NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tawanan yang ditandai

Kereta kayu berhenti dengan derak keras di pelataran luas. Rantai di pergelangan Rosella berdenting lirih ketika prajurit menariknya turun. Kakinya goyah saat menjejak marmer dingin, napasnya memburu. Feya di sampingnya ikut terhuyung, wajahnya pucat, sementara tawanan lain digiring keluar satu per satu.

Di depan mereka, Dreadholt menjulang megah. Dinding hitam berlapis batu, menara-menara tinggi menusuk langit kelabu, jendela kaca berwarna memantulkan cahaya lampu kristal. Taman luas terbentang di kedua sisi pelataran. Pohon cemara berjajar rapi, semak mawar beku dipangkas sempurna, patung-patung marmer berdiri kaku dengan wajah dingin setengah tertutup es. Tempat itu tampak seperti mahakarya kekuasaan, indah, megah, sekaligus menakutkan.

Pintu utama perlahan terbuka, menyingkap cahaya keemasan dari dalam. Aroma bunga kering dan kayu manis dari tungku besar menyusup hingga ke luar. Dari ambang pintu, seorang wanita tua melangkah anggun. Rambutnya disanggul tinggi, gaun beludru hitamnya berkilau samar, tongkat ramping berujung safir biru tergenggam mantap di tangannya. Tatapannya tajam, membuat seluruh pelayan dan prajurit menunduk lebih dalam.

Ia berhenti di puncak tangga. Senyum tipis terbentuk di bibirnya, dan suaranya yang lantang mengalun, sarat wibawa.

“Orion … cucuku. Akhirnya kau kembali ke Dreadholt.”

Suara itu menggema. Serentak para pelayan berseru bersama, penuh hormat.

“Selamat datang, Nyonya Agung.”

Orion menundukkan kepala singkat, bukan karena kerendahan hati, melainkan penghormatan darah. “Aku sudah kembali, Nenek,” jawabnya datar, namun penuh kepastian.

Grand Duchess menatapnya lama, lalu senyumnya melebar tipis. “Kau kembali dengan kemenangan. Mataku sudah melihat cara berjalanmu, ada sesuatu yang berbeda kali ini.”

Orion tidak menjawab. Namun sesaat, tatapannya melirik singkat ke arah Rosella, berbeda dari biasanya, lebih tajam, lebih lama, seolah ada sesuatu di baliknya.

Sorot mata Grand Duchess pun ikut bergeser, mengikuti arah pandangan cucunya. Ia melihat sekelompok tawanan perempuan digiring di pelataran, rantai membelenggu tangan mereka. Rosella di antaranya, berdiri tegak meski tubuhnya bergetar.

“Hm …,” desis Grand Duchess pelan, matanya menyipit sesaat sebelum kembali pada Orion. “Kau selalu membawa pulang banyak tawanan perang. Tapi kali ini … entah kenapa, langkahmu terasa lebih berat.”

Orion hanya tersenyum tipis. “Mungkin karena musim dingin, Nenek.”

Grand Duchess mengangkat tongkatnya, memberi isyarat pada prajurit. “Bawa para tawanan ke halaman belakang. Mereka akan didata dan dipilah. Beberapa akan ditempatkan sebagai pelayan kediaman Draevenhart. Sisanya … kau sudah tahu apa yang harus dilakukan.”

“Baik, Nyonya Agung!” seru para prajurit serempak. Rantai ditarik, membuat Rosella dan tawanan lain bergerak terseret-seret menuruni pelataran.

Rosella menoleh sekilas, melihat punggung Orion yang masih tegak di tangga. Entah apa arti tatapan singkat yang tadi diberikan kepadanya—tapi ia tahu, itu cukup membuat neneknya menaruh curiga.

Di belakang istana, para tawanan dipaksa berbaris di halaman luas. Lampu-lampu minyak tergantung di dinding, pelayan mencatat dengan gulungan perkamen, sementara pengawas menilai satu per satu dengan mata dingin. Dari sini, jelas bahwa hidup mereka tidak akan berakhir cepat dengan pedang, melainkan perlahan di bawah aturan keluarga Draevenhart.

Rosella mengepalkan tangannya erat. Rantai besi bisa ditarik, tubuh bisa dipaksa, tapi tekadnya tidak akan dibunuh semudah itu.

Suara cambuk menghantam udara membuat barisan tawanan tersentak. “Cepat! Majukan barisan berikutnya!” bentak pengawas dengan suara berat.

