Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Entah kenapa, aku tidak bisa lagi menatap Angkasa di depan sana. Auranya begitu menakut, kan hingga tubuhku sedikit bergetar. Apalagi saat ia menyindir sesuatu tentang uang perusahaan membuat hatiku semakin kalut.
Angkasa kembali menatap seluruh ruangan, suaranya dalam dan penuh penekanan.
“Perusahaan ini sedang berkembang pesat,” katanya, “tapi percuma kalau ada oknum di dalamnya yang justru memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadi. Saya tidak suka karyawan yang bermain-main dengan uang perusahaan. Saya ingin semua orang di sini ingat: sekecil apa pun penyimpangan, cepat atau lambat akan terungkap.”
Aku tertegun. Kalimat itu seperti ditujukan langsung kepadaku. Aku bisa merasakan jantungku berpacu semakin cepat, seakan ingin melompat keluar dari dada.
Angkasa berhenti sejenak, lalu menyapu ruangan dengan tatapan tajam. Lagi-lagi, matanya singgah lebih lama ke arahku sebelum melanjutkan, “Mulai sekarang, saya akan lebih sering melakukan audit. Jadi saya harap tidak ada satu pun dari kalian yang bermain kotor.”
Ruangan seketika hening. Beberapa rekan kerjaku saling berbisik, sementara aku hanya bisa menunduk, pura-pura menulis sesuatu di buku catatan. Tangan ini sampai gemetar, hampir membuat pulpen terlepas.
Aku menggeram dalam hati. Apa dia sengaja? Apa dia sudah tahu tentang uang yang aku pakai? Atau ini cuma peringatan umum?
Akhirnya rapat pun selesai, dan aku bisa bernapas sedikit lega. Walau pun ia sempat menyindir tentang pemasukan perusahaan, bagiku tidak masalah. Toh semua karyawan ini hanya disuruh untuk membuat pembahasan target baru yang memang mendesak untuk segera diselesaikan.
Aku bersandar di kursi, mencoba merilekskan bahu yang tegang sejak tadi. Beberapa rekan terlihat masih membicarakan isi rapat dengan wajah serius, sementara sebagian lainnya langsung kembali ke meja kerja masing-masing.
Salah satu temanku mendekat, tersenyum kecil sambil berbisik, “Syukurlah bukan hal gawat, ya. Aku kira tadi ada pengumuman pemotongan gaji atau apa.”
Aku mengangguk, “Iya, aku juga sempat kepikiran ke arah sana. Untung cuma soal target. Meski tetap berat, setidaknya nggak seburuk bayanganku tadi.”
Dalam hati, aku merasa sedikit lebih ringan, meski masih harus menyiapkan banyak hal ke depannya.
Aku pun langsung kembali ke meja kerjaku, aku ingin cepat-cepat selesai dan pulang ke rumah.
Disaat aku tengah fokus bekerja, ponselku bergetar menandakan ada pesan masuk. ternyata dari ibuku.
"Ga, kamu sama Ratu sudah bercerai?" Dahiku berkerut, apa maksud pesan ibu? Siapa yang bercerai dari Ratu? Karena penasaran aku memutuskan untuk menghubunginya.
"Halo, Bu. Maksud ibu apa ya? Siapa yang bercerai?" tanyaku.
"Tadi ada kurir antar paket ke rumah, ini ada surat dari pengadilan agama."
"Apa! Pengadilan agama?"
"Iya, makannya ibu tanya sama kamu. Kamu sama Ratu memang mau bercerai?"
"Bu... Bu, tunggu dulu--" Entah kenapa pikiranku tiba-tiba tak bisa fokus. mendengar kata cerai membuatku tidak bisa berkata-kata. Perasaan aku belum cerai sama Ratu. Kok tiba-tiba.
"Ga, kamu dengar ibu, kan? Apa benar kamu sama Ratu mau cerai?" ucapan ibu melalui ponsel tidak bisa aku tanggapi. Tubuhku masih membeku dengan kabar yang tiba-tiba seperti ini.
Aku pun langsung mematikan sambungan ponsel. Aku terdiam beberapa saat setelah menutup telepon dari ibu. Jantungku berdetak kencang, seolah-olah semua udara di ruang kerjaku menghilang begitu saja. Surat dari pengadilan agama? Itu berarti Ratu benar-benar serius ingin mengakhiri pernikahan ini.
