Arunika adalah seorang wanita yang memendam cinta dalam diam, membangun istana harapan di atas sajadah merah yang pernah diberikan oleh Raka, pria yang diam-diam memikat hatinya. Setiap sujud dan lantunan doa Arunika selalu tertuju pada Raka, berharap sebuah takdir indah akan menyatukan mereka. Namun, kenyataan menghantamnya bagai palu godam ketika ia mengetahui bahwa Raka telah bertunangan, dan tak lama kemudian, resmi menikah dengan wanita lain, Sandria. Arunika pun dipaksa mengubah 90 derajat arah doa dan harapannya, berusaha keras mengubur perasaan demi menjaga sebuah ikatan suci yang bukan miliknya.
Ketika Arunika tengah berjuang menyembuhkan hatinya, Raka justru muncul kembali. Pria itu terang-terangan mengakui ketidakbahagiaannya dalam pernikahan dan tak henti-hentinya menguntit Arunika, seolah meyakini bahwa sajadah merah yang masih disimpan Arunika adalah bukti perasaannya tak pernah berubah. Arunika dihadapkan pada dilema moral yang hebat: apakah ia akan menyerah pada godaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15. Mencari
Pagi itu, halaman kampus Universitas Indonesia riuh rendah. Ribuan mahasiswa baru berseragam almamater kuning muda bertebaran di setiap sudut. Ada yang bergerombol tertawa, ada pula yang bingung mencari kelompok orientasi mereka.
Di tengah keramaian itu, Raka berlarian ke sana kemari, napasnya memburu. Dua hari sudah ia mencari seseorang—Arunika. Gadis yang seharusnya ia temui di “gerbang UI”.
“Run… kamu di mana sih?” gumamnya lirih, matanya menyapu wajah-wajah asing yang lalu lalang.
Ia berhenti sejenak di depan Perpustakaan Pusat, keringat menetes di pelipis. Hatinya digelayuti rasa putus asa. Bagaimana mungkin ia menemukan Arunika di lautan manusia ini? UI terlalu luas. Dari Gerbatama hingga Kukusan Teknik, dari Fakultas Kedokteran hingga FIB, setiap sudut sudah ia hampiri.
Langkahnya gemetar. “Salahku sendiri… kenapa aku nggak nanya dia jurusan apa?” ucapnya menyesal, menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
Namun, bukannya berhenti, Raka kembali memacu kakinya. Lorong demi lorong, aula demi aula, kantin hingga taman balairung—semuanya ia jelajahi. Dari luar, ia terlihat seperti orang gila, tapi ia tidak peduli. Janji adalah janji, dan ia tidak bisa menyerah begitu saja.
Setiap kali melihat sosok perempuan berambut hitam panjang, jantungnya berdegup lebih cepat. Tapi setiap kali juga ia harus menelan kecewa, karena bukan Arunika.
Di kejauhan, dentuman musik orientasi terdengar, membuat suasana makin hiruk-pikuk. Tapi bagi Raka, semua itu hanya riuh yang hampa. Satu-satunya yang ia cari hanyalah Arunika.
"Eh ... kamu anak Manajemen Teknik kan?"
Seorang senior tiba-tiba menghentikan langkah Raka.
Refleks Raka menoleh. Ia baru sadar kalau dirinya masih mengenakan topi kerucut biru dengan pita kuning mencolok. Identitas jurusannya terpampang jelas.
"I-iya, Kak..." jawab Raka terbata.
"Ngapain kamu lari-larian kayak orang kesurupan?!" Senior itu menatap tajam, kedua tangan terlipat di dada. "Harusnya kamu sekarang kumpul sama kelompok. Bukan mondar-mandir sendirian kayak setan gentayangan!"
Raka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Hatinya berdebar. Bagaimana ia bisa menjelaskan kalau sebenarnya ia sedang mencari seseorang? Kalau sampai ketahuan, bisa-bisa hukumannya berlipat ganda.
"Maaf, Kak... saya—saya lagi nyari temen."
"Temen?!" Mata senior itu menyipit curiga. "Temen satu jurusan?"
Raka menelan ludah. Andai saja Arunika satu jurusan denganku... pikirnya lirih.
Sebelum sempat menjawab, senior itu berdecak.
"Sudahlah! Balik ke kelompokmu. Kalau masih aku lihat lari-lari nggak jelas, siap-siap dapat hukuman jalan jongkok keliling lapangan!"
Raka hanya bisa mengangguk pasrah. "Siap, Kak..."
Raka terpaksa kembali ke satuannya. Ia langsung duduk di rumput basah bersama calon mahasiswa lainnya.
"Dari mana kamu?" tanya salah satu senior.
"Cari toilet Kak," jawab Raka tentu saja berbohong.
"Ketemu?" Raka menggeleng.
"Sorry, emang kampus ini kalau cari toilet seperti nyari harta Karun. Nanti kita keliling kampus lagi buat tau di mana toilet paling dekat sama kelas kalian!" sahut senior lagi.
Dua jam orientasi diisi dengan kegiatan positif, Raka memang bersifat introvert, tapi ia masih bisa berbaur dan ngobrol sama teman-temannya, walau ia banyak diam dan mendengarkan.
"Ayo, Raka, Wildan, Akbar dan Rahmat! Kalian tarik tambang lawan senior!" suruh ketua BEM.
Setengah malas, Raka berdiri dan melakukan tarik tambang. Awalnya mereka kalah, tapi ronde kedua dan ketiga mereka menang.
"Wah ... berani-beraninya kalian ngalahin senior ... siap-siap kalian saat sidang skripsi ya!' ancam senior bergurau.
