Julia (20) adalah definisi dari pengorbanan. Di usianya yang masih belia, ia memikul beban sebagai mahasiswi sekaligus merawat adik laki-lakinya yang baru berusia tujuh tahun, yang tengah berjuang melawan kanker paru-paru. Waktu terus berdetak, dan harapan sang adik untuk sembuh bergantung pada sebuah operasi mahal—biaya yang tak mampu ia bayar.
Terdesak keadaan dan hanya memiliki satu pilihan, Julia mengambil keputusan paling drastis dalam hidupnya: menjadi ibu pengganti bagi Ryan (24).
Ryan, si miliarder muda yang tampan, terkenal akan sikapnya yang dingin dan tak tersentuh. Hatinya mungkin beku, tetapi ia terpaksa mencari jalan pintas untuk memiliki keturunan. Ini semua demi memenuhi permintaan terakhir kakek-neneknya yang amat mendesak, yang ingin melihat cicit sebelum ajal menjemput.
Di bawah tekanan keluarga, Ryan hanya melihat Julia sebagai sebuah transaksi bisnis. Namun, takdir punya rencana lain. Perjalanan Julia sebagai ibu pengganti perlahan mulai meluluhkan dinding es di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Larass Ciki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
-Julianna-
Aku memandangi anak laki-lakiku, yang terlihat sangat lucu dan manis. Tubuh kecilnya yang menggemaskan begitu mirip dengan ayahnya. Mataku terasa panas, namun aku memaksakan diri untuk menahan air mata. Aku tahu, aku tak bisa menangis. Sudah tiga tahun berlalu sejak aku terakhir kali memeluknya, dan dia tumbuh begitu cepat, dengan senyum cerah yang memikat hati. Dia tak tahu siapa aku, tak tahu bahwa aku adalah ibunya. Hanya aku yang merindukannya setiap hari, setiap detik, bahkan dalam tidurku, bayangannya selalu menghantui. Aku merindukan suara kecilnya, tawa cerianya, pelukannya. Tapi semuanya sudah berubah.
Aku masih ingat hari itu dengan jelas, ketika aku mendengar kabar bahwa Ryan Winston datang ke kota bersama putranya. Saat itu, aku merasa hati ini ingin meledak. Tanpa pikir panjang, aku memutuskan untuk menemuinya. Aku ingin melihat anakku, melihat wajahnya, meski aku tahu itu mungkin akan membawa rasa sakit yang dalam. Tak lama setelah aku sampai, aku melihat mereka berdiri di tengah aula, Ryan yang tegap dan penuh kuasa, di samping anak laki-laki yang memandang dunia dengan mata yang penuh kebahagiaan.
Pandanganku teralih pada anakku. Matanya yang berbinar mengingatkanku pada masa kecilnya. Namun, ada sesuatu yang membuat dadaku terasa sesak—tatapan matanya yang berlinang air mata, seolah tahu ada sesuatu yang hilang darinya. Aku tersenyum pahit. Aku ingin sekali menahannya dan memeluknya, tapi aku tahu, aku tidak punya hak itu lagi.
Aku mengalihkan pandanganku ke Ryan yang sedang menatapku dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu, hampir seperti menghitung-hitung reaksi yang akan aku tunjukkan. Matanya begitu tajam, seolah bisa menembus diriku. Aku tak merasa takut lagi padanya. Semua orang takut padanya, tapi aku sudah tak takut. Aku tahu betul siapa dia. Pria ini, yang telah membuat hidupku penuh luka dan kehilangan. Kepergiannya telah merampas semuanya dariku, tapi di sini dia, dengan penuh kuasa, memandangku seperti aku tak lebih dari seorang wanita yang tak berarti.
Aku menatap matanya, mencoba mengabaikan rasa cemas yang mulai menyeruak dalam diriku. Mata Ryan menyusuri tubuhku dengan sinar yang tak bisa kuterjemahkan. Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat, dan untuk beberapa alasan yang mengganggu, tubuhku merespon setiap pandangannya. Jangan jatuh cinta padanya. Aku memperingatkan diriku sendiri, namun, tatapan tajam itu mempengaruhi seluruh tubuhku.
Aku mengabaikan dia, berfokus pada anakku yang kini sedang bermain dengan senyum lebar di wajahnya, melihat lampu-lampu yang bergantungan di langit-langit aula. Senyum itu begitu tulus, begitu ceria. Aku merasakan kasih sayang yang begitu mendalam untuknya, dan rasa itu mengisi seluruh hatiku.
