"Ambil saja suamiku, tapi bukan salahku merebut suamimu!"
Adara yang mengetahui pengkhianatan Galang—suaminya dan Sheila—sahabatnya, memilih diam, membiarkan keduanya seolah-olah aman dalam pengkhianatan itu.
Tapi, Adara bukan diam karena tak mampu. Namun, dia sudah merencanakan balas dendam yang melibatkan, Darren—suami Sheila, saat keduanya bekerjasama untuk membalas pengkhianatan diantara mereka, Darren mulai jatuh dalam pesona Adara, tapi Darren menyadari bahwa Adara tidak datang untuk bermain-main.
"Apa yang bisa aku berikan untuk membantumu?" —Darren
"Berikan saja tubuhmu itu, kepadaku!" —Adara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Lima Belas
Hari itu, matahari bersinar cerah di langit, tetapi dalam hati Darren, awan kelabu menggelayut. Dia berdiri di depan mikrofon yang terpasang di tengah ruangan konferensi pers, dikelilingi oleh ratusan pasang mata yang penuh rasa ingin tahu.Hotel W, dengan lantai marmer dan dinding yang dipenuhi lukisan modern, terasa menumpuk ketegangan yang tak bisa dihindari. Kegiatan sosial, prestasi bisnis, dan berita bahagia akan memeriahkan ruang ini, tetapi hari ini, Darren akan menghadirkan berita yang suram.
Darren menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detakan jantung yang berdentum layaknya genderang perang. Di sampingnya, banner besar bertuliskan "Darren Aditya" seolah menantang, memaksa perhatian semua orang, termasuk para wartawan yang siap dengan deretan pertanyaan tajam.
“Selamat pagi, teman-teman. Terima kasih sudah datang,” Darren membuka konferensi pers dengan suara yang sedikit bergetar. Dia berusaha menyembunyikan emosi di balik senyuman samar. “Saya tahu kalian pasti penasaran dengan kabar terbaru mengenai kehidupan pribadi saya.”
Suara jepretan kamera bergemuruh, menciptakan ritme yang tidak menyenangkan di telinganya. Wajah-wajah penasaran itu menggantikan kedamaian yang selama ini dia rasakan. Darren lalu meraih segelas air di sampingnya dan meneguk secepat mungkin, sebelum melanjutkan.
“Terdapat beberapa perubahan dalam rumah tangga saya dan Sheila, istri saya. Setelah melalui banyak pertimbangan, kami sepakat untuk berpisah. Kami merasa bahwa kami sudah tidak saling cocok lagi,” Darren mengucapkan kalimat itu dengan nada yang tegas namun lembut, seolah setiap kata yang dituturkan mengandung beban yang berat.
Ruangan hening sejenak, sebelum pertanyaan pun meluncur dengan cepat dari para wartawan.
“Darren, apakah ada faktor penyebab lain selain ketidakcocokan ini?” tanya seorang wartawan dengan wajah tajam, tidak mau kehilangan momentum.
Darren menggelengkan kepala, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Saya pikir, tidak ada alasan yang perlu dirincikan lebih lanjut. Kami hanya ingin saling menghormati satu sama lain, dan privasi adalah hal yang kami butuhkan saat ini.”
“Apakah ada kemungkinan kalian berdua akan kembali bersama?” Seorang wartawan lain melontarkan pertanyaan dengan rasa ingin tahu yang tetap mencolok.
“Saya tidak bisa menjawab itu,” Darren menjawab tegas, tapi tidak bisa menolak sedikit anggukan. “Saat ini, kami cuma ingin menjalani hidup masing-masing dan membesarkan anak kami, Fuji, dengan baik.”
Mendengar nama Fuji, deru angin seolah berhenti sesaat. Darren merasakan sebersit rasa bersalah menerpa hatinya. Fuji, putri mereka, adalah hal terpenting dalam hidupnya. Dengan keputusan ini, dia berharap kelak sang putri tidak merasakan dampak buruk dari perpisahan ini.
Darren pun melanjutkan, “Kami berdua akan tetap berkomitmen untuk menjadi orang tua yang baik. Fuji akan selalu menjadi prioritas kami.”
Pertanyaan berikutnya datang dari sudut ruangan. “Bagaimana reaksi Sheila terhadap keputusan ini? Apakah ia setengah-setengah atau mendukung?”
Darren terdiam sejenak. Baik Sheila maupun dirinya telah tahu bahwa akhir ini tidak bisa dihindari. Namun, kesepakatan itu bukan berarti semuanya berjalan mulus. Dalam benaknya, Darren membayangkan senyuman Sheila ketika mereka pertama kali bertemu, kenangan yang manis sekaligus pahit. "Sheila memahami keadaan ini. Kami sudah mendiskusikannya dan kami sepakat untuk menjalani ini dengan cara yang terbaik," jawabnya.
Setelah beberapa pertanyaan lainnya, konferensi pun berlanjut hingga akhir. terlalu sesak baginya untuk berbicara lebih banyak. Darren merasa seolah ingin berlari dari tempat itu, sembari merasakan peluh dingin menempel di dahi. Dia mengucapkan terima kasih kepada semua yang hadir dan pergi meninggalkan panggung.
