"Lebih baik, kau mati saja!"
Ucapan Bram membuat Cassandra membeku. Dia tidak menyangka sang suami dapat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hatinya. Memang kesalahannya memaksakan kehendak dalam perjodohan mereka hingga keduanya terjebak dalam pernikahan ini. Akan tetapi, dia pikir dapat meraih cinta Bramastya.
Namun, semua hanya khayalan dari Cassandra Bram tidak pernah menginginkannya, dia hanya menyukai Raina.
Hingga, keinginan Bram menjadi kenyataan. Cassandra mengalami kecelakaan hingga dinyatakan meninggal dunia.
"Tidak! Kalian bohong! Dia tidak mungkin mati!"
Apakah yang terjadi selanjutnya? Akankah Bram mendapatkan kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Pengganggu
Bram telah bertekad mengganti semua kenangan buruk dengan hal yang indah sebelum Cassie benar-benar mengingat hubungan mereka. Namun, Cassie masih begitu sulit didekati.
Ia menjaga jarak, sering bersikap dingin, dan canggung saat bersamanya. Bram mengerti—dia bukan siapa-siapa diingatan Cassie. Bahkan, dalam memorinya yang perlahan kembali, hanya trauma dan luka yang ia temukan.
Di sisi lain, kehadiran Revan Dirgantara juga semakin meresahkan. Dokter muda itu jelas menunjukkan ketertarikan pada Cassie. Dan yang lebih mengganggu lagi, Cassie tampak nyaman dengannya.
Bram meneguk kopi yang mulai dingin. Matanya menerawang ke luar balkon apartemen. Angin sore yang seharusnya menenangkan, kini justru membuat dadanya makin sesak.
Ding-dong.
Suara bel membuat Bram menoleh. Ia mendengus pelan, meletakkan cangkir, dan berjalan ke arah pintu. Wajahnya langsung menegang saat melihat siapa yang berdiri di balik pintu.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Raina? Kita tidak ada urusan lagi!"
Bram menatap Riana seolah perempuan itu adalah penganggu.
Perempuan itu berdiri dengan santai, mengenakan coat mahal dan riasan sempurna. Tatapannya angkuh, seolah akan menerjang apa pun yang menghalangi usahanya. Raina mendekat perlahan.
"Sudah lama ya kita nggak ketemu," ucapnya, senyum miring menghiasi wajahnya. “Kamu kelihatan kurusan.”
Bram mengerutkan alis. “Kau tahu dari mana aku ada di sini?”
Raina menaikkan satu alis, lalu memainkan rambut panjangnya. Perempuan itu berusaha sangat keras untuk mendapatkan alamat apartemen Bram yang ternyata bersebelahan dengan apartemen Cassie berada.
“Oh, come on, Bram. Aku punya banyak koneksi. Dunia ini kecil sekali. Lagipula, kamu pikir sekretarismu itu benar-benar loyal? Dia cuma butuh uang sedikit untuk membuka mulut.”
Bram mengepalkan tangannya. Dia berusaha menguasai dirinya sendiri.
“Kenapa kamu ke sini? Kita sudah tidak memiliki urusan lagi!"
Raina mendekat satu langkah. “Aku hamil.”
Bram terdiam. Matanya tajam menatap Raina. “Kamu gila.”
Raina tertawa kecil. “Sudah kuduga kamu akan bilang begitu. Tapi ini kenyataan. Aku tahu waktunya pas. Malam di villa itu, sebelum kamu pergi dan… pulang ke rumahmu.”
Ya, mereka pernah tidak sengaja melewatkan malam bersama. Raina memang bekerja di Perusahaan milik keluarga Bram. Itu semua merupakan rencana Bram untuk lebih dekat dengan Raina.
Tanpa disadari oleh Bram, hal itu menjadi bumerang. Acara gathering kantor adalah awal dari hubungan mereka yang semakin dekat. Namun, Bram bersumpah tidak pernah merasa melakukan sesuatu pada Raina. Kejadian itu sudah empat bulan lamanya, dan Raina baru mengatakan ini sekarang.
Bram mengepalkan tangan. “Itu kejadian lama. Satu malam. Dan aku bahkan nggak sadar sepenuhnya waktu itu.”
Raina mendongak, tajam. “Tapi cukup untuk membuatku hamil.”
“Kau datang ke sini cuma untuk menuntut tanggung jawab?”
