NovelToon NovelToon
Asmara, Dibalik Kokpit

Asmara, Dibalik Kokpit

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Percintaan Konglomerat
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?

selamat membaca...semoga kalian suka yaa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15

Pesawat mulai bergerak di landasan, suara mesin menggema pelan. Di kokpit, Ryan menatap lurus ke depan, fokus penuh pada penerbangan. Namun sesekali, pikirannya melayang, bukan pada awan di depan sana, tapi pada gadis di balik pintu kabin yang kini tanpa sadar mulai mengguncang dunianya.

Begitu pesawat mendarat mulus di Bandara Ngurah Rai, suasana di kabin disambut tepuk tangan kecil dari para penumpang. Asmara tersenyum lega, seperti biasa ia memimpin pramugari lain untuk berpamitan dengan ramah.

“Terima kasih telah terbang bersama SkyAir. Semoga Anda menikmati penerbangan ini dan sampai jumpa di lain kesempatan,” ucapnya lembut sambil menunduk sedikit.

Mami Rosa yang duduk di kursi VIP menatap Asmara dengan kekaguman yang sulit disembunyikan. Dalam hatinya, Rosa benar-benar merasa gadis ini berbeda dari yang lain. Wajahnya tenang, tutur katanya lembut, dan pembawaannya penuh wibawa.

Begitu semua penumpang turun, Ryan keluar dari kokpit. Ia langsung menghampiri ibunya dan membantu membawa tas kecil milik Mami Rosa.

“Bagaimana penerbangannya, Mi?”

“Luar biasa, apalagi pramugarinya,” jawab Rosa dengan senyum lebar, melirik ke arah Asmara yang sedang membereskan peralatan di galley belakang.

Ryan menahan senyum, lalu pura-pura tak paham maksud ibunya. “Oh ya?”

“Iya, Mami baru sadar kalau Asmara adalah gadis yang Mami ceritakan waktu itu, yang nolong Mami di depan klinik, bisa-bisanya Mami lupa, soalnya dia sedikit lebih berbeda ketika mengenakan seragam pramugarinya.” kata Rosa sambil menepuk lengan anaknya pelan.

Ryan menatap ibunya sejenak. “Iya, aku tau Mi.” sahutnya, nada suaranya datar, tapi matanya sempat melirik ke arah Asmara.

Setelah keluar dari bandara, Ryan langsung mengajak Mami Rossa ke sebuah resort tepi pantai yang mewah dan tenang. Udara Bali yang hangat berpadu dengan aroma laut yang menenangkan. Ryan membantu ibunya turun dari mobil, lalu melirik Asmara yang berjalan di belakang membawa koper kecil.

Asmara masih belum terbiasa dengan perannya kali ini. Ia merasa gugup setengah mati, tapi mencoba menjaga ekspresi tenang.

Di depan lobi hotel, Tak sengaja Rosa menoleh ke arah Asmara, dan terkejut melihat gadis itu. “Asmara, apa kamu menginap disini juga ?” ujarnya ramah, tidak tahu jika kedatangan Asmara adalah rencana putranya.

Asmara menatap Ryan dengan tatapan bingung. Ryan menatap balik, lalu menjawab cepat, “Iya, Mi. Asmara memang aku minta tinggal satu malam di sini. Lagipula… Mami kan ingin bertemu dengan kekasihku.”

Mata Mami Rosa langsung membesar. “Tunggu dulu—maksudmu… Asmara?”

Asmara tercekat di tempatnya, jantungnya berdegup kencang. Ia hampir ingin mundur, tapi Ryan lebih dulu melangkah maju, menatap ibunya dengan tenang.

“Iya, Mami. Dia wanita yang aku pilih.”

Rosa menatap keduanya bergantian, antara terkejut, bingung, dan perlahan wajahnya melembut. Senyumnya muncul pelan.

“Ya ampun, pantes Mami merasa ada sesuatu yang spesial dari dia.”

Sementara Asmara berdiri kaku di samping Ryan, wajahnya memanas, bibirnya hampir tak bisa bergerak.

“Te-terima kasih, Tante… eh, maksud saya—”

Rosa terkekeh lembut. “Panggil Mami saja, sayang. Kalau kamu memang kekasih Ryan, kamu bagian dari keluarga ini juga.”