Satu per satu tawanan didorong maju. Para pelayan di meja panjang mencatat cepat, nama, usia, kondisi tubuh. Mereka yang dianggap cukup sehat diarahkan ke dapur, gudang, atau kebun. Sebagian lainnya, yang tampak lemah, hanya mendapat tatapan dingin sebelum digiring menjauh tanpa penjelasan ke mana, tidak ada yang berani menanyakan.

Rosella berdiri di tengah barisan, rantai di tangannya masih mengikat Feya yang bergetar di sebelahnya. Napas Feya putus-putus, matanya berkaca-kaca. “Rosella … aku takut,” bisiknya lirih.

Rosella menoleh, menatap sahabatnya dengan keras meski hatinya sendiri nyaris runtuh. “Jangan tunjukkan itu pada mereka,” jawabnya singkat, suara seraknya tegas. “Kita harus tetap berdiri.”

Seorang prajurit mendengar bisikan itu, lalu mendorong bahu Rosella kasar. “Diam! Kau pikir ini tempat untuk berbisik?”

Rosella terhuyung, tapi ia menahan diri untuk tidak jatuh. Rantai di tangannya berdenting, namun matanya tetap lurus ke depan.

“Feya Mirandel Solwyre!” suara pengawas memanggil. Feya terkejut, tubuhnya gemetar ketika namanya dipanggil. Ia didorong maju. Pelayan mencatat cepat, lalu menoleh pada pengawas.

“Tubuhnya cukup kuat. Masukkan ke dapur.”

Feya menoleh putus asa, berusaha mencari mata Rosella sebelum rantainya ditarik paksa ke arah barisan dapur. Rosella mengepalkan tangannya lagi, menahan diri agar tidak berteriak.

Kini barisan bergerak lagi. Pengawas menatap daftar, lalu menoleh pada prajurit di sisi Rosella. “Yang berikutnya.”

Rosella terdorong maju. Cahaya lampu minyak menyorot rambut pirangnya yang basah oleh salju, wajah pucatnya tampak kontras dengan matanya yang masih menyala. Pelayan di meja berhenti menulis sejenak, menatapnya ragu.

“Nama?” tanyanya datar.

Sebelum Rosella sempat membuka mulut, prajurit di sampingnya menyahut dengan nada berat, “Rosella Lysandrel Aetherielle. Tawanan perang. Perintah khusus untuk mencatatnya.”

Sejenak suasana berhenti. Beberapa pelayan saling pandang, lalu menunduk cepat sambil menulis. Pengawas mendekat, matanya menyipit menilai Rosella dari kepala hingga kaki.

“Catat di bagian khusus. Ia tidak digabung dengan yang lain,” katanya dingin.

Rantai Rosella segera ditarik ke arah berbeda, dipisahkan dari tawanan lainnya. Ia mendengar Feya memanggil namanya lirih dari kejauhan, tapi suaranya tertelan oleh teriakan prajurit yang mengatur barisan.

Saat tubuhnya digiring, Rosella sempat menoleh ke atas. Dari balkon yang menghadap halaman belakang, sosok hitam berdiri tegak—Orion. Ia memperhatikan dengan sorot mata tajam, tak bergeming meski udara menusuk.

Tatapan itu hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat Rosella sadar, nasibnya tidak akan sama dengan tawanan lain. Ia bukan sekadar pelayan, bukan sekadar tahanan. Ia sudah ditandai … untuk sesuatu yang lebih berbahaya.

Rosella digiring keluar dari barisan bersama dua prajurit. Rantai besi di tangannya bergetar setiap kali mereka menariknya dengan kasar. Ia sempat menoleh sekilas ke arah Feya yang sudah diarahkan ke kelompok dapur. Tatapan Feya penuh kepanikan, bibirnya bergerak tanpa suara, seolah ingin memanggil nama Rosella. Namun jarak semakin melebar, dan teriakan prajurit menelan semua bisikan.

Lorong samping Dreadholt sunyi. Lampu minyak berderet di dinding, cahayanya berpendar redup, memantulkan bayangan panjang di lantai batu. Suara sepatu prajurit beradu dengan lantai terdengar teratur, kaku, seolah setiap langkah menghitung waktu.

Mereka tiba di depan sebuah pintu kayu besar yang dijaga dua pengawas berseragam hitam. Seorang prajurit yang menggiring Rosella memberi hormat singkat, lalu berkata tegas,

“Perintah langsung dari Tuan Duke. Tawanan ini ditempatkan terpisah.”

Pengawas mengangkat wajah, menatap Rosella dengan sorot tajam. Ia tidak bertanya, hanya mengangguk tipis lalu memberi isyarat dengan tangannya.