Namun, tiba-tiba, Ryan membungkuk dan menggendong anakku. Gerakannya begitu halus, namun penuh dengan sengaja. Dia mencium pipi anakku dengan penuh kasih, tahu betul bahwa itu akan melukai hatiku. Aku melihat anakku, yang melingkarkan tangan kecilnya di leher ayahnya, dan aku bisa melihat cinta yang begitu dalam di mata anakku. Itu adalah cinta seorang anak untuk ayahnya, cinta yang seharusnya juga diberikan padaku, ibunya.
Sakitnya begitu tajam. Aku menatap mereka berdua, dan kemudian mata Ryan menangkap pandanganku. Aku melihat senyum tipis di bibirnya, senyum yang menyiratkan kemenangan. Perlahan, dia berbalik dan pergi bersama anakku. Aku ingin sekali mengejarnya, merebut anakku darinya, tapi aku tahu aku tak punya kekuatan untuk itu. Keluarga Winston begitu berkuasa. Aku tak bisa berbuat apa-apa.
Aku berjalan keluar dari aula dan berhenti di taman, di bawah bayang-bayang pepohonan. Aku membungkuk untuk memetik bunga tulip merah yang tumbuh di samping jalan setapak. Aku memperhatikan bunga itu, menatapnya lama, seolah-olah itu bisa memberi aku sedikit ketenangan. Tapi kenangan itu datang kembali, dan aku tak bisa lagi menahan air mataku. Semua kenangan tentang dia, tentang bayi kami, tentang cinta yang hilang, terasa begitu menyakitkan. Setiap hari, rasa sakit itu menggerogoti hatiku.
Aku tak tahu berapa lama aku berada di sana, berdiri dengan bunga tulip itu di tanganku, menangis dalam diam. Setelah lebih dari sepuluh menit, aku akhirnya memutuskan untuk pergi. Namun, sebelum aku sempat berbalik, seseorang menutup mulutku dengan tangan besar dan menggenggam pinggangku dengan kuat. Aku terkejut, meronta mencoba melepaskan diri, tapi cengkeramannya begitu kuat. Aku tahu siapa dia. Hanya ada satu orang di dunia ini yang bisa membuatku merasa terperangkap seperti ini.
Ryan.
"Bajingan," gumamku dalam hati, namun tubuhku tetap diam, merasa lemah melawan kekuatan yang dimilikinya. Dia menyeretku ke sudut gelap di dekat taman, mendorong tubuhku ke dinding dengan kasar dan melepaskanku setelahnya.
"Apa yang salah denganmu?" teriakku padanya begitu dia melepaskanku, suaraku serak karena amarah yang membakar.
"Ssstt... Jangan teriak," katanya pelan, sambil kembali menutup mulutku dengan tangan besar itu. Suaranya yang rendah, seperti perintah, semakin membuatku marah. "Dasar bajingan gila," pikirku.
"Apa yang kau inginkan?" tanyaku dengan suara pelan, berusaha menahan diri agar tidak menarik perhatian orang lain. Aku tahu ini berbahaya, dan aku tidak ingin hal ini diketahui oleh siapa pun.
"Aku... aku hanya ingin melihatmu," jawabnya. Suaranya lembut, tapi ada sesuatu dalam pandangannya yang membuat detak jantungku semakin cepat. Aku mencoba mengalihkan pandangan dari matanya yang tajam, berusaha menenangkan diriku, tapi tubuhku justru merespon dengan cara yang tak kuinginkan.
Aku mengutuk dalam hati, mengingatkan diriku untuk tidak jatuh dalam godaan ini. Ryan adalah orang yang telah merusak segalanya. Tapi meskipun begitu, aku tak bisa mengabaikan perasaan yang timbul setiap kali dia mendekat.
Tiba-tiba, dia melingkarkan lengannya di pinggangku, menarik tubuhku semakin dekat dengan tubuhnya. Aku mencoba mendorongnya, namun gagal. Kemudian, dia mulai mencium leherku dengan lembut. "Dasar mesum," gumamku, berusaha memberontak, tapi cengkeramannya semakin kuat, dan aku tak bisa melawan.
"Biarkan aku menjadi cabul," katanya sambil tertawa, dan tawa itu hanya membuatku semakin marah.
