Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.
Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.
Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan ingin di cintai
Al mengendarai motornya dengan kecepatan yang tidak biasanya. Angin sore menusuk wajahnya, tapi bukan itu yang membuat dadanya nyeri—melainkan bayangan Nayla yang pergi dengan mata berkaca, menyisakan luka yang menggema dalam diamnya.
Begitu melihat Nayla berjalan di pinggir jalan desa, langkahnya cepat meski terlihat lelah, Al segera menghentikan motor.
"Nayla!" serunya sambil turun dari motor. "Tolong dengar aku dulu!"
Namun Nayla menoleh dengan sorot mata yang tegas, sekaligus lelah.
"Aku sudah cukup mendengar dan melihat, Al. Hati aku... sudah penuh malam ini," ujarnya sambil menahan air mata.
Tiba-tiba, dari arah berlawanan, sebuah motor berhenti. Seorang pria muda dengan pakaian kasual dan ransel di punggungnya tersenyum ramah.
"Butuh tumpangan, Mbak? Rumah di kota ya? Ini arah saya juga, bisa saya antar," katanya sopan.
Al sontak melangkah maju, berdiri di antara Nayla dan pria itu. Wajahnya tegang, sorot matanya berubah.
"Maaf, dia istri saya."
Pria itu terlihat sedikit terkejut. Namun Nayla justru berkata, "Tapi suami saya sudah membuat saya ingin pergi, Mas."
Al terdiam. Luluh.
"Nayla, aku yang salah. Aku terlalu larut dalam masa lalu. Tapi sejak kamu hadir, kamu yang paling nyata. Aku... aku baru sadar kalau hatiku udah berubah arah. Ke kamu."
Nayla menatapnya, ragu. Ada luka yang belum sembuh, tapi juga ada kerinduan dalam dirinya yang baru saja tumbuh.
Al melangkah mendekat. "Tolong jangan pergi. Jangan biarkan aku kehilangan kamu, setelah aku mulai mencintaimu."
Pria muda itu tersenyum canggung dan mengangguk, lalu meninggalkan mereka berdua dengan tenang.
Nayla terdiam. Kata-kata Al barusan seperti mengunci langkahnya. Jantungnya berdetak kencang, dan untuk pertama kalinya, ia merasa menjadi sosok yang benar-benar diinginkan, bukan hanya dipilih karena keadaan.
“Aku baru sadar, Nayla… bahwa cinta itu tumbuh bukan dari masa lalu, tapi dari apa yang kita bangun hari ini,” ucap Al lembut, jemarinya menyentuh pelan tangan Nayla yang dingin.
Nayla menunduk, dan untuk pertama kalinya dia tak membantah, tak menolak, bahkan tak ingin lari. Wajahnya memerah saat Al melanjutkan dengan suara rendah namun penuh makna,
“Rasulullah bersabda, ‘Jika aku boleh menyuruh seseorang sujud kepada yang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri sujud kepada suaminya karena besarnya hak suami atas istrinya.’”
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Al menatapnya dalam. “Tapi aku tak menuntut itu darimu. Aku hanya ingin… kau menemaniku dengan hati yang tulus. Menjadi madrasah pertamaku. Menjadi penyejukku.”
Nayla mengangguk perlahan, dan dengan suara pelan ia menjawab, “Kalau begitu… tuntun aku, Al. Bukan hanya sebagai suamiku, tapi juga imamku.”
Al tersenyum, dan kali ini, tidak ada lagi jarak di antara mereka. Al meraih tangan Nayla dan menggenggamnya dengan hangat. Tak ada lagi Dania, tak ada lagi bayang masa lalu. Yang ada hanya Nayla dan jalan mereka ke depan—sebuah awal baru yang lebih kuat.
Setelah perjalanan panjang dan hati yang akhirnya kembali menyatu, mereka tiba di rumah saat senja mulai turun. Nayla terlihat kelelahan, tubuhnya lemas, tapi wajahnya damai. Al tanpa banyak kata langsung mengangkat tubuh istrinya masuk ke dalam rumah, lalu membawanya ke kamar mereka.
“Beristirahatlah, sayang…” bisik Al lembut, sambil membaringkan Nayla dengan penuh kehati-hatian. Tatapan mereka saling mengunci, tak ada lagi kebingungan, tak ada lagi jarak. Yang tersisa hanya kehangatan yang terasa begitu nyata di antara mereka.
Sore itu mereka menghabiskan waktu dalam dekapan satu sama lain, meluruhkan rindu dan luka yang sempat tumbuh. Mereka saling memandang, berbicara dalam diam, dan saling menyentuh dengan penuh cinta yang sudah tertahan begitu lama.
