aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB
Ramli menatap istrinya lekat-lekat, tak puas dengan jawaban itu. “Tapi ini udah malam. Kamu bukannya biasanya di rumah aja?”
Wulan berhenti di depan cermin kecil dekat pintu dan membetulkan poni rambutnya. “Mas, aku itu perempuan, bukan tahanan. Boleh kan sesekali dandan dan keluar? Lagian… aku capek di rumah terus liatin kamu melamun tiap hari.”
Nada bicaranya menusuk, membuat Ramli merasa seperti lelaki gagal yang tak bisa memberikan kenyamanan.
“Tapi akhir-akhir ini kamu beda, Lan,” gumam Ramli. “Kamu dingin, nggak pernah peduli aku makan apa, pulang kerja kayak apa… sekarang sering keluar, belanja juga tiba-tiba banyak. Kamu dapat uang dari mana?”
Wulan menoleh tajam, menatap Ramli dengan pandangan tak suka.
“Mas nuduh aku ya?” tanyanya tajam.
“Bukan nuduh. Aku cuma pengin tahu…”
Wulan menyeringai sinis, lalu mendekat dan menepuk bahu Ramli pelan.
“Kamu takut aku ninggalin kamu? Takut aku balik sama mantan suami? Atau takut semua pengorbanan kamu buat aku sia-sia?” bisiknya lirih.
Ramli tercekat. Wajahnya pucat.
“Aku cuma takut… aku kehilangan kamu sepenuhnya,” ucap Ramli pelan, hampir tak terdengar.
Wulan tersenyum samar lalu memalingkan wajahnya. “Kalau gitu, buktiin dong kalau kamu bisa bahagiain aku. Jangan cuma bisa curiga.”
Dan tanpa menunggu jawaban Ramli, Wulan melangkah keluar rumah. Meninggalkan Ramli yang kembali termenung, dengan dada sesak dan sendok masih tergenggam di tangan.
Selesai berkata, Wulan membuka pintu kontrakan dan melangkah keluar bersama kedua anaknya tanpa menoleh sedikit pun. Langkahnya cepat dan mantap, seolah tak ada beban ditinggalkan suami yang dulu begitu ia perjuangkan. Suara pintu ditutup dengan keras membuat dada Ramli seperti ditindih batu besar.
Ia hanya bisa mematung di depan piring makannya yang belum habis. Makanannya kini dingin, rasanya pun hambar. Napasnya berat, matanya menatap kosong ke pintu yang baru saja tertutup.
Ramli menghela napas panjang. Kepalanya menunduk. "Dulu aku pikir Wulan akan jadi penyelamatku, yang bisa ngertiin aku… yang bisa nemenin aku apa. Pun yang terjadi sesaat sebelum menikah. Tapi ternyata, nggak ada yang mau nemenin laki-laki tua bangka miskin kayak aku, walaupun sebenarnya aku punya harta," gumamnya lirih.
Wajah Rukayah terlintas di benaknya—wanita yang meski cerewet dan keras, selalu menyiapkan makanan, memeriksa kesehatannya, dan tahu kapan Ramli sedang tidak baik-baik saja. Dulu Ramli merasa Rukayah terlalu mengatur, terlalu kaku. Tapi sekarang, saat semuanya sudah hancur, ia mulai menyadari: yang benar-benar tulus itu bukan yang datang saat dia berada di atas, tapi yang bertahan walau keadaan di bawah.
Matanya memerah. Tapi Ramli menahan air matanya. Ia hanya menatap kosong ke arah pintu, berharap entah bagaimana Wulan akan berubah pikiran, kembali pulang… dan melihat betapa hancurnya ia sekarang.
Tapi sayangnya, suara langkah kaki Wulan dan anak-anaknya makin lama makin menjauh… dan yang tersisa hanya sepi yang menusuk di kontrakan sempit itu.
Belum lagi tekanan dari keluarganya yang terus datang bertubi-tubi. Setiap hari ada saja pesan masuk, telepon dari ibu atau adik-adiknya, yang isinya sama: menyuruh Ramli menceraikan Rukayah.
"Ceraikan aja istri tua itu, Bang! Biar hartanya bisa dibagi dua. Masa abang nurut terus sama perempuan itu? Kami juga butuh!" begitu suara adiknya, berkali-kali ia dengar dari seberang telepon.