“Bawa masuk. Catat namanya di daftar khusus. Jangan gabungkan dengan yang lain.”

Rosella digiring masuk ke ruangan luas yang bercahaya. Lantai marmer putih bersih, dindingnya berhiaskan ukiran naga berlapis perak, dan tungku besar di ujung ruangan menyala hangat. Berbeda jauh dengan halaman belakang yang bising, tempat ini sepi namun menekan.

Seorang pelayan wanita tua mendekat. Ia menunduk sedikit pada pengawas, lalu memandang Rosella dengan tatapan dingin.

“Apakah dia yang dimaksud dalam catatan?”

“Benar,” jawab pengawas singkat. “Arahan dari Tuan Duke. Ia tidak boleh diperlakukan sama dengan tawanan lain.”

Pelayan itu berdeham, lalu melangkah mendekati Rosella. Tatapannya menyapu rambut pirang Rosella yang kusut, wajah pucat yang tetap menatap lurus ke depan, serta rantai yang masih membelenggu tangannya.

“Kau akan ditempatkan di ruang pelayan khusus. Tugasmu akan ditentukan kemudian. Jangan banyak bicara, jangan banyak bertanya. Mengerti?”

Rosella terdiam.

Pelayan itu mendengus pelan. “Diam juga bisa berarti setuju.” Ia menoleh ke pengawas. “Bawa dia ke kamar khusus. Biarkan ia menunggu perintah berikut.”

Prajurit kembali menarik rantai Rosella. Mereka melewati lorong dalam yang lebih hangat. Lampu minyak di dinding berpadu dengan cahaya lampu gantung kristal, memantulkan kilau keemasan yang kontras dengan rantai besi di tangannya.

Akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah pintu besi. Prajurit membuka pintu itu dengan derit keras, lalu mendorong Rosella masuk.

Ruangan itu sederhana. Lantai batu yang bersih, sebuah dipan kayu dengan kasur tipis, meja kecil dengan kendi air, dan lampu minyak yang temaram. Jauh lebih layak dibanding sel tahanan, tetapi tetap menegaskan bahwa ia seorang tawanan.

Prajurit melepas rantai dari tangannya, namun tetap menatapnya dengan sinis. “Jangan berpikir macam-macam. Kau ada di sini bukan karena keberuntungan, tapi karena kehendak Tuan Duke.”

Rosella menatapnya lurus. Ia tidak menjawab, hanya mengepalkan tangannya di sisi tubuh.

Prajurit itu mendengus, lalu keluar bersama rekannya. Pintu berderit ditutup, suara kunci diputar, dan ruangan kembali sunyi.

Rosella terduduk di tepi dipan, tubuhnya lelah, tetapi matanya tetap menyala. Ia tahu, nasibnya kini berbeda dengan para tawanan lain. Tidak ada jalan mudah, tetapi ia juga sadar, Dreadholt baru saja menjadi gelanggang tempat pertarungan yang sebenarnya.

Sunyi merayap di ruangan itu. Lampu minyak yang tergantung di dinding berdesis pelan, cahayanya goyah dan memantulkan bayangan panjang di lantai batu. Kasur tipis di sudut tampak lusuh, meja kayu kecil dengan kendi air berdiri sepi, sementara udara dingin masih merembes meski tungku jauh di lorong luar.

Sebuah ketukan pelan terdengar di pintu besi. Rosella menegang, napasnya tercekat. Sesaat kemudian, langkah berat terdengar, berhenti tepat di balik pintu.

“Besok pagi ....” Suara Orion rendah, tenang, tapi dingin. “Kau tidak lagi bersama para tawanan. Kau akan berada di bawah pengawasanku.”

Rosella menggertakkan gigi, suaranya serak namun tegas, “Awasi sepuasmu. Itu tidak akan membuatku tunduk.”

Hening sejenak. Lalu terdengar tawa tipis dari balik pintu, dingin dan singkat.

“Kalau begitu … aku akan pastikan sendiri kapan keyakinanmu mulai runtuh.”

Langkahnya menjauh, gema beratnya tertinggal di lorong. Rosella tetap kaku, jantungnya berpacu liar. Kata-kata itu menggantung di udara, lebih berat daripada rantai di tangannya.

.

.

.

Bersambung ....

1
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Xuě Lì: Do'akan agar saya tidak malas wkwkw:v
total 1 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Xuě Lì: Otw🥰
udah selesai nulis hehe🤭
total 1 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!