"Pergi, Ryan!" seruku, dan kali ini aku berhasil mendorongnya sedikit. Namun, dia tak mundur. Sebaliknya, dia menarik pinggangku dengan lebih kuat lagi.
"Berani sekali kau memanggil namaku dengan nada seperti itu. Kau bahkan menamparku dua kali." Pandangannya tajam, hampir seperti mengancam. Aku tahu, kali ini aku harus bersikap tegas.
"Aku tidak keberatan menamparmu lagi." Aku menatapnya dengan mata penuh kebencian. Ryan hanya menyeringai dan menggerakkan ibu jarinya di bibirku, gerakan yang mengirimkan rasa jijik di hatiku.
"Kau adalah wanita pertama yang memperlakukanku seperti ini." Setelah itu, dia menempelkan bibirnya ke bibirku dengan paksa. Aku terkejut dan mencoba menolaknya, tapi tak berhasil. Aku meronta, berusaha melepaskan diri, namun tubuhnya semakin mendekat, semakin sulit untuk melepaskan diri.
“Mmphh... Tidak...” Aku mencoba berkata, tapi dia tak memberi ruang untukku. Dia mendorong lidahnya ke dalam mulutku, dan aku terperangkap dalam ciumannya. Ciumannya semakin dalam, semakin penuh gairah, dan aku merasa semakin tak berdaya. Aku berusaha mendorongnya menjauh, tetapi semakin aku melawan, semakin erat cengkeramannya.
Setelah beberapa menit, dia akhirnya berhenti, melepaskan tubuhku. Aku mengangkat tangan untuk menamparnya, rasa marah begitu kuat di dalam dadaku.
"Kau pikir aku akan membiarkanmu menamparku untuk ketiga kalinya? Hmm? Semudah itu?" Ryan menangkap tanganku, tertawa kecil di telingaku.
"Letakkan aku," seruku, berusaha menarik tanganku dari genggamannya. Namun, dia semakin mempererat cengkeramannya.
“Mau lihat anakmu?” tanyanya, dan seketika itu juga jantungku berhenti sejenak. Aku merasa kebahagiaan yang luar biasa meluap dalam diriku. Tanpa sadar, bibirku membentuk senyum. Aku menatapnya dan mengangguk dengan cepat.
"Ya, bolehkah?" tanyaku, merasa harapanku kembali muncul setelah tiga tahun lamanya. Aku ingin melihat anakku, bayi laki-lakiku, yang telah tumbuh besar tanpa aku ada di sampingnya.
Namun, suara Ryan berikutnya membuat semua harapanku runtuh begitu saja. "Biarkan aku menidurimu sekarang, dan aku akan membiarkanmu melihatnya." Kalimat itu menghancurkan segala harapanku. Hatiku terasa hancur saat mendengar kata-kata itu. Semua perasaan yang sempat aku bangun, runtuh seketika. Aku hanya bisa menatapnya, rasa sakit mengisi setiap sudut hatiku.
Air mata mulai mengalir begitu saja, aku merasa begitu bodoh karena telah mempercayai kata-katanya.
“Lepaskan aku. Aku tidak akan muncul di hadapanmu lagi dan aku bukan pelacur,” kataku dengan suara tercekat, tapi penuh ketegasan.
"Aku... aku..." Ryan mencoba berbicara, tetapi aku memotongnya dengan tatapan tajam.
"Saya ingat aturan kontrak Tuan Winston. Saya minta maaf karena melanggarnya. Saya hanya ingin melihat anak yang saya lahirkan." Aku berbicara dengan penuh tekad, menatap matanya yang merah karena marah.
Setelah itu, aku mendorongnya dan pergi, tak peduli dengan apa yang dia pikirkan.
julian demi adiknya, kadang athor bilang demi kakaknya🤦♀️🤦♀️🤦♀️🤦♀️🤦♀️
y illahi
dialog sma provnya
dn cerita, susah di mengerti jdi bingung bacanya
ga mau kasih duit, boro" bantuan
duit bayaran aja, aja g mau ngasih
,mati aja kalian keluarga nenek bejad
dn semoga anaknya yg baru lair ,hilang dn di temukan ibunya sendiri
sungguh sangat sakit dn jengkel.dn kepergian noa hanya karna uang, tk bisa di tangani😭😭😭