Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.
Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.
Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ke 5 Pahlawan Berkumpul
Suasana tegang masih menggantung di udara.
Akar-akar sihir masih melingkar di tanah berlumpur. Para Pawang Tanah Merah berdiri diam seperti patung neraka, tubuh mereka separuh manusia, separuh tanah, dengan mata merah menyala. Mereka tak bicara, hanya mengamati.
Seolah menikmati pertengkaran para manusia sebelum mereka cabik.
Taki, Sasmita, dan Yama masih menatap Asvara dengan tensi tinggi. Ningsih berdiri mematung di tengah mereka, seperti anak kecil yang tak tahu harus lari atau tetap tinggal.
Lalu…
Dari kejauhan, terdengar raungan mesin.
Awalnya samar. Seperti suara petir jauh yang menahan tawa.
Kemudian makin keras… makin liar… makin tidak sopan.
“Ngeeeengggggg… NGUNG!!!”
Sebuah motor besar—mungkin Harley tua yang sudah kena modif gila—menerobos kabut pekat Desa Gunung Jati.
Ban belakangnya berasap, suara knalpotnya seperti neraka yang pilek.
Di atasnya duduk seorang pria bertubuh kekar, berambut panjang acak-acakan, jaket kulit hitam penuh patch band metal, dan… gitar listrik di punggungnya.
Motor itu berhenti tepat di tengah medan. Tanah bergetar. Kabut tersibak.
Dan pria itu menyalakan rokok.
“Ampun… kampret, gue telat ya?” suaranya berat, serak, dan… agak ngantuk.
Sasmita melirik ke Yama.
Yama melirik ke Taki.
Taki mengangkat alis.
Asvara bahkan berkedip, untuk pertama kalinya sejak muncul.
Pawang Tanah Merah pun menoleh—seolah baru melihat makhluk yang lebih absurd daripada mereka.
“Siapa lo?” tanya Taki, siap siaga.
Pria itu turun dari motornya, membiarkan mesin tetap menyala dan lampu sorotnya menyorot salah satu Pawang seperti sedang konser.
Ia memutar pundaknya, lalu mencabut gitar dari punggungnya dengan satu gerakan keren seperti samurai mencabut pedang.
“Nama gue…” ia menjentik abu rokoknya ke tanah.
“Raga Mahardika. Tapi panggil aja—Hellhowl.”
Sunyi.
Sasmita memicingkan mata. “Penyanyi?”
Hellhowl menyeringai. Giginya putih, kontras dengan wajah lelah dan mata merah seperti habis begadang dua minggu.
“Penyanyi. Penggigit. Penggetar bumi. Pemanggil gema dari neraka.”
Lalu ia menghentak gitarnya sekali.
“TENGGGGGGGG!”
Nada distorsi keluar dari gitar itu—tapi anehnya, nada itu menggema di udara seperti mantra.
Kabut di sekitar tanah bergetar, dan para Pawang Tanah Merah mundur satu langkah.
“Itu… bukan gitar biasa,” bisik Asvara dengan nada curiga.
Hellhowl melangkah maju, menyusuri garis pertahanan akar Asvara seolah itu karpet merah.
“Gue dapet ini dari panggung terakhir di dunia arwah. Bunyinya bisa bikin arwah gentayangan muntah darah.”
Salah satu Pawang menggeram keras. Mulutnya terbuka lebar, mengeluarkan suara seperti lumpur meletup.
Hellhowl mendekat, lalu menyeringai lebih lebar.
“Sori telat, gue sempet nyasar ke pemakaman… salah bab.”
BOOM. Petir menyambar. Langit makin kelam.
Yama mencengkeram suntikan racunnya. “Ini… orang serius gak sih?”
Taki malah mengangkat dagu, sedikit takjub. “Kalo dia bisa bikin Pawang-Pawang itu mundur… gue gak peduli dia stand up comedian atau penjual soto.”
Sasmita menarik napas. “Asal jangan mati duluan, aja.”
Hellhowl memutar gitar, lalu menatap ke arah Pawang yang mulai maju lagi.
“Oke, siapa yang mau denger lagu gue dulu?”
Kabut bergolak. Tanah gemetar.
Dan entah siapa yang memulai… kelima sosok itu bergerak.
Tanpa aba-aba, tanpa strategi rumit.
