"Kenapa kau menciumku?" pekik Liora panik, apalagi ini adalah ciuman pertamanya.
"Kau yang menggodaku duluan!" balas Daichi menyeringai sembari menunjukkan foto Liora yang seksi dan pesan-pesan menggatal.
Liora mengumpat dalam hati, awalnya dia diminta oleh sahabatnya untuk menggoda calon pacarnya. Tapi siapa sangka Elvara malah salah memberikan nomor kakaknya sendiri. Yang selama ini katanya kalem dan pemalu tapi ternyata adalah cowok brengsek dan psikopat.
Hingga suatu saat tanpa sengaja Liora memergoki Daichi membunuh orang, diapun terjerat oleh lelaki tersebut yang ternyata adalah seorang Mafia.
Visual cek di Instagram Masatha2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Masatha., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Sepanjang hari, Liora tidak banyak bergerak. Sarapan yang pesankan papanya untuk makan siang hanya disentuh sedikit. Sisa waktu ia habiskan di kamar, rebahan sambil menggulir layar ponselnya. Pikiran bercabang—antara rasa lelah setelah semalam bersama Daichi dan rencana kecil yang mulai ia rajut di rumah ini.
Panggilan masuk dari Elvara membuatnya terhenyak.
“Lio, kenapa nggak masuk kampus? Dosennya tadi sempat nanyain ke aku, loh.” Suara Elvara panik.
"Lah, kita kan beda jurusan. Kok malah bisa tanya ke kamu," balas Liora heran.
"Mungkin beliau tahu, kalau kamu hanya dekat denganku saja. Kamu belum jawab, kenapa kamu nggak masuk? Apakah kamu sakit?"
Liora mendesah, malas menjelaskan panjang. “Aku lagi nggak enak badan. Sekarang nginap di rumah Papa.”
Terdengar tarikan napas cemas dari seberang. “Hah? Rumah itu? Terus gimana kalau ibu tirimu berbuat macam-macam? Aku takut, Lio.”
Tawa Liora pecah, ringan tapi getir. “Kamu pikir aku pindah ke apartemen karena takut sama dia? Salah. Aku jijik lihat wajahnya. Rasanya setiap kali bertemu, aku ingin muntah.”
Ada jeda singkat, sebelum Liora melanjutkan dengan nada licik. “Oh iya, El… malam ini datanglah ke rumah. Jangan lupa berdandan cantik. Aku ingin Nayshila ketar-ketir, merasa papaku bisa jatuh hati pada perempuan lain yang jauh lebih muda dan menawan.”
Elvara langsung ngakak. “Astaga, kamu jahat banget. Tapi aku suka idenya! Baiklah, nanti aku dandan maksimal. Biar ibu tirimu susah tidur malam ini. Paling benci aku dengan pelakor."
“Terima kasih, El.” Suara Liora merendah, kali ini tulus. “Aku tahu kamu gadis baik. Aku percaya kamu nggak mungkin tertarik sama lelaki tua hanya demi uang. Itu sebabnya aku minta tolong.”
Setelah telepon berakhir, Liora membiarkan tubuhnya terbaring lagi. Bibirnya menyunggingkan senyum licik. Ia akan membuat rumah ini kembali menjadi miliknya, menyingkirkan Nayshila sedikit demi sedikit.
Namun, rencana itu tak menutupi rasa gentar yang masih membekas di hatinya. Ingatan semalam, ketika Daichi memeluknya seperti belenggu, masih segar. Kata-kata ancamannya menggema di telinga: Sekali saja kulihat kau dekat dengan lelaki lain, aku yang akan menghukummu.
Senyum Liora memudar. Bagaimana jika Daichi tahu Elvara datang malam ini? Apakah ia akan menyusul?
Detak jantungnya berdegup keras. Tapi justru rasa takut itulah yang membuat bibirnya kembali menyeringai. Ada kepuasan tersendiri setiap kali ia bisa menantang batas kesabaran Daichi. Lelaki itu mungkin kuat dan menakutkan, tapi Liora sadar—di balik semua kekejamannya, ada sisi yang bisa ia mainkan. Tangisan semalam adalah buktinya.
Ah tidak-tidak, kali ini aku nggak boleh kalah sama dia. Aku akan meminta papa untuk menyewa bodyguard demi keamanan aku.
Sore menjelang malam. Cahaya temaram menelusup ke kamar, menyorot wajah Liora yang sudah berdandan tipis. Ia menunggu kedatangan Elvara sambil mendengar suara langkah papanya yang baru saja pulang. Tawa kecil mengiringi aroma masakan dari dapur.
"Hai, sayang. Apakah kamu sudah baikan?" sapa Yudistira.
"Lumayan, tumben jam segini papa sudah pulang?" tanya Liora balik.
"Putri papa ada di rumah, makanya Papa sudah tidak sabar pulang dan makan malam bersama," balas Yudistira sembari mengusap puncak kepala Liora dengan lembut.
Diapun melirik ke arah Nayshila, jika sampai kapanpun dia tetap akan menjadi kesayangan papanya. Tak peduli Nayshila nanti akan memberikan anak.