Malam pun datang. Setelah mereka menunaikan sholat Isya berjamaah, Al menatap Nayla yang kini mulai terbiasa dengan sajadah, dengan doa-doa yang terucap lirih. Ada rasa haru menyelimuti dada Al, bahwa perempuan di hadapannya ini benar-benar berubah—dan semua karena cinta.
Saat mereka duduk bersisian, Al menyentuh lembut pipi Nayla. “Kau tahu? Aku tidak pernah membayangkan bisa sehancur ini saat kau ingin pergi tadi siang,” bisiknya.
Nayla tersenyum kecil, lalu menjawab, “Karena ternyata aku juga tidak bisa membayangkan jauh darimu…”
Malam itu, kedekatan mereka bukan hanya secara fisik, tapi hati yang berserah satu sama lain. Mereka menyatu—dengan ikatan yang jauh lebih kuat dari sebelumnya. Dalam hening malam, dengan cahaya temaram lampu kamar, cinta di antara mereka tumbuh makin dalam, tak lagi sekadar kewajiban dalam akad, tapi ketulusan yang terbangun dari ujian, air mata, dan kepercayaan.
Pagi itu, sinar mentari masuk malu-malu melalui celah tirai kamar mereka. Udara desa yang sejuk berpadu dengan aroma tanah yang masih basah karena embun membuat pagi terasa lebih hangat dari biasanya.
Nayla membuka mata perlahan. Wajahnya berseri-seri, pipinya bersemu merah muda. Ia menyentuh perutnya perlahan sambil tersenyum, mengingat malam yang baru saja dilewati bersama suaminya. Sebuah malam yang mengubah segalanya. Bukan hanya tentang kedekatan fisik, tapi juga hati yang benar-benar menyatu.
Di sisi lain tempat tidur, Al masih tertidur dengan wajah damai. Nayla menatapnya beberapa saat, lalu membisikkan doa pelan, “Ya Allah… terima kasih Engkau telah lembutkan hatinya untukku… dan hatiku untuknya…”
Ia bangkit pelan-pelan, tak ingin membangunkan suaminya. Dengan langkah ringan, ia menuju kamar mandi lalu mengenakan piyama panjang dan hijab tipis yang biasa ia gunakan di rumah. Di dapur, ia mulai menyiapkan sarapan sederhana: telur dadar, nasi hangat, dan teh manis kesukaan Al.
Pagi itu berbeda. Hatinya terasa ringan. Ia tak lagi merasa ragu akan cintanya, tak lagi merasa tak pantas. Semua kegundahan yang pernah ada kini digantikan oleh keyakinan bahwa rumah yang ia tempati bersama suaminya ini... adalah tempatnya tumbuh dan belajar menjadi istri yang sesungguhnya.
Saat ia sedang menata sarapan di meja, Al muncul di ambang pintu dapur, rambutnya masih agak berantakan dan senyum mengembang di wajahnya.
"Subuh-subuh udah senyum kayak bunga mekar," goda Al sambil menghampiri Nayla.
Nayla tertawa kecil, wajahnya merona. “Kalau yang lihatnya ustadz, ya harus senyum yang paling manis,” jawabnya malu-malu.
Al memeluk pundaknya dari belakang, lalu berkata lirih, “Semoga pagi ini jadi awal dari banyak pagi yang kita lewati... bersama.
Al yang sedang bersiap dengan topi caping dan sarung tangan berkebun, mendadak terdiam begitu melihat Nayla keluar dari kamar.
"Nayla…," ucapnya tertahan.
Nayla berdiri di ambang pintu dengan senyum nakal, mengenakan baju tidur berbahan satin tipis yang semestinya hanya muncul saat malam hari, bukan pagi-pagi begini, apalagi saat Al hendak pergi ke kebun. Rambutnya masih tergerai lembut dan aroma tubuhnya tercium samar namun menggoda.
“Baju dinas malam ini… lupa aku simpan,” katanya pura-pura polos sambil menepuk pelan bagian bawah rambutnya yang jatuh di bahu.
Al menelan ludah, niatnya untuk ke kebun tiba-tiba goyah. “Sayang, kamu ini... tahu nggak, ini bahaya banget buat niat baikku bercocok tanam,” katanya setengah bercanda, setengah serius menahan godaan.
Nayla mendekat perlahan, matanya menatap jenaka, “Kamu lebih suka nanem yang di kebun… atau panen yang di rumah?”
Al tertawa kecil, wajahnya langsung memerah, lalu dengan cepat memeluk istrinya, “Kebunku bisa nunggu… tapi kamu nggak boleh ganggu niat ibadahku pagi-pagi begini,” ujarnya sembari mencium kening Nayla.
“Tapi kamu juga nggak boleh lupa, ini bagian dari ibadah juga,” bisik Nayla, sukses membuat Al menutup pintu kebun… dan membuka lembaran pagi mereka dengan tawa dan cinta.