Dulu aku menangis dalam diam—sekarang, mereka yang akan menangis di hadapanku.”
“Mereka menjualku demi bertahan hidup, kini aku kembali untuk membeli harga diri mereka.”
“Gu Xiulan yang lama telah mati. Yang kembali… tidak akan diam lagi.”
Dari lumpur desa hingga langit kekuasaan—aku akan memijak siapa pun yang dulu menginjakku.”
“Satu kehidupan kuhabiskan sebagai alat. Di kehidupan kedua, aku akan jadi pisau.”
“Mereka pikir aku hanya gadis desa. Tapi aku membawa masa depan dalam genggamanku.”
“Mereka membuangku seolah aku sampah. Tapi kini aku datang… dan aku membawa emas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Malam itu datang dengan kesunyian yang aneh.
Angin malam menerobos dari celah-celah jendela tua yang tak sepenuhnya tertutup rapat. Beberapa kain putih masih tergantung di depan pintu, melambai perlahan dalam gelap,tanda bahwa keluarga ini masih dalam masa berkabung. Tapi suasana duka itu kini terasa jauh lebih berat dari sekadar kehilangan satu nyawa.
Meja makan kosong.
Jika pun ada makanan sisa, tidak ada yang menyentuhnya. Tidak ada yang berbicara. Tak ada satu pun suara piring atau mangkuk yang bersentuhan. Hanya suara napas berat dan sesekali isakan pelan yang terdengar dari sudut ruangan.
Ibu Gu Yueqing duduk bersimpuh di lantai.
Lengan bajunya basah karena digunakan berulang kali untuk mengusap air mata.
Tangisnya terputus-putus, seperti nafas yang tak mampu dikeluarkan sepenuhnya.
“Apa dosaku...” bisiknya, nyaris tak terdengar, “sampai aku harus kehilangan suamiku… dan sekarang, putriku juga dibawa pergi…”
Ia tidak berteriak dan tidak mengamuk. Tapi justru karena tangisnya pelan dan patah-patah itulah, kesedihan di ruangan menjadi semakin dalam dan menyesakkan.
Perempuan itu menunduk, dan dalam hati, ia menyalahkan ibu mertuanya.
Semua ini terjadi… karena mertuanya mengambil uang mahar tanpa membicarakan apapun kepada mereka. Uang sebesar lima ratus rupiah,jumlah yang bisa mengubah nasib satu keluarga,diterima dengan tangan terbuka, lalu disembunyikan, seolah hidup cucu perempuan hanya layak ditukar tanpa restu.
“Kalau saja kalian membicarakannya terlebih dahulu…” lirihnya, menoleh pada ibu dan ayah mertuanya yang duduk diam seperti batu.
Ia mencoba bertanya, untuk kesekian kalinya:
"ibu mertua.. ayah mertua.Kalian tahu siapa orang itu? Siapa nama lengkapnya? Di mana rumahnya? Bagaimana wataknya?”
Sunyi.
Nenek dan kakek Ulan,pasangan tua yang dulu begitu percaya diri menerima mahar ,tak menjawab.
Tatapan mereka kosong, terarah ke sudut rumah, seolah jawaban bisa ditemukan di sela kayu-kayu yang lapuk. … mereka tidak tahu apa-apa.
Keluarga Li yang datang tadi adalah keluarga asing. Tidak ada yang tahu dari mana asalnya, hanya tau mereka berasal dari kota dan memiliki uang.
Dan sekarang… Gu Yueqing sudah dibawa.
Jika yang menikah adalah Ulan. mungkin mereka tak akan peduli. Tapi Gu Yueqing adalah harapan keluarga ini . dia cantik, pintar menjahit, dikenal baik oleh tetangga dan dipercaya memiliki masa depan di kota.
Kini harapan itu direnggut tanpa persiapan, tanpa pesta, bahkan tanpa mahar tambahan.
“Putriku bahkan tidak memakai pakaian pengantin…” gumam sang ibu, suaranya nyaris mati, “dia bahkan tidak membawa sepotong pun dari kain itu…”
Tangis kembali meledak.
Di meja makan, tidak ada satu pun hidangan yang disentuh. Meski ada semangkuk bubur yang diletakkan sejak pagi, tidak seorang pun mengangkat sendoknya. Suasana rumah sunyi dan berat, seolah setiap helaan napas adalah bagian dari duka yang belum selesai.
ibu Gu Yueqing terduduk dengan mata bengkak dan napas tersengal karena menangis terlalu lama. Sesekali ia mengusap air mata dengan lengan baju lusuhnya, bibirnya bergetar saat ia berbisik lirih dalam isak,
"Apa dosaku sampai kehilangan suami... dan sekarang anakku pun direnggut seperti ini?"