Sebagai publik figur dia tak bisa gegabah bicara. Jika dia mengatakan Sheila berselingkuh, itu akan membuat daftar panjang pertanyaan wartawan. Darren tak mau menghadapi itu semua.
---
Setelah keluar dari ruangan, Darren menarik napas lega. Namun, saat matanya mencuri pandang ke arah kerumunan, banyak pembicaraan menjurus ke arah yang tidak diinginkannya. Itu terbaca jelas oleh teman-temannya, penasaran apa yang terjadi di balik pernyataan singkatnya tentang perpisahan itu.
Di luar, angin berhembus lembut, namun hatinya tetap terasa hangat dengan kenangan. Dia teringat saat awal mula bertemu dengan Sheila, tatapan tajam yang menyimpan banyak kisah. Tak pernah terpikir olehnya bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini.
“Si'al,” Darren menggumam sambil merangkul tubuhnya. Namun dunia luar terus berputar, seolah tidak peduli dengan hancurnya dunia pribadinya.
Di saat yang sama, ponselnya bergetar. Beberapa teks dari sahabatnya, Jojo, yang juga seorang aktor, masuk ke dalam notifikasi. “Kau baik-baik saja? Nanti kita ketemu ya? Kita bisa ngobrol.”
Darren membalas dengan cepat. “Aku akan ke kafe di sebelah hotel.”
Tepat sepuluh menit kemudian, Darren duduk di sudut kafe dengan segelas kopi hangat. Aroma kopi memenuhi ruang, mengusir sedikit gundah di benaknya. Dia melirik ke arah pintu, menunggu Jojo datang. Pertemuan mereka kali ini terasa berat. Darren tahu, hari ini bukan hanya cerita tentang perpisahan, tetapi juga pasti menelurkan berbagai spekulasi dan gosip di kalangan pers.
Jojo tiba dengan langkah cepat, ekspresi wajahnya berubah serius. “Darren, bro. Semua orang membicarakan ini. Miris melihat kalian berpisah. Apakah benar-benar tidak ada yang bisa diperbaiki?”
“Hanya kita yang tahu jawabannya,” Darren jawab dengan nada sabar, mencoba menegakkan pundaknya meskipun terasa sangat berat. “Aku sudah tak bisa bersamanya lagi. Perpisahan adalah jalan terbaik."
Jojo mengangguk, tampak memahami. “Tapi kau tahu, kabar-kabar itu bisa berakibat buruk. Mereka akan mencari tahu detail, bahkan bisa memicu rumor buruk.”
“Biarkan saja,” Darren memotong. “Aku sudah tidak mau terbebani oleh perkataan orang lain. Lagipula, hidup tidak berhenti di sini, kan?”
“Benar juga,” Jojo memberikan dukungan, meskipun sejatinya ia bisa merasakan kegundahan di hati sahabatnya. “Tapi kau harus tetap hati-hati. Peduli pada putrimu.”
Selama percakapan itu, pikiran Darren melayang dengan ingatan-ingatan lama. Dia harus menghadapi masyarakat yang menunggu berita selanjutnya, bahkan yang mungkin tidak pernah bisa sepenuhnya dia bicarakan. Pria itu lalu menyesap kopinya yang kini sudah dingin, padahal rasa pahit itu tidak sebanding dengan beban emosional yang ada di dadanya.
“Tapi kau pasti bisa, bro. Yang terpenting adalah perbaiki hubunganmu dengan Fuji. Kau harus lebih sering bersamanya saat ini. Pasti tak mudah dia beradaptasi tanpa sang mama." Jojo berkata lagi, memberi semangat.
Darren menganggukkan kepalanya pelan. Tanpa sadar, matanya menatap keluar jendela, menyaksikan orang-orang lewat dan lampu-lampu yang menyala di pinggiran jalan. Dia berdoa, semoga keputusan ini tidak merusak segalanya. Selain dirinya dan Sheila, ia berharap Fuji tak merasakan dampak buruk dari perpisahan ini.
“Mulai sekarang, aku akan selalu mencari waktu untuk lebih dekat dengan Fuji.Aku akan buat jadwal, agar meskipun kami terpisah, aku tetap ada untuknya,” ujar Darren, merasa keharuan mulai merasuki hatinya.
Setelah membicarakan banyak hal, keduanya berpamitan. Saat Darren keluar dari kafe, kegelapan malam mulai menyelimuti Jakarta. Kopi masih terasa pahit di mulutnya, tetapi di dalam hatinya, sebuah harapan baru mulai menyala.
Saat Darren akan meninggalkan kafe, dia mendapat pesan tak terduga. Pesan dari Sheila. “Kau sudah berbicara. Sudah saatnya nanti aku yang akan bicara. Secepat ini kau umumkan perpisahan, seolah kau sudah tak sabar jika orang tahu kau saat ini sudah menjadi Duda!"
kl mau pngsan,slakan aja....drpd mkin malu....😝😝😝
apa lg msing2 udh sling mngagumi,jd ga sulit lh y kl bnrn smp jdian....mskpn pst bkln ada yg gangguin.....