"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lastri gak mau kalah
Lastri menjerlingkan matanya, ekspresi di wajahnya masih menyimpan rasa penasaran sekaligus tidak percaya.
Namun, pandangannya tiba-tiba terpaku pada sosok lain yang berdiri tak jauh dari kumpulan ibu-ibu.
Seseorang yang sejak tadi sempat menarik perhatian semua ibu-ibu karena penampilan nya yang terbilang beda dari yang lain.
Wanita itu berdiri anggun dengan ponsel di telinganya, mengenakan kemeja biru bersih yang dipadukan dengan celana bahan hitam ramping, sepatu hak pendek yang tetap terlihat nyaman namun mahal, serta kalung dan gelang mas putih yang elegan bertengger di leher dan lengannya.
Setiap gerakan tubuhnya begitu tenang dan berkelas, bahkan saat ia berbicara dalam bahasa asing yang sama sekali tak dimengerti oleh Lastri maupun beberapa ibu-ibu lainnya.
Sosok Leyla yang tak hanya cantik dan modis, tapi juga memiliki aura otoritas kuat berhasil mementik rasa penasaran dari ibu-ibu yang ada di sana, bagaikan sebuah magnet yang punya daya tarik kuat.
Tampak ia sedang sibuk menelepon seseorang, yang lebih tepatnya adalah asistennya.
“Beritahu Tim B agar siapkan dokumen itu hari ini juga. Aku minta laporan lengkapnya dikirim malam ini. Aku mungkin akan terbang kesana seminggu lagi. Kau tangani sebisa mungkin, aku akan membantu menghandle dari sini." Ucap Leyla dengan bahasa Inggris yang fasih dengan nada tenang yang mengandung ketegasan.
Ibu-ibu yang duduk tak jauh dari sana saling pandang, dan berbisik pelan.
“Itu... ngomong apaan sih?”
"Kayaknya bahasa bule…”
“Wah, itu pasti kerjaannya gede, ya…”
Lastri mengerutkan keningnya. Rasa penasarannya terasa semakin dalam. Ia memperhatikan sosok Leyla dari ujung kepala hingga kaki. Dari cara berdiri, berbicara, hingga gaya pakaiannya, semuanya... Berhasil membuat batinnya menjeritkan satu hal, yakni 'Kelas Atas'.
"Siapa sih perempuan ini? Ibunya Kaan? Tapi kok kayak bos besar aja gayanya... Jangan-jangan..." Benaknya mulai terasa panas ketika berbagai pikiran mulai menggerayangi kepalanya.
Lastri sempat meneguk ludahnya. Ada rasa tak nyaman yang tiba-tiba menyusup di dada. Sosok yang awalnya ia anggap remeh karena hanya dianggap 'menantu dari keluarga biasa', ternyata dikelilingi oleh orang-orang yang... bahkan lebih tinggi dari perkiraannya.
"Berarti bukan cuma Kaan yang kaya… tapi keluarganya juga?" Batinnya berdesir tak enak.
Sementara itu, Leyla menurunkan ponselnya, disusul dengan menghembuskan nafas pelan, lalu membalikkan badan dan berjalan anggun menuju arah para ibu-ibu berkumpul. Seolah tak peduli dengan pandangan penuh rasa penasaran yang mengikuti setiap langkahnya.
Lastri menunduk sesaat. Senyum miringnya menghilang seketika digantikan senyuman tidak nyaman karena merasa terintimidasi dengan aura 'kaya' dari besan adiknya itu.
Ketikan Leyla mendekat, matanya langsung menangkap sosok Mita yang tengah duduk santai sambil mengipasi dirinya dengan tangan.
Dengan senyum ramah, Leyla langsung mengambil tempat duduk di samping besannya itu.
“Maaf ya, Mit,” Ujarnya pelan dan akrab ketika memanggil Mita, sebab beberapa hari sering bersama dan mengobrol membuat hubungan antara kedua wanita itu perlahan akrab.
“Tadi ada keluarga yang nelpon, katanya ada sedikit urusan di rumah.” Timpalnya dengan suara lembut dan sopan.
“Oh, ndak apa-apa, mbak Leyla,” jawab Mita sambil tersenyum hangat. “Namanya juga urusan keluarga.”
Ketika Leyla duduk santai di sebelah Mita, ia sesekali melirik ke arah ibu-ibu yang berkumpul di sana, lalu ia berbisik pelan pada Mita, “Mit, itu ibu-ibu pada ngobrolin apa ya? Kelihatannya seru banget.”
Mita tersenyum kecil. “Oh itu, lagi ngobrolin soal bunga. Katanya pengin kasih beberapa bibit bunga buat ditanam di halaman depan rumahku nanti.”
Leyla menoleh, dengan ekspresi wajah penuh ketertarikan. “Wah, bagus banget itu. Bunga apa tuh?”
“Iya, tadi ada yang nawarin bibit kembang sepatu, ada juga bunga tapak dara, dan satu lagi tadi katanya punya bibit bunga matahari,” jelas Mita. “Mereka pengin bantu biar halaman depan rumah nanti jadi lebih cerah, dan lebih cantik katanya.”