Sementara itu, di sisi lain rumah, ibu Ulan turut duduk dengan ekspresi sedih. Ia mengeluh pelan,
"Kalau saja Ulan tidak pura-pura sakit, mungkin dia yang dibawa pergi, bukan Yueqing."
Padahal, dia tidak pernah berpikir bahwa Ulan mungkin tidak tahu apa-apa tentang rencana itu. Di benaknya, Ulan selalu dianggap pembawa sial. Ia bahkan menyalahkan putrinya karena tidak menggantikan Yueqing.
Ayah Ulan pun menimpali dengan nada getir,
"Kalau adikku masih hidup, semua ini pasti tak terjadi. Anak-anak takkan menderita seperti ini."
Ia tak sadar, ucapannya justru menuduh putrinya sendiri atas penderitaan yang mereka alami, mengabaikan kenyataan bahwa Ulan adalah korban, bukan penyebab.
Dua adik laki-laki Ulan,Xiaobo dan Xiaocheng,duduk diam dengan ekspresi kaku. Mereka yang dulu diasuh dan diberi makan oleh Ulan, kini membencinya karena ucapan-ucapan orang dewasa. Cinta masa kecil telah pudar, digantikan rasa kecewa dan kebingungan.
Gu Yongliang , kakak laki-laki Gu Yueqing, duduk di salah satu sudut ruangan dengan mata yang masih merah. Bukan karena menangis, melainkan karena amarah yang menumpuk. Kedua tangannya terkepal, dan pandangannya tajam menusuk ke arah pintu kamar tempat Ulan beristirahat.
"Kalau Yueqing harus dijual seperti itu... maka Ulan pun harus merasakan hal yang sama."* katanya lirih, tapi cukup jelas untuk didengar seluruh keluarga.
Tak ada satu pun yang membantah.
Ibu Ulan bahkan menunduk dan berbisik pelan, “Kalau anakku tidak sakit, seharusnya dia yang menikah sejak awal.Dia membawa bencana ke dalam rumah ini”
Ayah Ulan menyetujui dengan nada getir, “Anak perempuan itu selalu membawa sial. Mungkin kalau dia benar-benar pergi, rumah ini akan lebih tenang.”
Yang paling mencengangkan, nenek ,justru memandangi Yongliang dengan bangga. Seolah sedang menyaksikan seorang pemikir besar yang tengah menyusun strategi perang.
“Apa kau punya rencana, Yongliang?” tanya nenek perlahan, suaranya serak namun penuh harap.
Yongliang bangkit berdiri, lalu berjalan pelan mengelilingi meja makan yang masih penuh dengan piring-piring kosong dan mangkuk bubur basi. Ia tampak merenung, satu tangan bersedekap sementara tangan lainnya menyentuh dagunya, seperti seorang sarjana tua yang sedang merumuskan teka-teki besar.
Langkahnya lambat, tenang, namun penuh perhitungan. Semua orang memperhatikannya dalam diam, seolah-olah mereka menunggu jawaban agung.
Di matanya, Ulan adalah simbol kegagalan dan pengkhianatan dan kalau Yueqing harus hidup dalam penderitaan, maka tidak adil jika Ulan bebas dan bahagia.
Tapi alih alih membuat gadis itu celaka lebih baik pendapatkan manfaat lebih banyak darinya. Pikirannya segera berputar cepat
Nenek bahkan tersenyum kecil melihat cara Yongliang berjalan bolak-balik. “Lihat itu,”gumamnya kepada suaminya. “Anak ini pasti bisa menemukan jalan keluar. Kau lihat caranya berpikir? Seperti pejabat zaman dulu.”
Tak satu pun dari mereka bertanya tentang apa yang akan terjadi pada Ulan. Dia bukan lagi cucu, bukan lagi anak, hanya masalah yang harus disingkirkan.
Saat Yongliang berhenti berjalan dan menatap semua orang dengan tatapan gelap. Sebuah ide mulai tumbuh di kepalanya,dan itu tidak akan membawa belas kasihan bagi Ulan.
Gu Yongliang akhirnya membuka mulut dengan rencana yang ia anggap paling masuk akal untuk membalas penderitaan adiknya. Sekaligus menuai uang untuk keluarganya sebagai kompensasi.
