Hanina Zhang, merupakan putri seorang ulama terkemuka di Xi’an, yang ingin pulang dengan selamat ke keluarganya setelah perjalanan dari Beijing.
Dalam perjalananya takdir mempertemukannya dengan Wang Lei, seorang kriminal dan kaki tangan dua raja mafia.
Hanina tak menyangka sosok pria itu tiba tiba ada disamping tempat duduknya. Tubuhnya gemetar, tak terbiasa dekat dengan pria yang bukan mahramnya. Saat Bus itu berhenti di rest area, Hanina turun, dan tak menyangka akan tertinggal bus tanpa apapun yang di bawa.
Di tengah kebingungannya beberapa orang mengganggunya. Ia pun berlari mencari perlindungan, dan beruntungnya menemui Wang Lei yang berdiri sedang menyesap rokok, ia pun berlindung di balik punggungnya.
Sejak saat itu, takdir mereka terikat: dua jiwa dengan latar belakang yang berbeda, terjebak dalam situasi yang tak pernah mereka bayangkan. Bagaimana perjalanan hidup Dewi Hijab dan iblis jalanan ini selanjutnya?
Jangan skip! Buruan atuh di baca...
Fb/Ig : Pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab_15 Hijab Untuk Hanina
Perempuan itu akhirnya berlalu dengan langkah tergesa, membawa kain gorden yang tadi kuberikan. Suara pintu kamarnya tertutup pelan, meninggalkan keheningan yang hanya diisi hujan yang terus menampar atap rumah.
Aku menjatuhkan tubuhku ke sofa, menghela napas panjang. Badanku benar-benar lelah. Otot-ototku masih tegang, dan kepalaku berdenyut sejak tadi sore. Entah sudah berapa banyak orang yang harus kuhadapi emosinya di luar sana, dan sekarang… harus menghadapi Hanina juga.
Bukan salahnya, aku tahu itu. Dia hanya perempuan yang terjebak bersamaku dalam situasi bodoh ini. Tapi… entah kenapa dia membuatku lebih cepat lelah, sekaligus anehnya lebih hidup.
Mataku menatap lantai, kosong. Bayangan tadi, saat dia menolak memakai gaun itu dengan suara bergetar dan mata yang menatapku seperti sedang bertahan, terus berputar di kepalaku.
Aku menajamkan mata padanya bukan karena benci, tapi… aku takut.Takut kalau aku terlalu lama melihatnya dalam keadaan seperti itu, aku akan… kalah.
Saat dia tadi meminta kain untuk sholat, jujur aku hampir tertawa. Perempuan ini… bahkan dalam keadaan seperti ini masih memikirkan Tuhannya. Dan entah kenapa, aku tidak bisa mengabaikannya.
Makanya aku melakukan hal konyol: mencopot gorden dari jendela. Gorden, sialan! itu membuatku merasa seperti orang bodoh karena melakukannya. Tapi saat melihat matanya yang sedikit memerah saat menerima kain itu, entah kenapa aku merasa benar.
Aku menatap tanganku yang sedikit bergetar. Ada sesuatu di dadaku yang aneh, seperti ada batu besar yang perlahan runtuh.
"Sial…" gumamku lirih.
Aku menyandarkan punggung, menutup mata. Tapi semakin kupejamkan, semakin jelas aku mengingat wajahnya, saat dia menggigil dengan memeluk kain itu, seolah itu hadiah paling berharga di dunia.
Kenapa?
Kenapa seorang Hanina... Gadis yang baru beberapa hari bersamaku, bisa membuatku merasa seperti ini? Seperti anjing liar yang dijinakan?
Aku mengusap wajahku kasar. Tidak. Aku tidak boleh larut. Aku masih Wang Lei yang sama, seorang kriminal yang hidup dalam dunia kekerasan dan kebrutalan. selama ini aku bersama wanita hanya untuk wadah kepuasanku bukan tempat menitipkan hati.
Namun Hanina berberbeda, satu- satunya cewek sialan yang membuatku terjebak pada perasaan sendiri.
Pada akhirnya dia juga akan pergi, cepat atau lambat, dan aku akan sendiri lagi. Jika aku membiarkan perasaan ini terus mekar, maka bukan belati atau senjata api yang akan melukaiku, melainkan hatiku sendiri.