Taki berdiri dengan pena emas menyala di tangan kanan.
Jubah hitamnya berkibar, mata tajamnya mengamati segala arah dengan kalkulasi dingin. Di belakangnya, Asvara melayang rendah, aura hijau berpendar dari tubuhnya seperti kelopak mistis yang belum mekar penuh.
Sasmita menegakkan tubuh di samping kanan, tombaknya siap dengan Shotgunnya.
Tatapannya fokus, dan setiap otot di wajahnya tegang seolah siap bertempur sendirian jika perlu.
Yama berdiri dengan tangan kanannya yang telah berubah menjadi cakar binatang.
Lengan itu masih berasap kimia, seperti menyimpan dendam dan kehancuran.
Dan Hellhowl memutar gitar di pundaknya, lalu menjentikkan satu nada yang membuat udara mendesis.
“Yah, jadi juga supergrup-nya…” gumamnya sambil tersenyum miring.
Di tengah lingkaran itu—berdiri Ningsih.
Kelima orang itu, berpunggungan membentuk perisai hidup, menjaga pusat dari segala arah. Masing-masing tak sepenuhnya mengenal yang lain, tapi… sesuatu dalam situasi ini membuat mereka bergerak serempak. Seolah takdir sedang mempermainkan potongan puzzle yang ganjil tapi pas.
Taki sempat melirik ke kiri dan kanan.
“…Gak nyangka kita bakal begini.”
Sasmita mencibir. “Kita bahkan belum saling tahu nama tengah.”
Asvara bicara pelan, tanpa menoleh. “Tapi energi kalian kuat. Meski kacau, kalian... nyata.”
Yama hanya mendengus. “Gue biasa kerja sendiri. Tapi ini... kayak pesta kematian.”
Hellhowl tertawa kecil. “Pesta kematian, ya? Bisa jadi judul album tuh.”
Suara geraman Pawang-Pawang Tanah Merah menguat. Mereka mulai maju perlahan, aroma lumpur busuk dan pembusukan menyelimuti udara. Mata mereka membara, mengamati ‘perlindungan manusia’ ini dengan haus.
Di tengah-tengah itu, Ningsih memandangi punggung-punggung mereka.
Lima orang asing. Lima kekuatan aneh. Lima dunia yang tak dia pahami.
Tapi mereka semua... memilih untuk berdiri di sekelilingnya.
“Kenapa… mereka melakukan ini?” bisiknya dalam hati.
“Aku ini siapa? Anak kutukan? Turunan iblis? Kunci untuk kehancuran?”
Lidahnya kelu. Kakinya gemetar. Tapi tubuhnya tak mau rebah. Seolah energi mereka berlima—panas dari punggung mereka, tekanan dari aura mereka—memaksa Ningsih untuk berdiri lebih tegak.
“Apa... aku layak dilindungi?”
“Apa aku… boleh percaya pada mereka?”
Air matanya hampir menetes, tapi dia menahannya. Tidak sekarang. Tidak di tengah medan perang.
Sasmita melirik sebentar ke arah Ningsih.
“Tenang. Kau nggak sendiri sekarang.”
Asvara mengangguk tanpa menoleh.
“Kami bukan keluarga. Bukan sahabat. Tapi… takdir sedang mempertemukan api-api pemberontak ini untuk satu hal.”
Taki menggenggam pena emasnya lebih erat.
“Menyegel kematian… atau mati bersamanya.”
Hellhowl menyeringai.
“Dan gue cuma pengen bikin panggung ini pecah sebelum semua orang jadi abu.”
Yama menghela napas. “Kita semua punya alasan, Ningsih. Tapi sekarang, alasan kita satu: selamatkan dirimu.”
Ningsih menutup mata sesaat, merasakan lingkaran itu meneguhkan jiwanya.
Bukan hanya tubuhnya yang mereka lindungi. Tapi sisa-sisa harapan dalam hatinya yang nyaris musnah.
Di sekeliling mereka, para Pawang Tanah Merah bersiap melompat, mencakar, menelan.
Tapi mereka berlima—lima penjaga bayangan—telah membentuk dinding terakhir di tengah malam yang busuk ini.
Dan Ningsih, akhirnya, percaya… meski hanya sedikit.
Bahwa dia tak akan dikorbankan sendirian.