“Aku punya kenalan di kota. Dia sering mencari gadis desa . Ulan bisa kita kirim ke sana, ini bukan pernikahan tapi hanya tinggal sebentar. tapi tinggal ini mungkin tidak gratis ” katanya dengan tenang, seperti tengah membicarakan harga sekarung jagung.
Suasana hening sejenak. Tidak ada yang menyela. Tapi bukan karena kaget—melainkan karena semua sedang mencerna dan... menyetujui.
“Benar juga," kata **ayah Ulan “Kami tidak harus mengganti uang keluarga Li. Tapi yueqing pergi tanpa mahar. jika kita punya uang, kita perlu memberikannya kepada yueqing. beli saja beberapa selimut pakaian bagus dan jepit rambut agar dia tidak terlalu sedih."
seorang gadis yang menikah tanpa membawa mahar ke rumah ibu mertua adalah sesuatu yang najis. dia akan dipandang sebelah mata di sana untuk seumur hidup .
Dengan ulan yang bisa "menghasilkan" uang, bukan tidak mungkin kehidupan gadis itu akan lebih baik.
Ibu Ulan yang seharusnya penuh kasih dan sayang terhadap ulan ,hanya mendengus, "Anak perempuan itu toh sudah makan banyak di rumah ini sejak kecil. Sekarang saatnya dia membalas. Kalau bukan uang, ya dengan tubuhnya.”
Yang lebih mengejutkan lagi, dua adik laki-laki Ulan, Gu Xiaobo dan Gu Xiaocheng, yang biasa bermain kelereng di tanah, kini malah bertepuk tangan gembira.
“Kalau kakak ulan menginap di sana, kami dapat permen, kan?”
Ulan adalah kakak perempuan mereka jadi sudah sewajarnya mereka juga mendapat imbalan. Meskipun itu cuman sebuah permen
“Lima permen,” jawab gu Yongliang yang langsung berbinar-binar.
“tidak lima kami mau tujuh!” seru Xiaocheng.
"Ya tujuh nggak mau Lima"
“Baiklah. Tapi kalau mulut kalian bocor, tak ada satu pun permen!” tegas Yongliang setuju.
hanya 7 permen dan dia bisa mendapatkan lebih banyak uang setelah membuat sepupunya menginap di rumah seseorang.
Menginap pertama kali harganya cukup mahal. Tapi setelah pulang dia pasti akan mencari rumah lain di mana sepertinya itu bisa menginap lagi.
Bukan tidak mungkin dengan cara seperti ini mereka tidak perlu repot-repot pergi ke ladang mencari poin.
Ah kenapa aku tidak tahu sebenarnya aku ini pintar.
Hahaha
Gelak tawa ringan terdengar dari sudut ruangan. Tidak ada rasa bersalah, tidak ada belas kasihan. Yang ada hanyalah perencanaan matang untuk menjual darah daging mereka sendiri.
Namun... di dalam kamar,tepat di balik dinding tipis itu, Ulan mendengar semuanya.
Dia berbaring dalam diam, keringat dingin membasahi pelipisnya. Seperti disengat ribuan jarum, tubuhnya gemetar bukan karena sakit... tapi karena ngeri.
"Apa aku benar-benar anak mereka?” pikirnya dalam hati. “Apa aku hanya anak pungut yang mereka temukan di pinggir jalan? Sejak kapan aku menjadi musuh dalam keluarga ini?”
Tangisnya tak keluar. Hatinya terlalu beku untuk menangis.Dia ingin berteriak, tapi tahu itu sia-sia. Inilah rumah tempat ia tumbuh, tapi juga rumah yang ingin menjualnya.
Langit malam di luar pekat, dan dalam hati Ulan hanya satu hal yang tumbuh perlahan,keputusan.Jika mereka ingin menjualnya, maka dia yang akan menentukan bagaimana permainan ini berakhir.
Keheningan kamar itu seperti pusaran air yang perlahan menenggelamkan tubuh Ulan ke dalam ingatan masa lalu.Matanya terbuka lebar, menatap langit-langit reyot yang diselimuti bayangan remang.
Tapi pikirannya... melayang jauh ke kehidupan sebelumnya ,ke hari paling menyakitkan yang tak pernah bisa ia lupakan.
Setelah dua putrinya dijual oleh keluarga Li, Ulan sempat pulang ke desa ini.Tubuhnya kurus kering, rambutnya kusut tak terurus, dan matanya yang dulu bersinar kini redup bagai lampu minyak yang kehabisan bahan bakar. Ia berdiri di depan pintu rumah ini, memohon bantuan.Hanya itu yang ia inginkan,sedikit belas kasih.
