Sekelompok siswa SMA dipaksa memainkan permainan Mafia yang mematikan di sebuah pusat retret. Siswa kelas 11 dari SMA Bunga Bangsa melakukan karyawisata. Saat malam tiba, semua siswa di gedung tersebut menerima pesan yang menunjukkan permainan mafia akan segera dimulai. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan menyingkirkan teman sekelas dan menemukan Mafia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehilangan Sahabat
Khalil membuka matanya, menatap langit-langit lorong sebelum merasakan hangat di telapaknya kian menjalar. Pria itu beranjak, menatap Arsya yang masih menggenggam tangannya
Pada Malam Hari, Sadam Dieksekusi Oleh Mafia.
Sadam Adalah Warga.
Semua Peserta Identifikasi Mafia Dan Mulai Memilih.
Tanpa bicara, pria itu beranjak sambil sesekali membangunkan Arsya, “Sya!”
Gadis itu membuka matanya, menetralkan tubuhnya saat pening tiba-tiba menjalar di kepalanya. Berusaha bangun, Arsya menatap Khalil yang tampak kebingungan.
“Lo nggak papa?”
Arsya menggeleng, “kenapa?”
Khalil mengitari pandangan, mengamati setiap lorong yang terpantau cukup sepi sebelum mendapati tubuh bangun dari tidurnya. Ada Dion dan mungkin inilah saatnya Khalil bisa mempercayai Arsya padanya.
“Pergi sama Dion, gue ada urusan”
Arsya masih diam, sambil sesekali menatap Dion yang mengarah kepadanya. Sebelum akhirnya Khalil melangkah menjauh. Lebih tepatnya mencari letak keberadaan Sadam.
Dengan napas terengah, Khalil mendapati tubuh Sadam tergeletak tidak berdaya, dengan cairan darah yang menyelimuti tubuhnya.
“Apa yang terjadi?!”
“Gue nggak tahu, Khal. Pas gue kesini, semuanya kayak gini, gimana nih?” Seruan panik sekaligus takut mulai Agil rasakan. Bagaimana tidak, melihat tubuh temannya bersimbah darah tanpa alasan yang jelas saja sudah tidak benar.
“Lo bercanda kan?! Bangun dan katakan sesuatu, Dam?!” Sentak Khalil sambil menggoyangkan tubuh pria itu.
"Dia sudah mati” desis Agil dengan deru napas dan tangis yang tidak stabil, sambil menyandarkan pundaknya pada ujung ranjang, menatap sesal.
“Khal?!” Suara itu, Khalil tahu betul. Seseorang yang sudah lebih dulu dia mintai untuk pergi bersama Dion. Justru datang bersama teman yang lainnya. Menatap tubuh Sadam yang memucat dan Khalil bersama Agil sudah menangis.
“Siapa yang membunuhnya?!”
Arsya dapat lihat bagaimana wajah Khalil sangat amat menyesal. Ditinggalkan sahabat yang sangat dia ingin lindungi, tanpa tahu siapa yang melakukannya. Deru napas dan air mata yang terus mengalir, Khalil benar-benar terluka.
“Siapa mafia yang membunuhnya? Katakan saja?!” Sentak Khalil membuat semua orang terkejut. Tatapan menuntut dan ingin tahu, bisa Dion rasakan amarah itu sudah memuncak.
“Khal, tenanglah”
Dion meraih lengan Arsya saat tubuhnya hendak meraih Khalil. Emosi yang pria itu luapkan, tidak akan menjamin tetap baik-baik saja bahkan dengan sentuhan atau pelukan.
“Arghhh…”
“Khal, mau kemana?!” Agil beranjak, mengikuti tubuh Khalil yang sudah berjalan gontai. Meninggalkan kerumunan yang memilih diam termenung.
Khalil, pria malang yang baru saja ditinggalkan sahabatnya mengusap rambutnya kasar. Menatap sekeliling lorong sambil sesekali mengusap air matanya.
“Hentikan”
Khalil menepis tangan Agil yang masih berusaha meraihnya untuk berhenti berjalan. Bagaimana bisa dia biasa saja? Khalil harus mencari siapa di balik datang kematian Sadam dan harusnya, Agil juga melakukan yang demikian.
Namun pria itu, masih saja mengalang kemanapun Khalil beranjak, “tolong hentikan”
“Apa yang lo pikirin?” Khalil berbalik, dengan wajah sembabnya.
“Tenanglah, gue yakin Sadam juga nggak suka liat lo kayak gini” Agil berusaha mendekat.
“Siapa yang bunuh dia?!”
Agil menggeleng, “ayo katakan secara tenang kaya pas nongkrong di cafe atau pas kita lagi di angkringan” Agil tetap tenang, menatap Khalil yang berdiri cukup dekat dengan garis pembatas.
“Lo gila, ya?” Ujarnya pelan.
Lagian untuk apa dia hidup? Bahkan tugasnya untuk melindungi sahabatnya sendiri tidak dia lakukan dengan baik, bagaimana bisa melindungi yang lain?
“Jangan seperti itu”
“Ya?!”
Khalil dan Agil mendongak. Pada ketiga kacung yang berdiri didepan pintu masuk gedung dengan gaya mereka. Hagian berkacak pinggang bersama Wira dan Jihan di sampingnya.
“Bunuh diri aja sana!”
“Si brengsek” desis Khalil malas.
“Banyak orang yang mau hidup tapi lo malah pengen mati?!” Seruan Wira mendapat gelak tawa dari Hagian dan Jihan. Ketiga pria yang menatap kasihan kepada dua pria cengeng di depan sana.
“Jangan goblok-goblok kenapa sih? Masih punya otak buat mikir kan?” Desak Hagian.
“Bajingan itu” kali ini Agil berdesis. Hendaknya meraih Hagian dan gerombolannya, namun pria itu masih memikirkan Khalil yang sedang ada pada ambang kebingungan.
“Matilah karena lo pantes buat mati, bukan karena lo harus milih harus mati. Hiduplah, walaupun muka lo terlihat memuakkan”
Jihan? Sejak kapan pria itu terdengar sebijak ini? Bahkan membuat Hagian dan Wira tampak kebingungan karena ulah sahabatnya sendiri.
“Dia waras?”
Agil menoleh ke arah Khalil sambil menekuk bibirnya ke bawah. Menandakan ketidak tahuan sekaligus kegelian yang luar biasa menggelitik perutnya.
“Wah, kalian pikir orang kayak gue nggak bisa memotivasi?!” Jihan berkacak pinggang, menetralkan suasana canggung yang dia buat sendiri.
“Lucu sekali, tapi makasih” Khalil mengangkat tangannya, sebagai bentuk terima kasih sebab motivasi yang Jihan sampaikan benar-benar luar biasa.
“Lo ngeremehin dia?!” Wira mendelik, “bisa-bisanya dia seperti itu, sekiranya hargai perjuangan Jihan membujuk lo supaya nggak mati”
“Gue udah berterima kasih. Justru sangat terharu dengan ucapannya barusan” Khalil beranjak mendekati Hagian, Jihan, dan Wira.
“Aish, manusia ini? Bahkan harus dengan Hagian supaya dia bisa mempertimbangkan pilihannya. Gue kayak nggak di anggap” desis Agil kesal, sebelum menyusul Khalil.