para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Gazebo yang luas itu telah dipenuhi oleh mereka. Duduk melingkar, menciptakan lingkaran konsentrasi. Di tengah lingkaran, Wati dan Arjuna berdiri tegang, siap memulai dialog. Arin, dengan ekspresi serius, berdiri di luar lingkaran, tangannya berada di pinggang, siap memberikan arahan.
"Action!"
"Sayang... aku sangat rindu padamu. Kita sudah lama tidak bertemu," Queen memulai dialog, mengusap keringat yang mulai membasahi dahinya. Suaranya terdengar sedikit gugup.
"Stop!" Teriak Arin, suaranya tajam. "Wati! lu kenapa lagi sih?!"
Wati hanya tertunduk, bibirnya pucat, keringat dingin membasahi keningnya. Tubuhnya gemetar.
"Ulang! Ulang dari awal!" Arin tampak frustrasi.
"Sayang... aku... sangat rindu..." Suara Wati terputus-putus, suaranya hampir tak terdengar. Ia tampak kesulitan mengucapkan dialognya.
"Apa-apaan ini, Wati?! Kenapa ! Lu ngantuk! Kenapa lu lemes banget?!" Arin semakin kesal.
"Ini semua gara-gara lu semalam kelayapan, Jun!"Ujar Arin. " Liat, Wati jadi lelah kayak gini kan! "
Arin menunjuk Arjuna dengan jari telunjuknya,ia meremas kertas dialog yang ada di tangannya. Dan menyalahkannya atas kondisi Wati yang tampak sangat lemah. Suasana latihan Reading berubah tegang.
Melihat situasi yang semakin memanas, Daffa dengan sigap menghampiri Wati. Sentuhan tangannya yang lembut di pundak Wati, menciptakan ketenangan di tengah badai amarah Arin. Semua yang ada di sana merasakan ketegangan yang menyesakkan.
Arjuna, tak terima dituduh, langsung melotot. "Kenapa jadi salah gue?! Gue udah bilang kita nyasar, bukan kelayapan!" suaranya meninggi.
"Anjing! Semua kalian!" Arin meledak, tatapannya tajam, menembus satu per satu wajah mereka. "Mana gue percaya?! Gak masuk akal!"
"Ancur! Semua ancur! Film kita gagal!" Arin mengacak rambutnya frustasi, kecewa yang mendalam terpancar dari sorot matanya. Besok syuting, tapi Reading saja belum siap.
"Arin! Kami nggak bo'ong! Kami memang nyasar! Emang gue pernah bohong sama lu?!" Queen membela, suaranya juga meninggi, menunjukkan rasa kesalnya.
Arin menggaruk kepalanya frustasi. Tatapannya kemudian tertuju pada Daffa. "Lu juga, Fa! Gimana sih?! Harusnya lu bimbing Wati dengan Reading-nya! Ini malah ancur semua!"
Daffa hanya menunduk, fokus menenangkan Wati yang terlihat semakin lemah. Queen menghampiri Wati, menyentuh keningnya. Wajahnya berubah khawatir.
"Wati demam! Badannya panas banget!" Queen memperbaiki sweater Wati dengan lembut.
"Gue bawa Wati ke kamar, ya," Queen dan Daffa, dengan hati-hati, membimbing Wati yang lemah menuju kamarnya.
Mata Arin menusuk Wati, dingin menusuk tulang. Kegagalan reading hari ini masih menggerogoti hatinya, apalagi Wati, bintang utama film mereka, tumbang karena sakit.
Arin hanya mampu menyaksikan, tatapannya tak berkedip, saat Daffa dan Queen menuntun Wati yang lemah masuk ke dalam rumah. Bayangan jadwal produksi yang tertunda, kerugian finansial, dan reputasi yang mungkin tercoreng memenuhi benaknya.
Kecewa, marah, dan cemas bercampur aduk menjadi satu simpul yang mengikat hatinya. Ia menggigit bibir, menahan amarah yang hampir meledak. Bisakah film ini tetap berjalan?