Ramli hanya bisa mengusap wajahnya, lelah dan bingung. Mereka tidak tahu… atau pura-pura tidak tahu… bahwa semua itu tidak semudah yang mereka pikirkan.
Ia bergumam, "Kalau aku ceraikan Rukayah, bukan aku yang dapat separuh harta… semua bakal jadi milik anak-anakku. Rukayah udah atur semuanya dari awal. Aku nggak punya hak atas itu. Justru aku yang bakal keluar dari rumah itu tanpa bawa apa-apa..."
Ia memandangi sekeliling kontrakan kecil itu. Dinding yang mulai lembab, atap yang bocor kalau hujan deras. Wulan pun mulai sering bersikap dingin. Anak-anak Wulan yang semakin besar juga mulai menunjukkan ketidaksukaan tinggal di tempat seperti ini.
"Kalau aku ceraiin Rukayah, bukan cuma harta yang hilang... harga diriku juga habis."
Tapi keluarga besarnya tak pernah peduli soal itu. Yang mereka tahu, Ramli punya usaha besar, tanah berhektar-hektar, toko material. Mereka hanya tahu nama besar Ramli yang pernah ditulis di undangan dan dibanggakan ke tetangga.
Sekarang, ia terjepit di tengah: istri muda yang mulai menjauh, istri tua yang sudah sakit hati, dan keluarga yang terus menghisap seperti lintah tanpa tahu batas.
Ramli memejamkan mata. Berat. Hidupnya kini seperti benang kusut yang tak tahu ujungnya di mana.
...****************...
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Suasana kontrakan yang sempit itu terasa makin sunyi. Angin malam berhembus pelan lewat celah-celah jendela yang tak rapat, membuat tubuh Ramli menggigil. Ia duduk di tikar lusuh dengan gelisah, matanya sesekali melirik ke arah jam dinding yang terus berdetak.
Ponsel di tangannya sudah beberapa kali ia tekan, mencoba menghubungi Wulan. Namun tetap saja, suara yang ia dengar hanyalah:
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan."
Ramli menghela napas panjang. "Kemana lagi perempuan ini malam-malam begini... bawa anak-anak pula," gumamnya.
Perasaan tidak enak mulai menggelayuti dadanya. Ia mencoba berpikir positif — mungkin Wulan sedang menginap di rumah saudaranya, atau mungkin ponselnya kehabisan baterai. Tapi di sisi lain, ada rasa curiga yang tak bisa ia abaikan. Beberapa minggu terakhir, sikap Wulan memang berubah. Dingin, cuek, tak lagi manja seperti dulu.
Ramli berdiri, mondar-mandir di ruang sempit itu. "Apa jangan-jangan... dia balik lagi sama mantannya?" pikirannya mulai liar.
Ia duduk kembali, menunduk lemas. Kepalanya penuh tekanan: istri tua yang tak bisa diceraikan, keluarga yang terus menuntut, dan kini... istri muda yang mulai menjauh.
"Astaghfirullah... apa ini semua karena aku khianatin Rukayah dulu... apa ini balasan buat aku?" lirihnya pelan.
Pikirannya kacau, hatinya gelisah. Bukan hanya karena Wulan belum juga pulang, tapi ada sesuatu yang jauh lebih berat menusuk relung hatinya.
Penyesalan.
Rasa bersalah terhadap Rukayah, istri pertama yang selama ini setia mendampinginya, mulai menekan dadanya tanpa ampun.
"Rukayah itu istri yang baik... dia nggak pernah ninggalin aku pas aku nggak punya apa-apa... dia yang bantu aku bangkit, rawat aku, bahkan tahan semua sikap burukku," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
Ia memejamkan mata, mengingat kembali wajah Rukayah yang dulu selalu tersenyum menyambutnya pulang kerja. Perhatian yang tulus, masakan hangat di meja, baju kerjanya yang selalu disetrika rapi. Semua kenangan itu kini menghantamnya seperti gelombang besar yang datang bertubi-tubi.
"Tapi aku... aku malah khianatin dia... demi apa? Demi janji manis dari seorang janda yang sekarang bahkan nggak bisa aku percaya."
Matanya mulai berkaca-kaca.
"Kalau waktu bisa diputar..." gumamnya. Tapi ia tahu, waktu tak pernah kembali