Namun yang ia terima adalah... tamparan.
Ibu kandungnya sendiri membuka pintu hanya untuk menamparnya tanpa ampun.
“Kau kembali untuk apa?!”
“Sudah benar kau dijual! Perempuan tidak berguna, bahkan tidak bisa melahirkan anak laki-laki!”
Ayahnya hanya berdiri di sudut ruangan, menatap kosong. Tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya. Bukan karena sedih ,melainkan karena ia tak merasa kehilangan apa pun. Bahkan ketika Ulan jatuh tersungkur di depan pintu, tak ada satu tangan pun yang terulur untuk menolong.
Neneknya lebih kejam lagi.
“Kau membawa sial ke mana pun kau pergi! Kau tak bisa mengambil hati suami, dan kau menyalahkan siapa sekarang?! Keluarga Li itu sudah baik mau menikahkanmu. Lihat sekarang? Malu-maluin keluarga!”
Bibi Kedua , Yaitu ibu gu yueqing tak pernah terlalu dekat dengannya,tapi saat itu ikut mencaci.
“Sudah bagus kau tidak dilempar ke sumur! Apa gunanya kau hidup kalau hanya bisa membawa aib?!”
Ulan tidak menangis saat itu. Tidak pula meratap. Ia hanya berdiri terpaku, tubuhnya gemetar karena dingin dan rasa ditolak.
Harapannya satu
Sepupunya, Gu Yueqing.
Yueqing saat itu sudah bekerja di pabrik kota, menikah dengan putra dari seorang mandor. Semua orang memujanya. Tapi ketika Ulan memohon bantuan ,bahkan hanya satu kata simpati Yueqing hanya mendengus, lalu menoleh ke arah suaminya dan tertawa sinis..
“Jangan membawa-bawa aib ke keluargaku. Kami sudah cukup bekerja keras untuk keluar dari lumpur desa.Jila kau menderita maka itu adalah salahmu sendiri karena tidak bekerja keras"
Dan adik-adik laki-lakinya...dua anak yang dulu ia besarkan, suapi saat ibu terlalu sibuk, ia ajari cara berjalan pertama mereka...
Merekalah yang pertama kali menendangnya keluar rumah.
“Pergi! Jangan cemari rumah kami! Kami tidak punya kakak sepertimu yang bawa sial”
Saat pintu ditutup di hadapannya, Ulan berdiri di luar dalam dingin, bajunya compang-camping.Di balik pintu, masih terdengar teriakan dan kutukan dari nenek.
“Kalau kau mati , jangan harap bisa di kubur kan di kuburan keluarga gu. gadis yang menikah adalah air yang sudah dibuang!”
Malam itu... Ulan tua tidur di bawah kolong jembatan, ditemani suara tikus dan tubuh demam.tidak akan ada yang mencarinya. Tidak akan ada yang mencintainya.
Dan sekarang, di kehidupan baru ini... dia sudah melihat arah cerita yang sama mulai terbuka.
Telinganya masih bisa menangkap suara rencana jahat sepupunya dan persetujuan dari orangtuanya sendiri.
Semua akan terulang, jika dia tidak bertindak.
Tangannya gemetar membuka layar transparan yang hanya bisa dilihat olehnya. Layar sistem, satu-satunya hadiah dari kelahiran kembali ini. Di sana ada daftar: barang kebutuhan dasar, obat, makanan, bahkan senjata jika diperlukan. Semua bisa dibeli dengan poin.
Matanya menatap satu botol besar susu hangat yang baru saja ia beli dari sistem. Ia mengangkatnya, lalu meminumnya perlahan.
“Ini...” bisiknya pelan, "ini adalah modal pertamaku.”
Tangannya mengepal. Wajahnya tidak lagi pucat karena ketakutan, melainkan bersemangat karena tekad.
“Kalau mereka tidak menganggapku penting, maka aku juga tidak perlu menganggap mereka penting.”
“Aku akan bangkit. Aku akan hidup lebih baik dari mereka semua. Dan aku... akan menghancurkan mereka dengan caraku sendiri.”
Pagi belum datang, tapi rencana Ulan sudah dimulai. tidak akan ada air mata yang jatuh sia-sia. Ia akan membalik takdir ini, sebuah kelahiran kembali tidak akan disia-siakan.