Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Our First of Million Billion Zillion Gazillion Kisses
Dion hanya berdiri di pintu kamar menunggu Wina keluar dari ruang kloset pakaian yang menyatu dengan kamar mandi. Gadis itu keluar membawakan beberapa t-shirt yang tergantung di hanger.
“Lho, kenapa cuma berdiri di pintu?” tanyanya heran sambil mendekati Dion.
Keduanya kini berdiri di pintu. Wina meletakkan beberapa t-shirt yang ia bawa ke atas nakas panjang dekat pintu dan memilih satu untuk dicocokkan ke badan Dion.
“Ini pas ukurannya,” ucap Wina.
“Jangan yang warna pink dong, girly banget,” tolak Dion membuat Wina tertawa geli.
Wina meletakkan t-shirt pink itu lalu mengambil yang lain dan kembali mencocokkannya.
Berdiri di mulut pintu membuat keduanya harus berdekatan. Wajah Wina yang begitu dekat padanya membuat jantung Dion berdegub kencang. Ia bisa mencium aroma lembut dari rambut Wina.
“Ini agak kekecilan buatmu,” ujar Wina lalu mengambil t-shirt berikutnya yang berwarna biru tua.
“Sepertinya ini pas deh, gimana?” tanya Wina tapi tak mendapat respons dari Dion.
Karena tak mendapat jawaban, Wina yang masih memegangi t-shirt itu lalu mengangkat wajah menatap Dion yang begitu dekat dengannya.
Ia mendapati tatapan kekasihnya berubah. Mata Dion begitu dalam, seolah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan atau mungkin, lakukan.
Atmosfer di antara mereka tiba-tiba berubah. Udara terasa lebih hangat, lebih berat. Wina menjadi gugup dengan kondisi itu, apalagi saat Dion mulai menunduk dan mendekatkan wajah kepadanya.
Wina tidak bergerak. Ia hanya bisa menatap Dion yang semakin mendekat, lalu merasakan sentuhan lembut di bibirnya.
Kecupan itu singkat, seperti angin yang berbisik. Tapi cukup untuk membuat seluruh tubuh Wina bergetar.
Ia tetap diam, masih mencari sesuatu di mata Dion.
Dan saat ia menemukan ketulusan, keteduhan, dan sesuatu yang membuat hatinya terasa seperti melayang, Wina menyerah.
Ia ingin masuk ke tatapan itu dan berdiam di sana.
Dion sempat menarik diri sejenak, tapi hanya untuk menatapnya lebih dalam. Tangannya kini meraih lengan Wina, mengajaknya mendekat lagi.
Wina mengerti.
Ia menutup mata.
Lalu, mereka menyatu dalam kecupan yang lebih dalam.
Lebih hangat.
Tidak ada kata-kata, hanya desiran napas dan degup jantung yang bersahutan.
Wina merasa terbang entah ke negeri yang mana karena sensasi cinta yang begitu indah. Ia merasa dirinya menyatu dengan pemuda yang ia kasihi itu.
Sensasi itu begitu menggetarkan hingga saat Dion perlahan melepaskan, Wina merasa ada sesuatu yang tertahan di dadanya. Ia membuka mata, menatap kekasihnya yang masih begitu dekat dan merasakan sesuatu yang tak ia sangka, kerinduan.
Terlalu cepat.
Terlalu singkat.
Entah kenapa, Wina merasa terganggu karena sensasi yang tiba-tiba terhenti.
Ia seperti kehausan. Haus akan ekspresi cinta itu.
Wina menoleh ke arah luar pintu memastikan tidak ada orang di sekitar situ. Wina melemparkan t-shirt di tangannya ke atas nakas lalu menarik lengan Dion melangkah sedikit ke dalam kamar.
Wina yang sudah tak sabar langsung meraih leher Dion dan menarik kepala pemuda jangkung itu agar mendekat kepadanya.
Dion yang memahami maksud Wina membalas perlakuan itu dengan memeluk pinggang gadisnya lalu menarik dan menyatukan tubuh mereka berdua.
Di antara dentingan jam dinding dan semilir angin dari jendela yang terbuka, dua hati itu bersatu dalam irama yang hanya mereka yang mengerti.
...***...
Dengan napas tersengal, keduanya mengakhiri ciuman panjang itu. Tatapan mereka masih bertaut, namun kini ada rona malu yang menyelinap di wajah masing-masing.
ina menunduk, begitu juga Dion, seolah tak ingin segera keluar dari gelembung magis yang baru saja mereka ciptakan bersama.
Perlahan, Dion mengecup kening Wina, sebuah sentuhan penuh kasih yang membuat gadis itu semakin terhanyut. Tanpa berpikir panjang, Wina membenamkan wajahnya ke dada Dion, memeluknya erat seolah tak ingin melepaskan.
“Wina, sudahan. Nanti ketahuan Oppung,” bisik Dion, meskipun tangannya justru semakin erat memeluk gadis itu.
“Biarin. Biar sekalian dinikahin,” balas Wina, suaranya terdengar manja.
"Pasti Wina sudah merencanakan ini,” sindir Dion.
“Tempat paling berbahaya justru tempat paling aman,” gumam Wina dengan nada penuh rahasia.