'Eh, nggak ada itu!" bantah salah satu dosen pembina.
"Becanda PakDos!' sahut senior takut-takut.
"Nggak lagi ya!" larang dosen itu lagi memperingati.
"Siap PakDos!' sahut senior itu memberi hormat.
Raka kembali duduk setelah tarik tambang, napasnya masih tersengal, telapak tangannya perih karena tambang yang kasar. Teman-temannya tertawa, membicarakan kemenangan kecil itu dengan penuh semangat.
Namun, hati Raka tetap kosong. Matanya tak bisa diam, terus mencari di antara kerumunan mahasiswa dengan jaket kuning yang sama.
Setiap suara tawa, setiap langkah kaki, hanya membuat rindunya makin menjadi.
Run... di mana kamu sebenarnya? batinnya lirih.
Langit UI siang itu membiru terang, tapi bagi Raka, ada mendung yang menggantung di dadanya.
Waktu istirahat, beberapa senior mengajak rombongan mahasiswa baru berkeliling. Tujuan pertama—seperti sudah dijanjikan sejak pagi—adalah mencari keberadaan toilet khusus laki-laki.
"Ini gedung Manajemen Teknik," jelas seorang senior dengan nada setengah serius, setengah bercanda. "Ada delapan kelas di sini, dan entah kalian nanti masuk kelas mana. Tapi ingat baik-baik… toilet khusus cowok cuma ada dua!"
Serentak terdengar gumaman kecewa.
"Masalahnya," lanjut senior itu, "air di toilet ini sering macet. Jadi jangan heran kalau baunya… yah, khas kampus banget. Bau pesing!"
Mahasiswa baru saling pandang, sebagian tertawa, sebagian lain meringis jijik.
"Intinya," senior itu menekankan, "hindari ke toilet pas jam istirahat. Kalau mendesak banget, mending cari ke rumah penjaga kampus, atau ke luar, ke rumah-rumah warga."
Tawa kecil pecah di antara barisan mahasiswa. Ada yang langsung mencatat serius di buku kecilnya, ada pula yang hanya geleng-geleng kepala.
Raka ikut tertawa tipis, tapi matanya tetap sibuk melirik ke kanan dan kiri. Seperti orang yang tidak pernah tenang, ia masih berharap, siapa tahu di balik kerumunan itu ada sosok yang ia cari: Arunika.
Hari ini adalah hari terakhir mereka ospek. Raka dan kelompoknya sudah mendirikan tenda di sebuah lapangan besar. Mereka harus naik angkot menuju tempat itu.
Mata Raka masih mengamati semua wajah yang lewat di depannya. Tapi, sampai bau tubuh Arunika tak juga tercium olehnya.
Raka menghela nafas panjang, ia duduk bersama teman-temannya. Lusa mereka akan memulai aktivitas baru sebagai mahasiswa di salah satu universitas terbaik negeri ini.
"Kamu itu kek lagi nyariin orang?' tanya salah satu calon mahasiswa pada Raka.
'Eh?" Raka sedikit terkejut.
'Lah, dia malah bengong!' decak calon mahasiswa itu sebal, Raka hanya nyengir kuda.
"Lu nyari siapa? Pacar?" terka kawan barunya itu.
Memang tak ada satu pun murid yang sekelas Raka kemarin masuk UI. Tentu saja, test UI sangat sulit untuk ditaklukkan oleh para murid yang otaknya standar.
"Ngarang!' bantah Raka ngegas.
"Dih sewot! Kan Gue cuma nanya!" sengit teman baru Raka itu.
Suasana lapangan malam itu penuh riuh. Tenda-tenda mahasiswa baru berbaris rapi, lampu petromak menyala, suara panitia bersahut-sahutan memberi instruksi. Ada yang sibuk masak mie instan, ada yang main gitar, ada pula yang kelelahan langsung rebahan.
Raka hanya duduk bersandar di tiang tenda, menatap langit gelap bertabur bintang. Tawa teman-temannya tak mampu menghiburnya. Ia masih sibuk menimbang kemungkinan—bagaimana kalau Arunika juga sedang ikut inagurasi di fakultasnya masing-masing, mungkin tak jauh dari sini?
Angan-angan itu membuat dadanya sesak.
“Eh bro, lu kenapa bengong mulu?” temannya menyodorkan gelas plastik berisi teh hangat.
“Enggak, nggak apa-apa,” jawab Raka, mencoba tersenyum.
Tapi kawannya tidak percaya. “Udah jujur aja. Dari kemarin gue perhatiin, lu matanya kayak radar. Kayak lagi nyariin… seseorang.”
Raka tercekat, tapi berusaha menutupinya dengan tawa hambar. “Ngaco lu.”
“Cih, gaya lu. Pasti cewek kan? Hayo ngaku!” kawannya menepuk bahu Raka sambil terkekeh.
Raka hanya terdiam. Kalau ia jujur, mereka pasti akan menjadikannya bahan ledekan semalaman. Ia memilih diam, meski di dalam hati nama itu kembali bergema—Arunika.
Malam semakin larut, suara jangkrik bercampur dengan canda tawa mahasiswa baru. Namun, di dalam tenda kecil itu, Raka hanya bisa menatap kosong ke atap kain.
“Run… di mana sih kamu sekarang?” bisiknya sebelum akhirnya memejamkan mata dengan resah.
Bersambung.
Ah ... Sayang banget ... Saling menunggu dan mencari ... Seperti Adam yang sibuk mencari keberadaan Hawa.
Next?
kamu bisa datang d saat kamu sudah siap dalam hal apapun,buat ayah Purnomo terkesan dengan perjuangan mu