“Idenya bagus banget,” sahut Leyla. “Saya juga suka bunga, apalagi kalau warna-warni, bikin suasana rumah jadi hangat. Nanti saya bantu nanem ya, Mit.”
Mita tertawa pelan. “Boleh, mbak. Senang banget kalau Mbak Leyla ikut bantuin.”
Leyla mengangguk. “Nanti saya juga bisa kirimin bibit dari rumah. Saya punya bunga lavender sama rosemary, wangi banget kalau ditanam di pinggir teras.”
Mita tampak antusias. “Wah, bisa banget, mbak. Apalagi rosemary, kan bisa dipakai buat masakan juga.”
Obrolan ringan mereka berdua tampak akrab dan hangat, bersama percakapan dengan ibu-ibu lain yang mengalir dengan ringan. Mulai dari cerita soal kebun belakang rumah, makanan khas desa, sampai ke masa kecil Murni yang ternyata sering main di sawah. Leyla tampak benar-benar menikmati obrolan santai itu, bahkan sesekali ia menggenggam tangan Mita sambil tertawa kecil saat mendengar kisah lucu.
Namun di sisi lain, Lastri yang duduk agak serong dari posisi mereka tampak diam. Matanya menatap lurus ke arah keduanya dengan ekspresi kaku. Jemarinya memutar-mutar cincin di jari manisnya, lalu berhenti begitu saja.
Ada rasa tak nyaman yang menusuk dadanya.
"Kenapa kelihatan akrab banget sih?" Batin Lastri mulai dipenuhi kecemasan.
Ia tak suka dengan yang ia lihat. Tidak suka Mita yang terlihat begitu dekat dengan sosok perempuan berkelas seperti Leyla. Tidak suka dengan kenyataan bahwa Mita, adiknya sendiri, kini memiliki akses langsung ke dunia yang lebih tinggi darinya, sesuatu yang selama ini Lastri impikan untuk dirinya sendiri.
"Harusnya aku yang punya menantu dari keluarga kaya begitu. Harusnya anakku yang dinikahin sama anak orang kota."
Pikiran-pikiran itu terus berdengung, membuat senyumnya perlahan menghilang. Ia takut, takut jika Mita yang biasanya berada satu tingkat di bawahnya, kini perlahan naik… melampauinya, baik dari segi ekonomi maupun sosial.
Lastri akhirnya bangkit dari duduknya dan dengan senyum yang dipaksakan, ia mendekat ke arah Leyla dan Mita yang masih asik mengobrol.
“Ih, seru banget ngobrolnya, sampe lupa panggil-panggil aku.” Goda Lastri sambil menggeser posisi duduknya di sebelah Leyla.
Leyla hanya tersenyum sopan, “Wah, maaf ya bu..."
"Lastri." Jawab Lastri cepat memperkenalkan namanya.
"Ah iya, bu Lastri, tadi kebetulan lagi ngobrol soal masa kecil Murni. Seru banget dengar ceritanya dari bu Mita sampai lupa sama yang lainnya.” Timpalnya disertai senyuman manisnya.
Lastri tertawa kecil, lalu matanya melirik ke arah Leyla sebelum bertanya santai, “Ngomong-ngomong nih, Mbak Leyla… anaknya berapa sih? Kaan itu anak keberapa?”
Leyla mengangguk pelan. “Saya punya dua anak laki-laki, bu. Kaan itu anak pertama, anak kedua saya masih kuliah di luar negeri.”
“Wah, dua cowok semua? Ganteng-ganteng dong pasti ya?” Lastri menyeringai lebar. “Kayak ibunya lah ya.”
Leyla tertawa ringan. “Alhamdulillah, ya gitu deh. Kaan memang pendiam, tapi adiknya lebih aktif. Dua-duanya beda karakter.”
“Wah, beruntung banget ya Mita, bisa dapet menantu kaya gitu." Celetuk Lastri dengan nada yang sengaja dilontarkan sedikit keras, seolah ingin memastikan beberapa ibu lain mendengarnya.
Mita hanya tersenyum simpul, tak membalas apa-apa.
Karena tak ada balasan dari Mita membuat Lastri semakin merasa lebih mudah mendekati besan adiknya itu.
“Itu anak kedua mbak Leyla masih bujang, ya?” Tanyanya, kali ini lebih mencondongkan badan ke arah Leyla dengan antusias.
Leyla mengangguk. “Iya, masih kuliah. Belum kepikiran nikah. Fokus dulu katanya.”
“Oh… iya sih, bener juga. Soalnya anak muda zaman sekarang kan… milih-milih, ya.” kata Lastri sambil melirik ke arah bumbung rumahnya yang masih terlihat dari sana.
“Kalau putri saya sih… masih lagi cari-cari jodoh yang pas, ya siapa tahu anak kita berjodoh, kan jodoh bisa datang dari mana aja.”
Leyla hanya tersenyum, tak menanggapi lebih jauh, meskipun jelas ia paham arah obrolan Lastri yang mulai ‘jual anak’ terselubung.
Di balik senyum manisnya, Lastri mulai menyusun rencana di kepalanya. Kalau anak pertama sudah diambil Murni, maka anak kedua Leyla harus bisa diincar. Ia tidak akan membiarkan Mita naik kelas sendirian, tidak akan.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