Cerita ini mengisahkan perjalanan lima teman—Aku, Danang, Rudi, Indra, dan Fandi—yang memutuskan mendaki Gunung Lawu. Namun, perjalanan mereka penuh ketegangan dan perdebatan sejak awal. Ketika mereka tiba di pasar aneh yang tampaknya terhubung dengan dimensi lain, mereka terperangkap dalam siklus yang tidak ada ujungnya.
Pasar Setan itu penuh dengan arwah-arwah yang terperangkap, dan mereka dipaksa untuk membuat pilihan mengerikan: memilih siapa yang harus tinggal agar yang lainnya bisa keluar. Ketegangan semakin meningkat, dan mereka terjebak dalam dilema yang menakutkan. Arwah-arwah yang telah menyerah pada pasar itu mulai menghantui mereka, dan mereka semakin merasa terperangkap dalam dunia yang tidak bisa dijelaskan. Setelah berjuang untuk melarikan diri, mereka akhirnya sadar bahwa pasar setan itu tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Keputusasaan semakin menguasai mereka, dan akhirnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka ternyata tidak pernah keluar dari pasar setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pradicta Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suara Tawa yang Mengerikan
Kami terus berlari mencari Fandi, berharap bisa menemukan jejaknya, meskipun kami tahu semakin lama semakin tidak mungkin. Pasar yang aneh ini seperti sebuah labirin tanpa ujung, dan langkah kami semakin lambat, semakin putus asa. Kami sudah terjebak begitu lama, dan setiap jalan yang kami tempuh selalu membawa kami kembali ke tempat yang sama. Bayangan gelap yang kami lihat sebelumnya semakin mengganggu, semakin menghilang dan muncul kembali, tapi Fandi... Fandi tidak ada di mana pun.
“Tunggu!” teriak Danang dengan suara yang penuh kecemasan, “Lo semua lihat nggak? Itu... itu bayangan lagi!”
Kami berhenti sejenak dan menatap ke arah yang ditunjuk Danang. Bayangan itu memang kembali, bergerak cepat, seakan menghindari kami. Kami mencoba mengejarnya, tetapi semakin kami berlari, semakin bayangan itu menjauh. Tanpa sadar, kami sudah terjebak dalam permainan yang tidak bisa kami menangkan.
Namun, saat kami semakin terperangkap dalam keputusasaan, tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras dan mengerikan. Suara itu menggelikan, namun juga menakutkan. Suara tawa yang menggema di seluruh pasar, menggetarkan setiap sudut dan menembus ke dalam jiwa kami.
“Hahahaha... Hahahaha!” Suara itu semakin keras, seolah berasal dari setiap sudut pasar, seperti terbahak-bahak tanpa alasan yang jelas. Kami berhenti sejenak, memandang ke sekeliling, mencoba mencari sumber suara itu, tetapi semakin kami mencari, semakin suara tawa itu mengarah ke setiap tempat, membuat kami merasa semakin terperangkap.
“Apa itu?” tanya Rudi dengan suara bergetar, wajahnya penuh ketakutan. “Gue... gue nggak ngerti. Kenapa suaranya kayak gitu?”
Suara tawa itu tidak hanya terdengar mengerikan, tetapi juga sangat menggelikan. Rasanya seperti ada yang sedang menertawakan kami, seperti kami hanyalah bahan tertawa untuk makhluk-makhluk yang tidak bisa dilihat. Setiap tawa yang terdengar seperti mengiris hati, mengingatkan kami pada ketakutan yang semakin membesar.
“Gue nggak suka ini, bro,” kata Indra, yang sudah terlihat semakin cemas. “Itu suara... suara tawa itu, itu bukan suara biasa. Ini suara yang terlalu banyak berarti.”
Kami mulai berlari ke sana kemari, mencari sumber tawa itu, tetapi pasar ini terus berubah. Lampu-lampu yang sebelumnya redup, kini semakin terang, tetapi tak memberi petunjuk sama sekali. Setiap kali kami berbelok, kami menemukan jalan yang sama—tenda yang sama, barang-barang yang sama, dan suara tawa itu yang terus menggema.
“Gue udah mulai ngerasa gila,” kata Danang dengan suara penuh frustrasi. “Kita udah muter-muter dari tadi, nggak ada yang berubah. Semua jalan sama aja!”
Kami semua merasa lelah dan putus asa, tetapi tawa itu terus mengusik pikiran kami. Suara itu terdengar semakin dekat, semakin menekan kami, seakan-akan kami tidak akan pernah bisa lari dari situasi ini.
“Ini nggak bener, bro,” kata Rudi, suaranya kini lebih serius. “Pasar ini, suara itu... semuanya udah nggak wajar. Kita harus keluar dari sini.”
Namun, semakin kami berlari, semakin kami merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Kami sudah lelah, ketakutan, dan bingung. Tawa itu terus menggema, seakan mengolok-olok kami, membuat kami semakin panik dan kehilangan arah.