“Ya. Dan lebih dari itu. Cassie belum ingat semuanya, kan?” senyumnya sinis. “Bagaimana kalau aku bantu dia mengingat bagian yang kamu sembunyikan baik-baik?”
Bram menahan napas. Rasa muak menyergap. “Keluar dari apartemenku.”
“Aku belum selesai bicara.” Raina ingin memasuki apartemen, tetapi dicegah oleh Bram.
“Aku sudah selesai mendengar,” sahut Bram dingin. “Kalau kamu pikir bisa menghancurkan hidupku pakai ancaman murahan, kamu salah. Tes DNA saja belum ada, dan kamu datang bawa omong kosong.”
Raina menyilangkan tangan. “Kamu mau tes? Baik. Tapi kalau hasilnya positif, kamu harus menikahiku.”
Bram tertawa pendek. “Menikahimu? Bahkan, aku tidak pernah memimpikan menikahimu.”
Raina mengerjapkan mata, wajahnya mulai kehilangan kendali. Bram dulunya sangat mencintai dirinya. Dia mengatakan akan menikahi Riana setelah menceraikan Cassie. Namun, kecelakaan itu seolah menyadarkan Bram kalau hubungan mereka adalah sebuah kesalahan.
“Sekarang keluar,” tegas Bram. “Dan jangan pernah muncul lagi.”
Tanpa menunggu jawaban, Bram menutup pintu tepat di depan wajah Raina. Ia menghela napas panjang, lalu mengambil ponsel dan menghubungi Kenan.
“Ken, Raina barusan ke sini.”
“Apa, Tuan? Dari mana, dia tahu alamat apartemen Anda?
“Dia bilang tahu dari sekretarisku yang lama. Aku nggak peduli gimana, pokoknya pastikan dia nggak bisa lacak aku lagi. Ganti semua akses dan jangan izinkan dia dekat kantor.Jangan lupa untuk memecat sekretaris itu."
“Baik, Pak. Saya urus sekarang.”
Bram mematikan sambungan. Ia menunduk, mencoba menenangkan diri, tapi pikirannya sudah berantakan. Ini gila. Semua yang ia bangun dengan susah payah di Singapura bisa runtuh kalau Cassie tahu lebih dulu dari orang lain. Apalagi—kalau dari Raina.
Pria itu mengingat kalau Raina memang mengatakan tentang kehamilan pada saat dia memutuskan hubungan. Hal itu, dapat di atasi oleh kehadiran Wira. Tampaknya kali ini, Wira tidak dapat mengendalikan anaknya sendiri. Bram tidak akan membiarkan Raina menghancurkan hidupnya dan pernikahannya. Dia harus mampu mempertahankan semua itu.
Ding-dong.
Bel berbunyi lagi. Bram memutar mata, mendesis kesal. Dengan penuh amarah, dia mengepalkan tangan kemudian berjalan ke arah pintu. “Raina, dasar—”
Ia membuka pintu dengan kasar. Namun, yang berdiri di hadapannya bukan Raina.
Cassie.
Wajahnya sedikit bingung, matanya menatap Bram yang berdiri dengan wajah marah. Tidak menyangka kalau reaksi Bram seperti itu. Bram yang biasanya lembut padanya, menampilkan ekspresi kemarahan yang sangat kontras.
“Aku... ganggu, ya?” tanya Cassie ragu.
Bram terdiam. Suaranya tercekat.
"Tidak, kamu tidak pernah mengganggu."
“Ehm, ada sesuatu yang ingin aku...” ucap Cassie lagi, kali ini lebih pelan.
Kegugupan Cassie tergambar sangat jelas. Bram menetralkan wajahnya terlebih dahulu, tidak ingin membuat Cassie ketakutan.
"Masuklah, Cass..."
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca....❤️
Dan juga keluarga Adrian kenapa tdk menggunakan kekuasaannya untuk menghadapi Rania yg licik?? dan membiarkan Bram menyelesaikannya sendiri?? 🤔😇😇
Untuk mendapatkan hati & kepercayaannya lagi sangat sulitkan?? banyak hal yg harus kau perjuangan kan?
Apalagi kamu harus menghadapi Rania perempuan licik yg berhati ular, yang selama ini selalu kau banggakan dalam menyakiti hati cassie isteri sahmu,??
Semoga saja kau bisa mendapatkan bukti kelicikan Rania ??
dan juga kamu bisa menggapai hati Cassie 😢🤔😇😇
🙏👍❤🌹🤭
😭🙏🌹❤👍