"Pa, malam ini teman aku akan datang kemari aku undang makan malam. Tidak apa-apa, kan?"
"Teman? cewek apa cowok?" tanya Yudistira memastikan.
"Ya cewek lah, Pa. Namanya Elvara. Dia selama ini yang tinggal bersamaku di apartemen. Dia baik banget loh, Pa. Bisa dibilang selama ini dia yang mengurus aku dan memasak untukku, masakannya juga sangat enak," puji Liora sengaja memanasi ibu tirinya.
"Oh boleh-boleh, kalau gitu nanti malam Papa juga harus mengucapkan terima kasih padanya karena sudah menjaga kamu," ucap Yudistira terkekeh riang.
"Ya sudah sana Papa mandi dan ganti baju, aku mau menunggu teman aku dulu."
Setelah Yudistira pergi, Nayshila pun mendekatinya.
"Maksud kamu apa memuji-muji teman kamu Fu depan papamu?" tanya Nayshila dengan suara tertahan.
"Suka-suka aku dong, dulu saat kamu jadi temanku—aku juga sering memuji kamu di depan orang tuaku," balas Liora santai.
"Oh oke, lihat saja nanti," ancam Nayshila berlalu pergi.
Liora berdecih sinis, 'Tidak tahu malu. Bisa-bisanya dulu aku buta menganggapnya sebagai teman yang baik.
*
Malam itu, rumah Yudistira terasa lebih ramai dari biasanya. Baru saja Liora turun dari kamar dengan dress sederhana, Elvara sudah datang. Rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya dipoles make-up tipis yang justru menonjolkan kecantikan alaminya. Wangi parfum lembut menyebar seiring langkahnya memasuki ruang tamu.
Papa Liora menyambut dengan ramah, bahkan sedikit terkesima. “Wah, teman Liora? Cantik sekali… ayo masuk, Nak.”
Di balik pilar, Nayshila yang baru turun dari tangga sontak berhenti. Mata wanita itu menyipit, rahangnya menegang. Elvara jelas lebih cantik, segar, dan anggun dibanding dirinya. Senyum yang tadinya hendak ia tunjukkan, berubah kaku.
Elvara menunduk sopan. “Selamat malam, Om.”
Yudistira tersenyum hangat, bahkan matanya berbinar. “Selamat malam, Nak. Terima kasih sudah menemani Liora selama ini.”
Sekilas Liora melirik Nayshila, dan saat melihat wajah ibu tirinya yang merona merah penuh iri, ia hampir tak bisa menahan tawa. Tepat sasaran. Diapun memberi kode pada Elvara untuk lebih aktif.
Sepanjang makan malam, Yudistira beberapa kali menanyai Elvara—tentang kuliah, hobi, bahkan keluarga. Setiap jawaban Elvara terdengar jujur dan menawan. Nayshila hanya bisa menahan perasaan terbakar, tangannya berulang kali meremas sendok.
Saat makan selesai, Liora mendekat ke Papanya dengan suara lembut namun serius. “Pa… bolehkah aku minta sesuatu?”
“Apapun untukmu, Sayang,” jawab Yudistira.
“Aku ingin Papa mencarikan dua bodyguard. Yang benar-benar ahli bela diri. Aku tidak merasa aman belakangan ini.”
Yudistira terdiam sesaat, menatap putrinya penuh khawatir. “Ada yang mengganggumu? Liora, katakan yang sebenarnya.”
Liora menggoyang kepala, tersenyum samar. “Tidak usah khawatir, Pa. Aku hanya ingin berjaga-jaga. Papa percaya saja padaku.”
Yudistira menghela napas, lalu mengangguk mantap. “Baiklah. Besok Papa akan carikan orang-orang terbaik untuk menjagamu.”
Permintaan itu membuat wajah Nayshila makin kaku. Batinya panas—kenapa Liora selalu mendapat perhatian lebih? Bahkan sampai bodyguard pun akan disediakan.
Sementara Elvara menepuk tangan sahabatnya pelan, memberi dukungan. Namun, ketika Liora membisikkan rencana kecil, “Tidurlah di sini malam ini,” Elvara hanya bisa tersenyum canggung.
“Maaf, Lio. Aku nggak bisa. Kakakku nyuruh pulang, katanya aku harus menemani temannya karena Kak Daichi ada urusan pekerjaan.”
Nama itu—Daichi—langsung membuat napas Liora tercekat sesaat. Tatapannya meredup, meski ia cepat menutupi dengan senyum paksa. “Ya sudah, nggak apa-apa. Terima kasih sudah datang. Malam ini cukup berhasil kok.”
Elvara tertawa kecil, memeluk Liora erat sebelum pamit. “Kapan-kapan aku menginap, janji. Kita buat ibu tirimu semakin cemas."
Ketika mobil Elvara meluncur meninggalkan halaman, Liora menatap punggungnya yang menjauh dengan perasaan campur aduk. Rencananya berjalan mulus—Nayshila jelas murka, Papa semakin sayang—tapi ancaman Daichi terasa semakin dekat.
semoga sehat selalu
gemes deh bacanya