Dion hanya bisa menggeleng sambil tersenyum, tak tahu harus curiga atau semakin jatuh cinta. Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara langkah menaiki tangga terdengar.
Keduanya langsung tersentak. Dengan refleks cepat, Wina meraih t-shirt yang tadi ia lemparkan, sementara Dion beringsut ke ambang pintu dengan kecepatan kilat.
“Eh, Mas Dion, Mbak Wina. Ria mau tutup jendela ya,” sapa Mbak Ria.
“Oh, iya, Mbak,” jawab Dion dan Wina hampir bersamaan, berusaha menjaga ekspresi agar tak mencurigakan.
Begitu Mbak Ria berlalu, mereka berpandangan sejenak sebelum akhirnya pecah dalam tawa tertahan.
“Nyaris,” kata Wina setengah berbisik.
Tak lama kemudian Wina menemui Dion yang duduk di teras dengan membawa tas belanja. Di dalamnya ia memasukkan sehelai handuk, t-shirt, peralatan mandi, dan beberapa makanan kecil.
“Nanti Dion mandi di kantor saja. Kalau t-shirt-nya kekecilan, Dion tutupi saja dengan kemeja biar tidak kelihatan,” terang Wina sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
Dion tersenyum, hatinya menghangat melihat perhatian gadis itu. Dion menatapnya dengan penuh rasa syukur.
Wina mencondongkan tubuhnya sedikit. “Thanks, I just had my first kiss. It was amazing,” bisiknya dengan pipi bersemu.
“Thank you as well. Obviously was my first too. Well, our first,” timpal Dion juga dengan berbisik sambil menatap gadisnya dengan penuh kelembutan.
“And it was the most beautiful thing that’s happened in my life so far,” sambungnya.
Wina tersenyum lebar. “Our first of million billion zillion gazillion kisses.”
Dion menaikkan alis mendengar penyebutan angka tak masuk akal itu.
“Should we do the second of million of billion zillion gazillion right now?” goda Dion sambil melihat ke kiri dan kanan untuk memastikan keadaan.
“Huss! Ingat kata Oppung,” delik Wina sewot.
Dion tergelak, lalu dengan berat hati bangkit dari kursinya. Sebelum pergi, ia menatap Wina sekali lagi, meresapi sosok yang kini mengisi hatinya sepenuhnya.
Dion meninggalkan rumah itu dengan rasa bahagia dan langkah lebih ringan. Ada perasaan baru yang membuncah di dadanya.
Ia merasa baru saja melangkahkan kakinya pada tingkatan baru dalam kehidupan. Ia merasa seperti seorang superman. Ia juga haru oleh perhatian Wina. Di balik sifat manjanya, Wina adalah pribadi yang penuh perhatian.
...***...
Hari demi hari berlalu. Cinta Dion dan Wina bertumbuh subur.
Untuk kali pertama sejak kematian kakeknya 8 tahun lalu, akhirnya Dion merasa memiliki seseorang. Dion merasa hidupnya kini lebih berarti, berharga dan memiliki tujuan. Bukan lagi sebatas survive. Dion siap memberikan segalanya bagi gadis yang selalu membuat hatinya berdebar itu.
Bagi Wina, pemuda yang ia kagumi itu adalah tempatnya menambatkan hati. Ia akhirnya menemukan seseorang yang memahaminya. Sosok yang ia percayai, andalkan, tempatnya mencurahkan isi hati, pikiran, keresahan, dan cinta. Dion menghadirkan perasaan aman dan nyaman. Dion selalu membuatnya terhibur.
Dion dan Wina tak terpisahkan. Mereka selalu meluangkan waktu bersama. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk ngobrol tanpa rasa bosan.
Sering ditemui berdua di sekitar kampus membuat status Wina sebagai gadis cantik tak tergapai berubah. Wina mempunyai banyak pengagum. Sebagian terang-terangan mendekatinya tapi mendapat penolakan mentah-mentah. Sebagian lagi hanya berani mengagumi diam-diam.
Terlalu tinggi untuk digapai, begitu kata mereka. Apalagi mereka tahu, orang tua Wina adalah pengurus penting yayasan universitas mereka. Selama bertahun-tahun almarhum Kakek Wina adalah salah satu penggalang dana utama yayasan yang memiliki beberapa perguruan tinggi tersebar di beberapa provinsi.
Kenyataannya, Wina menjatuhkan pilihan pada pemuda dari kalangan biasa membuat banyak temannya heran tapi banyak pula yang semakin kagum. Ternyata Wina bukan cewek materialistis seperti yang mereka sangkakan.
Begitu juga Dion yang mulai membawa Wina ke dalam lingkungan sosial kecilnya. Wina selalu menjadi pendamping dalam berbagai acara yang dihadiri Dion. Termasuk pada wisuda penamatan D1-nya.
Beberapa mahasiswi yang selama ini mengagumi Dion harus gigit jari melihat pemuda itu menggandeng seorang wanita cantik di acara wisuda.
Pantas saja Dion dingin pada perempuan, ternyata ia sudah memiliki kekasih yang begitu cantik, begitu pikir mereka.