Dengan napas berat, aku membuka mata, menatap ke arah tangga yang tadi dia naiki. Untuk sesaat, aku bertanya-tanya… apa dia sudah berganti pakaian? Apa dia merasa hangat sekarang? Dan… kenapa aku terus saja peduli? Brengsek!
Aku menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran itu. "Sudahlah," gumamku, meski suaraku sendiri terdengar ragu.
•<•<•<•<•Pearlysea•<•<•<•
Alarm ponselku meraung , mendadak membuatku tersentak dalam tidur, kepalaku pening karena suaranya yang kelewat nyaring. Dengan mata yang setengah terbuka, tanganku meraba meja kaca meraih ponsel yang segera ku matikan.
Dengan gerakan malas, aku bangkit duduk di tepi sofa, menatap layar ponsel beberapa detik sebelum akhirnya menekan nama yang sudah terlalu sering kupanggil jika aku butuh sesuatu.
"Xiao Mei," gumamku pelan setelah panggilan tersambung.
"Ya sayang? Tumben sekali pagi-pagi telfon, kangen ya?" Suara manja perempuan itu langsung terdengar di telingaku.
"Aku membutuhkanmu." ucapku dengan suara serak.
Wanita itu terkekeh manja di seberang sana.
"Aahh, aku juga... Kapan bertemu? sudah lama juga kita tidak bersama, bukan? aku tidak sabar merasakanmu lagi," ucapnya dengan suara yang di buat-buat, genit.
Aku menghela napas pelan, suaranya selalu menggoda tapi kali ini aku benar-benar tidak tertarik seperti biasa.
"Aku ke apartemenmu sekarang." ucapku, langsung memutuskan panggilan.
Lekas aku berdiri, meraih kaos hitamku yang tersampir di sandaran kursi, masih basah, namun tak ada pilihan lain, segera aku memakainya. Kulitku mendadak merinding saat kaos itu menempal ditubuhku.
Mataku menatap ke atas, ke kamar Hanina, dia sudah bangun atau masih tidur?
Aku mendecak dan menggelengkan keras kepalaku, lalu keluar rumah, mengunci pintunya dan segera mengenakan helm, siap meluncur ke tujuan.
Apartemen Xiao Mei – 20 Menit Kemudian.
Xiao Mei langsung membukakan pintu kamarnya begitu aku sampai. Dia mengenakan gaun sutra tipis yang cukup seksi, rambutnya tergerai di bahu. Aroma harum menguar dari tubuhnya.
Tanpa bicara apa apa, lengannya langsung menggelayut di leherku, bibirnya menekan bibirku, memaksaku untuk menerima. Aku terbawa suasana sejenak, menarik pinggulnya lebih dekat saat kami saling berpangutan.
Tubuhku mendadak panas, jantungku berdebar kencang seiring ciuman yang semakin liar. Tanganku tanpa sadar meraba lekuk tubuh Xiao Mei, meremasnya erat hingga perempuan itu mengerang.
Saat hasratku semakin meningkat, tangan Xioe Mei meraba perutku, berusaha mengangkat kaosku, namun detik itu juga bayangan Hanina berkelebat jelas di pikiranku, bahkan sempat membayangkan yang bersamaku bukan Xiao Mei melainkan Hanina.
Detik kemudian aku tersadar, tanganku segera mendorong tubuh Xiao Mei dariku dengan cukup kasar, membuat wanita itu melongo kaget, bibir merahnya masih basah karena ciuman barusan.
"Wang Lei?" tanyanya dengan suara setengah terengah, matanya menyipit tak percaya.
"Apa-apaan ini?"
Aku berdiri, napas memburu, tanganku meremas rambutku sendiri, frustasi. "Sialan..." gumamku, lebih pada diriku sendiri.
Xiao Mei melangkah mendekat, tangannya hendak meraih lenganku.
"Hei… kau tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ada apa? Kau sakit?"
Aku mundur selangkah, menghindar, lalu duduk di ujung ranjang. Kepalaku tertunduk dengan napas yang masih menderu, menenangkan diri sebelum mengangkat wajah dan kembali bersuara.
"Aku kesini bukan untuk bermain, Senorita. Aku membutuhkanmu untuk menemani seorang gadis yang kuselamatkan. Dia tinggal bersamaku di rumah bos Liang. Pagi ini aku harus pergi mungkin 2 sampai 3 hari ke depan, kau bisa membantuku?" Suaraku berat, parau.