Asmara hanya bisa menunduk, menahan gugupnya yang hampir tumpah.

Ryan menatap sekilas ke arahnya, bibirnya terangkat tipis, entah puas, atau mungkin... mulai merasa bersalah.

...🏖...

Matahari sore berganti jingga di langit Bali. Laut berkilauan seperti cermin raksasa, angin lembut berhembus membawa aroma garam dan bunga kamboja. Di tepi pantai resort, sebuah meja makan disiapkan khusus, diterangi lilin dan lentera bambu yang menggantung di atasnya.

Asmara duduk di samping Mami Rosa, sementara Ryan di seberang mereka, ia tampil rapi dengan kemeja putih kasual yang digulung hingga siku. Meski suasana tampak santai, dada Asmara tetap berdegup tak menentu. Ini pertama kalinya ia makan bersama seseorang yang nyaris seperti calon mertua, meski semuanya hanyalah pura-pura.

Rosa menatap Asmara hangat. “Asmara, kamu cantik sekali malam ini. Dari awal Mami perhatikan, kamu punya aura yang lembut. Ryan ini sangat beruntung memiliki kamu.”

Asmara nyaris tersedak jus jeruknya. “Oh, t-tidak, Tante… maksud saya, Mami… saya—”

Ryan menatapnya sekilas, memberi isyarat dengan tatapan agar tenang.

Asmara buru-buru menutup bibirnya, pipinya memerah.

Rosa tertawa kecil. “Lihat tuh, Ryan. Pacarmu pemalu sekali. Mami suka.”

Ryan hanya tersenyum tipis. “Dia memang begitu, Mi. Tapi justru itu yang membuat dia beda.”

Ucapan itu membuat Asmara terdiam. Ada sesuatu dalam nada Ryan yang terasa… jujur. Tidak seperti sekadar sandiwara.

Mereka menikmati makan malam dengan obrolan ringan. Rosa bercerita tentang masa muda Ryan, tentang betapa sulitnya membesarkan anak yang keras kepala tapi selalu punya hati lembut. Asmara mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tertawa kecil.

Namun, ketika Rosa pergi sejenak ke kamar mandi, suasana di meja langsung berubah.

Asmara menatap Ryan dengan alis terangkat. “Kamu gila, tahu nggak? Kenapa kamu bisa setega bohongin mami kalau aku kekasihmu?”

Ryan meneguk air mineralnya tenang. “Karena itu yang harus aku lakukan. Dan kamu setuju kan, dengan rencana ini?”

“Setuju, iya. Tapi aku nggak tega bohongi Mami Rossa, Beliau baik banget sama aku.” kata Asmara menunduk, ia benar-benar merasa bersalah.

Ryan mencondongkan tubuhnya sedikit. Tatapannya tajam tapi suaranya pelan.

“Apa kamu udah mulai kebawa perasaan ketika bermain peran ini ?”

Asmara menatapnya lama, matanya bergetar. “Bermain peran? Mudah bagimu. Tapi buatku, ini semua terasa... nyata.”

Ryan terdiam sejenak, pandangan matanya perlahan melunak, namun belum sempat ia menjawab, Mami Rosa sudah kembali dan duduk di kursinya.

“Wah, suasana di sini romantis sekali,” ucap Rosa riang. “Kalian berdua cocok banget. Mami jadi pengen cepat-cepat lihat kalian menikah.”

Asmara hampir tersedak lagi, sedangkan Ryan cuma tersenyum samar sambil menatap laut yang mulai gelap.

“Mami jangan terburu-buru, nanti Asmara kaget.” katanya datar, “hubungan ini baru dimulai, kita butuh mengenal satu sama lain.”

Tapi di balik nada tenangnya, Ryan sadar, ada sesuatu yang mulai berubah dalam dirinya setiap kali melihat gadis itu. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari sekadar peran pura-pura.

...🍃...

Sepanjang lorong resort itu sepi, hanya diterangi cahaya lembut dari lampu dinding yang memantulkan bayangan hangat di lantai marmer. Setelah makan malam, Asmara dengan sopan mengantar Mami Rosa kembali ke kamarnya.

“Terima kasih, Sayang,” ujar Rosa sambil tersenyum manis. “Malam ini Mami senang sekali. Kamu gadis yang sangat sopan dan manis, Asmara.”