Aku memijit pelipisku, masih tak percaya. Selama ini aku pikir Ratu hanya mengancam, hanya ingin menakut-nakutiku dengan kepergiannya. Tapi kenyataan yang kuterima hari ini membuat kepalaku berputar.
"Dia benar-benar nekad…," gumamku lirih.
Suasana kantor yang tadi masih ramai setelah rapat kini terasa sunyi mencekam bagiku. Aku hanya bisa menatap surat-surat di meja kerja, tapi pikiranku melayang entah ke mana.
Tapi bagaimana bisa Ratu mengirim surat pengadilan ke rumahku, sedangkan dia saja kabur entah ke mana. Padahal mengajukan cerai ke pengadilan juga butuh biaya. Setahuku Ratu itu tidak bekerja semenjak menikah denganku.
Firasatku mengatakan satu hal—Ratu pasti membawa serta buku nikah dari rumah. Itu satu-satunya bukti yang bisa dipakai untuk mengajukan gugatan cerai.
Semakin kupikirkan, semakin jelas semuanya. Jadi selama ini, saat dia berpura-pura izin keluar rumah untuk membeli makanan dan menjemput anak-anak, sebenarnya dia sudah menyiapkan langkah besarnya. Dia sudah memperhitungkan segalanya dengan matang, tanpa sekalipun aku sadari.
"Astaga… jadi dia benar-benar serius," desisku sambil menekan meja kerja dengan kepalan tangan.
Rasa kagetku bercampur dengan amarah. Aku yang selalu merasa paling pintar, ternyata dikelabui oleh perempuan yang selama ini kuanggap lemah. Ratu menyusun rencananya dengan tenang, menunggu momen yang tepat, lalu menghilang sambil membawa semua yang dibutuhkan untuk menjatuhkanku.
Pikiranku makin kalut. Apa kata rekan kerjaku, keluargaku, dan anak-anakku nanti?
Aku menunduk lama di meja kerja, kedua tanganku menutup wajah. Rasanya kepalaku berputar hebat. Surat dari pengadilan agama bukanlah hal main-main. Itu berarti Ratu sudah benar-benar bulat tekadnya.
Aku mencoba mengalihkan perhatian pada tumpukan berkas di meja, tapi pandanganku kosong. Tulisan-tulisan di kertas terlihat kabur. Aku bahkan tak mampu fokus membaca satu kalimat pun.
"Kurang ajar… Ratu, berani sekali kamu," gumamku pelan, suara nyaris tak terdengar.
Begitu jam pulang tiba, aku buru-buru membereskan meja tanpa sempat menyentuh berkas-berkas yang masih menumpuk. Aku langsung pulang dengan perasaan gelisah, keringat dingin membasahi pelipis meski AC mobil menyala.
Sesampainya di rumah, aku tidak banyak bicara dengan ibu atau anak-anak. Aku langsung menuju kamar, membuka lemari pakaian, laci meja rias, sampai tas-tas lama Ratu yang masih tersisa. Tanganku gemetar saat mengobrak-abrik semua tempat penyimpanan.
"Buku nikah… pasti ada di sini…" desisku sambil terus membalik-balik tumpukan pakaian.
Namun sampai semua isi lemari hampir berhamburan ke lantai, buku nikah itu tidak juga kutemukan. Aku duduk terhempas di tepi ranjang, wajah pucat dan napas terengah.
"Jangan-jangan… benar, Ratu bawa semuanya. Dia sudah siap dari awal…"
Pintu kamar terbuka, ibuku masuk dengan wajah kesal. "Ga, kenapa tadi siang kamu enggak jemput anak kamu sampai Ibu yang harus turun tangan. Padahal dari siang Ibu sudah menghubungi kamu, tapi kamu nggak mau angkat-angkat telepon!" cecarnya di saat aku masih tengah sibuk mencari buku nikah yang sudah dibawa pergi oleh Ratu.
“Bu, bisa nggak jangan cerewet dulu! Aku lagi banyak pikiran!” bentakku dengan nada tinggi.
Ibuku terdiam sejenak, lalu matanya melotot ke arahku. “Kamu berani bentak ibumu sendiri? Gara-gara Ratu pergi saja kamu jadi kacau begini?"
Aku mengusap wajahku dengan kasar, setengah frustasi. “Sudahlah Bu! Jangan bawa-bawa Ratu lagi. Aku capek dengarnya!”
Ketegangan memenuhi kamar itu. Ibuku masih mendengus kesal, sementara aku duduk di ranjang dengan kepala tertunduk, tanganku mengepal keras.