Tiba-tiba, suara tawa itu berubah. Tidak lagi menggelikan, sekarang terdengar lebih gelap, lebih mengerikan. Tawa itu berganti menjadi suara yang lebih dalam dan menakutkan. Suara itu menggema di seluruh pasar, mengisi setiap sudut, dan seakan mengisi kepala kami dengan kegilaan yang semakin besar.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Indra, suaranya penuh ketakutan. “Ini... ini nggak bener. Semua ini nggak bener.”
Kami semua semakin cemas, dan tubuh kami mulai terasa lelah. Tidak hanya karena perjalanan yang panjang, tetapi juga karena ketegangan yang semakin menumpuk di dalam diri kami. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Semua jalan terasa sama, dan suara tawa itu semakin menguasai kami, membungkam setiap upaya untuk berpikir jernih.
“Apa kita nggak bisa keluar?” tanya Danang, suaranya nyaris putus asa. “Apa yang harus kita lakukan? Kita nggak bisa terus begini. Ini nggak ada habisnya!”
Kami semua merasa terperangkap. Tidak ada jalan keluar. Pasar ini terus mengitari kami, menjerat kami dalam lingkaran ketakutan yang tidak bisa dijelaskan. Setiap kali kami merasa hampir sampai di ujung jalan, pasar ini selalu membawa kami kembali ke tempat yang sama.
“Danang bener, kita harus keluar,” kata Rudi, berbicara dengan penuh tekad meskipun wajahnya tampak sangat lelah. “Kita nggak bisa terus begini. Kita harus lari, cari jalan keluar.”
Tapi entah kenapa, setiap kali kami berlari, kami merasa seperti semakin jauh dari jalan keluar. Seperti pasar ini menahan kami, menghalangi langkah kami, dan kami tidak bisa pergi.
Tiba-tiba, kami mendengar suara tawa itu lagi, tapi kali ini lebih keras, lebih mengerikan. Itu datang dari depan kami, menggetarkan seluruh tubuh kami. Kami semua berhenti sejenak, berusaha mencari asal suara itu, tetapi semakin kami mencari, semakin suara itu terdengar lebih dekat.
“Ayo, kita terus berlari!” teriak Danang, yang tampaknya semakin panik. “Gue nggak tahan lagi! Kita harus keluar!”
Kami semua melanjutkan berlari, meskipun ketakutan semakin mencekam. Suara tawa itu semakin menekan kami, seolah-olah menghalangi jalan keluar yang kami cari. Pasar ini semakin terasa seperti perangkap yang semakin rapat, dan semakin kami berusaha untuk keluar, semakin besar perasaan terperangkap yang kami rasakan.
Setiap kali kami berbelok, pasar ini semakin terasa seperti labirin tanpa ujung. Kami berlari, tetapi jalan yang kami lewati terasa seperti berputar kembali ke titik yang sama. Tidak ada jalan keluar, tidak ada tempat berlindung. Kami terjebak.
Saat kami mulai merasa hampir putus asa, tiba-tiba tawa itu berhenti. Semua terasa hening. Sejenak, pasar itu tampak kosong, dan udara yang tadinya begitu pekat kini terasa lebih ringan. Kami terdiam, mencoba mengatur napas, dan merasa bingung dengan keheningan yang tiba-tiba terjadi.
Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, kami mendengar suara langkah kaki pelan di belakang kami. Kami berbalik, dan kali ini, di tengah-tengah pasar yang gelap, kami melihat sosok yang familiar.
Fandi.
Dia berdiri di sana, matanya kosong, tubuhnya tampak lelah, dan wajahnya pucat. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Ia tidak tampak seperti Fandi yang kami kenal. Dia hanya berdiri di sana, menatap kami dengan tatapan kosong, tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Kami semua tertegun. Fandi ada di depan kami, tetapi ada sesuatu yang sangat salah dengan dirinya. Kami tidak tahu apakah itu benar-benar Fandi yang kami kenal, atau apakah itu hanya bayangan yang diciptakan oleh pasar ini.
“Fandi... apa yang terjadi?” tanya Indra, suaranya bergetar, penuh kekhawatiran. “Lo... lo kenapa?”
Fandi tidak menjawab. Dia hanya menatap kami dengan mata kosong, bergerak sedikit lebih dekat. Setiap langkahnya terasa seperti beban yang berat. Kami semua merasa semakin bingung dan ketakutan. Apa yang terjadi padanya?
Kami berdiri di sana, tak bisa bergerak, hanya bisa menatap Fandi yang tampak begitu jauh dari diri kami yang kami kenal. Pasar ini semakin menelan kami, semakin menguasai kami, dan semakin kami berusaha untuk keluar, semakin kami terperangkap dalam ilusi yang tak berujung.