Di kamar, Queen membaringkan Wati dengan lembut, menutupinya dengan selimut tebal. Usapan lembut di kepala Wati, mencoba meredakan demam yang menggigit. Wati memejamkan mata, terlelap dalam tidurnya yang tak tenang. Queen dan Daffa keluar dari kamar, suasana hati mereka masih dipenuhi kekhawatiran.
"Lu punya obat penurun panas, nggak, Fa?"
Daffa menggeleng. "Nggak punya. Gimana kalau kita beli aja di warung? Kita cari warung terdekat,"
Queen mengangguk setuju. Ia kembali ke kamar mengambil ponsel dan uang. Mereka berjalan beriringan, kecanggungan masih sedikit terasa di antara mereka, namun diselingi rasa kekhawatiran yang sama.
Di gazebo, Fahri menatap mereka. "Kalian mau ke mana?"
"Mau cari obat buat Wati. Mau ikut?" Queen bertanya.
"Ogah! Gue capek. Mau istirahat aja," jawab Fahri acuh.
Queen mengangkat bahu, lalu pergi. Ini kali pertama Queen keluar dari rumah itu. Mereka memilih jalan setapak, jaraknya tak begitu jauh, hanya sekitar lima rumah dari tempat tinggal mereka. Keheningan menyelimuti langkah mereka.
"Setelah lulus, apa rencanamu?" Daffa bertanya, suaranya lirih.
Queen menatap langit biru yang luas, seperti lautan tanpa batas. "Gua ingin melamar kerja di stasiun TV terkenal, jadi bagian dari mereka," jawabnya, suaranya penuh semangat. "Kalau kamu...?"
Daffa menatap Queen sekilas, lalu tersenyum. "Gue.ingin jadi sutradara, sekaligus penulis naskah. Gue ingin buat film layar lebar, dan bisa dikenal banyak orang,"
Queen menatap Daffa, tatapan mereka bertemu. Ia merasa Daffa semakin menarik setelah banyak mengobrol.
"Wah... gue nggak tahu kalau lu ambisius juga, ternyata,"
Daffa mengusap tengkuknya, merasa sedikit malu. "Eh... gue perhatiin, walaupun siang, desa ini sepi banget, ya?"
Queen mengangguk. "Iya... aneh banget. Kita dari tadi nggak lihat orang sama sekali."
Mereka berbelok menuju sebuah warung kecil yang tampak usang, dindingnya terbuat dari papan kayu yang sudah lapuk dimakan usia. Atapnya terbuat dari seng yang berkarat, dengan beberapa bagian yang bocor.
Di depan warung, terdapat beberapa meja dan kursi plastik yang sudah pudar warnanya. Bau rempah-rempah dan sedikit aroma tanah basah tercium samar-samar. Di dalam warung, terlihat seorang nenek tua yang sedang asyik membaca koran, di tengah tumpukan barang dagangan yang terlihat tak begitu lengkap. Hanya ada beberapa kebutuhan pokok saja yang tertata rapi di atas rak-rak kayu yang sudah mulai rapuh.
Begitu mereka memasuki halaman kecil yang ditumbuhi rerumputan liar di depan warung, seorang nenek tua yang duduk di kursi usang di balik meja kayu langsung menatap mereka. Bukan tatapan biasa, tetapi tatapan yang aneh, penuh dengan kekhawatiran dan kecemasan yang tersirat jelas di balik kerutan wajahnya yang berkeriput.
Mata nenek itu, yang sayu dan redup karena usia, seakan menembus mereka, membaca sesuatu yang tak terlihat. Tangannya yang keriput dan penuh urat-urat biru, dengan sigap menutup koran usang yang baru saja dibacanya, gerakannya tergesa-gesa, menunjukkan betapa gelisah hatinya. Ia tampak seperti sedang menyembunyikan sesuatu, atau mungkin, menunggu sesuatu.
BERSAMBUNG....