Asmara tersenyum canggung. “Terima kasih, Mami. Selamat beristirahat, ya.”

Begitu pintu kamar tertutup, Asmara menarik napas lega. Ia hendak berbalik menuju kamarnya, tapi tiba-tiba sebuah tangan kuat mencengkeram pergelangan tangannya dari samping.

“Ryan—! Apa yang kamu—”

Belum sempat protes, Ryan sudah menariknya menjauh dari lorong utama, menuju area taman kecil di belakang resort, yang sepi dan hanya diterangi cahaya bulan.

Langkah Asmara terhuyung, nyaris terjatuh. “Ryan! Lepasin aku! Kamu bikin aku malu kalau ada orang yang lihat!”

Namun Ryan tidak melepaskan. Tatapannya tajam, wajahnya serius.

“Kamu tadi luar biasa, Asmara. Mama percaya penuh sama kita sekarang,” katanya dingin.

Asmara menatapnya kesal. “Jadi kamu narik aku cuma buat bilang itu? Kamu bisa ngomong baik-baik tanpa harus nyeret aku kayak gini!”

Ryan mendekat sedikit, jaraknya hanya sejengkal dari wajah Asmara. “Kalau aku nggak narik kamu, kamu pasti udah kabur ke kamarmu dan ngilang kayak biasanya.”

Asmara mendengus pelan, berusaha melepaskan tangannya. Tapi genggaman Ryan terlalu kuat. “Aku nggak ngilang. Aku cuma mau istirahat. Aku capek, Ryan. Aku bukan robot yang bisa kamu kendalikan sesukamu.”

Tatapan Ryan sedikit melembut, tapi genggamannya belum juga longgar. Suaranya merendah, tapi tetap berwibawa.

“Aku tahu kamu capek. Tapi kamu harus tahu juga, aku nggak bisa setengah-setengah jalan sama ini. Kalau kamu udah mau main peran, kamu harus main sampai akhir, paham?”

Asmara menghela napas berat, matanya bergetar menahan kesal sekaligus pasrah.

“Paham,” gumamnya pelan. “Tapi tolong… jangan narik aku kayak gini lagi. Aku bukan anak kecil.”

Perlahan Ryan melepaskan tangannya. Untuk sesaat, hanya suara ombak dan desir angin yang terdengar.

Tatapan Ryan masih terfokus pada wajah Asmara yang sedikit memerah, entah karena marah atau malu.

“Kamu benar,” katanya akhirnya. “Kamu bukan anak kecil. Tapi kamu juga bukan perempuan lemah.”

Asmara mengalihkan pandangannya, mencoba menenangkan detak jantung yang berlari tak terkendali.

“Terima kasih… aku balik dulu,” ujarnya pelan, lalu berbalik.

Namun, ketika Asmara mulai melangkah, Ryan bersuara lirih, cukup pelan tapi jelas terdengar di telinganya.

“Jangan pergi jauh malam ini, Asmara. Aku… nggak tenang kalau kamu sendirian.”

Asmara berhenti sesaat. Ia tak menoleh, tapi senyum kecil muncul di sudut bibirnya, sebelum akhirnya melangkah pergi menuju kamarnya.

Sementara Ryan berdiri diam di bawah cahaya bulan, menatap punggung Asmara yang menjauh, dan entah kenapa, malam itu dadanya terasa sesak oleh sesuatu yang belum ingin ia akui.

...✈️...

...✈️...

...✈️...

^^^Bersambung...^^^

1
Siti Naimah
pikirkan baik2 Asmara.. kesempatan gak datang duakali
Siti Naimah
jadi ruwet gitu ya...perkara yang dihadapi asmara? padahal dia gak salah apa2...ini semua ulah devanka
mantan kekasihnya yg masih Ter obsesi sama Asmara
Siti Naimah
bagus..asmara punya prinsip hidup yg kuat.berusaha untuk tidak mengulang kepahitan yang sama
Siti Naimah
menyimak dulu...kelihatannya bakal seru nih
Marini Suhendar
❤❤❤...lanjut thor
Nursina
semangat lanjutkan👍
Nursina
semangat lanjutkan
Mericy Setyaningrum
wah Dubai Im in love
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!