Xiao Mei terdiam sejenak, tatapannya bergeser, mencari-cari jawaban dari wajahku. Perlahan, senyum genitnya lenyap, berganti dengan ekspresi heran.
"Seorang… gadis?" ulangnya pelan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Wang Lei, sejak kapan kau… peduli pada gadis lain?"
Aku mendengus pelan.
"Itu urusanku. Kau mau membantu atau tidak?"
Xiao Mei menyilangkan tangannya di dada, gaun sutranya bergeser, menampakkan bahu putihnya yang ramping.
"Kenapa aku harus membantu? Kau tidak pernah meminta hal seperti ini sebelumnya. Siapa dia? Gadis macam apa yang sampai membuatmu datang ke sini… bukan untukku, tapi untuk memintaku mengurusnya?"
Nada suaranya terdengar sinis, tapi juga penasaran.
Aku menghela napas berat, menunduk sebentar sebelum menatapnya lagi.
"Dia hanya seorang gadis… yang kebetulan berada di situasi yang salah. Dia butuh teman perempuan. Dan aku butuh kau untuk itu."
Xiao Mei mendecak, melangkah mendekat, menatapku tajam. "Dia penting untukmu, ya? Kau bahkan tidak menyangkal."
Aku menahan diri untuk tidak menjawab terlalu cepat. Aku bangkit, Berdiri di hadapanya dengan rahang mengeras.
"Yang penting sekarang, kau mau membantu atau tidak, Xiao Mei?"
Dia menatapku lama, sebelum akhirnya mendengus pelan, matanya menyipit penuh kecurigaan.
"Baiklah… aku akan datang. Tapi jangan kira aku tidak akan mencari tahu siapa gadis itu, Wang Lei. Aku ingin melihat sendiri siapa perempuan yang bisa membuatmu menolak aku untuk pertama kalinya."
Aku mengalihkan pandangan sejenak lalu mengangguk menatapnya.
"Bagus. Kita berangkat sekarang. Tapi sebelum itu, aku mau meminjam gaunmu, gaun yang longgar dan panjang, kalau ada aku juga mau meminjam syalmu juga."
Xiao Mei terperangah, bibir merahnya sedikit terbuka, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Gaun? Syal? Untuk apa? Jangan bilang… untuk dia?" Nada suaranya meninggi, penuh ketidaksukaan.
Aku menatapnya tajam, malas membuang waktu untuk menjelaskan panjang lebar.
"Kau terlalu banyak tanya, Xiao Mei. Hanya bawa apa yang kuminta."
Dia mendengus kasar.
"Astaga… Wang Lei yang kukenal dulu tidak akan pernah peduli dengan urusan baju wanita. Dan sekarang kau memintaku meminjamkan gaun? Apa yang sudah gadis itu lakukan padamu, hah?"
Aku menghela napas panjang, menatap ke arah pintu, menghindari sorot matanya yang sinis.
"Bukan urusanmu. Cepat ambil atau aku cari orang lain."
Mata Xiao Mei menyipit, tapi pada akhirnya ia berbalik menuju lemari. Tanganya bergerak tergesa memilih gaun digantungan, hingga ia menemukan gaun hitam dan syal berwarna merah terang.
"Ini... Ini adalah gaun paling sopan yang kupunya, dan ini syalnya!" ucapnya menyerahkan gaun itu dengan muka jutek.
Aku meraihnya, memastikan gaun ini cocok untuk Hanina. Tubuh Xiao mei dan Hanina tak beda jauh, sama-sama ramping. Gaun hitam ini keliatanya agak ketat dibagian dada dan pinggangnya. Aku mengerutkan kening.
"Apa tidak ada yang lain?"
Xiao mei mendecak. "Sudah kubilang ini gaun paling sopan yang kupunya." jawabnya sinis.
Aku pun memastikan syalnya juga, melebarkannya meneliti warna kain dan tingkat ketebalanya, syal ini tidak cocok dijadikan hijab. Aku menatap Xiao Mei, tajam.
"Terlalu tipis dan mencolok!" ku lemparkan syal itu ke wajahnya yang sigap dia tangkap. Mendadak wajahnya semakin muram dan kesal.
"Kau cari yang lain lagi pasti ada yang lebih baik!" perintahku.
Xiao Mei mengerling tajam. "Kau menyebalkan!" umpatnya, namun tetap mematuhiku. Dia kembali ke lemari mencari syal yang lain.