat hendak menggorok nadiku, aku tak sanggup. Dengan gemetar, aku menuliskan sebuah surat di buku catatan.

"Maaf aku tidak bisa menjadi Lion yang sempurna seperti yang Ayah inginkan. Tapi tolong jangan cari aku lagi. Aku mau hidup sendiri tanpa Ayah."

—Lion

Surat itu kutaruh di atas bantal. Lalu Aku melompat dari balkon lantai atas rumah mewah itu, tubuhku remuk, namun aku masih hidup. Aku berjalan tertatih, berharap menemukan kedamaian.

Dengan tubuh penuh luka, aku berjalan tanpa tujuan hingga akhirnya pingsan di depan warung mie ayam milik Pak Bruto.

Saat terbangun, aku sudah berada di rumah kecil sederhana. Pak Bruto merawat lukaku dengan penuh kasih sayang, memperlakukanku seperti anaknya sendiri. Sejak itu aku bekerja di warungnya. Perlahan, aku bangkit kembali dan akhirnya membeli rumah sendiri agar tidak merepotkan beliau.

Flashback selesai.

Aku masih duduk di taman, menutup mata, membiarkan udara segar menyentuh wajahku. Tiba-tiba, seseorang duduk di sampingku.

"Hey, kamu baik-baik saja? Bukannya kamu pamannya Rafael?" suara lembut seorang wanita menyapaku.

Aku mengerutkan kening, perlahan membuka mata. Sinar matahari membuatku menyipitkan pandangan. Aroma parfum yang familiar menyentuh hidungku. Aku menoleh.

"Rina..." gumamku tak percaya m

Aku buru-buru memperbaiki posisi duduk, berusaha menenangkan diri agar tak terlihat canggung. Rina tersenyum kecil, membuatku makin gugup.

"Ada sesuatu yang buruk terjadi?" tanyanya lembut.

Aku terdiam, jantungku berdetak kencang. Rina menatapku bingung. Tak sanggup menjawab, aku memilih berdiri dan pergi.

Rina menatap punggungku yang menjauh, tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. Saat hendak beranjak, pandangannya tertuju pada sebuah dompet yang tertinggal di bangku

"Ya ampun... dia melupakan dompetnya," gumamnya.

Di dalamnya ia menemukan foto Lion semasa kuliah. Rina mengernyit, memandangi foto itu lama seakan ada sesuatu yang dipikirkan.

1
dhsja
🙀/Scowl/
Halima Ismawarni
Ngeri au/Skull//Gosh/
R.H.: ngeri sedap-sedap au/Silent//Facepalm/
total 1 replies
Halima Ismawarni
seru
R.H.
Slamat datang di cerita pertama ku/Smile/ Penghakiman Diruang Dosa, semoga teman-teman suka sama ceritanya/Smile/ jangan lupa beri ulasan yang menarik untuk menyemangati author untuk terus berkarya/Facepalm/ terimakasih /Hey/
an
lanjut Thor /Drool/
an
lanjut Thor
an
malaikat penolong❌
iblis✔️
dhsja
keren /Hey/
dhsja
keren /Hey/
dhsja
Lanjut /Smile/
dhsja
Keren😖 lanjut Thor 😘
diylaa.novel
Haloo kak,cerita nya menarik
mampir juga yuk ke cerita ku "Misteri Pohon Manggis Berdarah"
R.H.: terima kasih, bak kak😘
total 1 replies
Desi Natalia
Ngangenin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!