Dipusingkan oleh pekerjaan, membuat Dakota Cynthia Higgins melampiaskan rasa lelah dengan bersenang-senang di club malam bersama teman. Dia yang sedang mabuk pun ditantang untuk menggoda seorang pria yang tak lain adalah Brennus Finlay Dominique.
Dalam kondisi terpengaruh alkohol, mabuk berat hingga kehilangan akal sehat, Dakota sungguh merayu Brennus hingga terjadi satu malam penuh tragedi. Padahal sebelumnya tak pernah melakukan hal segila itu dengan pria manapun.
Ketika sadar, Dakota benar-benar menyesal. Bukan akibat kehilangan mahkota yang selama ini dijaga, tapi karena pria itu adalah Brennus, salah satu keturunan Dominique. Di matanya, keluarga itu memiliki sifat menyebalkan.
Brennus berusaha untuk menerima segala konsekuensi atas apa yang terjadi malam itu, tapi ternyata Dakota tidak menginginkan hal serupa. Wanita itu sudah anti dengan keluarga Dominique.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NuKha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 15
“Apa kau masih lama di sini?” tanya Dakota. Brennus tak segera menyingkir juga dari hadapannya. Membuat ia kurang nyaman saja.
“Apa kau mengusirku?” Ada sedikit rasa tidak terima. Jauh-jauh dari Belanda, sengaja saat sampai Helsinki langsung menemui wanita yang sudah memenuhi seluruh pikiran, eh ... sekarang justru tidak diterima dengan baik.
Dakota lekas menggerakkan tangan sebagai tanda. “Tidak, bukan begitu. Tapi, aku belum makan siang. Jadi, kalau kau masih lama di sini, aku akan tinggal, begitu.” Ia segera menjelaskan sebelum salah paham.
“Oh ... ayo, ku temani. Kau mau makan apa?”
Saat itu juga tangan Dakota menepuk jidat. “Sepertinya aku salah berucap.” Bicaranya begitu lirih agar tak terdengar oleh Brennus.
“Dakota? Kau pusing?” Meletakkan papperbag yang Brennus sendiri sampai lupa untuk diberikan pertama. Ia mendekati wanita itu, meraih pundak untuk memastikan keadaan apakah baik-baik saja atau justru sebaliknya.
“Aku sehat.” Dakota menyingkirkan tangan yang menyentuhnya. “Tenang saja.”
“Ku pikir sakit, kau memegang kepalamu seperti itu. Jadi, khawatir.” Brennus mengamati terus wajah cantik itu. Sumpah, ia terpana, rasanya teringat jelas bagaimana adegan mereka berdua.
Dakota menghela napas lelah. Entah bagaimana caranya mengusir Brennus. Dia pusing sendiri. Lagi pula pria itu bagaikan lebah yang berputar disekitarnya. Membuat telinga berdenging karena terus mengajak mengobrol hal-hal tak penting, sampai pekerjaannya harus terjeda. Membuatnya takut juga disengat karena tatapan mata seakan mendambakan sesuatu darinya.
Memang paling benar adalah jauh-jauh dari keluarga berbahaya. Tapi, pengecualian untuk kerja di sana. Tidak ada perusahaan yang bisa menggajinya dua ratus ribu euro untuk sebulan. Dengan catatan minimal seminggu sekali harus pulang pergi ke pedesaan untuk menemui bosnya.
“Maaf, aku permisi. Jika kau masih mau di sini, silahkan saja.” Dakota buru-buru berdiri dan menyambar tas.
Kaki terbalut stiletto itu terayun melewati Brennus begitu saja.
Ketenangan Dakota terusik. Mau bekerja juga tak bisa jika ada lebah disekitarnya. Konsentrasi jadi buyar semua hanya karena satu pria yang terus berkeliaran di sekitarnya.
Kini ia berdecak, suara langkah kaki terdengar mengejarnya. Padahal Dakota sudah berusaha menunjukkan biasa saja di depan Brennus. Tidak terkesan mengungkit masalah malam itu. Dia sudah sengaja memperlihatkan bahwa baik-baik saja dan tidak masalah atas tragedi yang terjadi akibat ulahnya sendiri. Supaya tidak berurusan dengan keluarga Dominique, apa lagi harus menjalin hubungan dengan salah satunya.
“Kenapa kau meninggalkan aku?” Brennus berhasil menyusul dan kini ada di sebelah Dakota. “Jangan sendirian lagi, kalau kau mau makan, ku temani.”
“Oh, tidak perlu, Tuan. Aku terbiasa mandiri, sendiri juga berani,” tolak Dakota. Menekan tombol lift dan tatapan tertuju ke depan saja.
Mengabaikan Brennus, siapa tahu lelah sendiri dan pergi.
“Ini, tadi sebelum pulang, aku mampir ke store Louis Vuitton. Ingat dirimu, dan akhirnya beli ini. Semoga kau suka.” Dia mengulurkan papperbag yang sejak tadi dibawa. Tepat saat pintu lift terbuka.
“Aku tidak terima gratifikasi,” tolak Dakota. Masuk ke dalam lift dan masa bodoh pria itu mau tetap di sana atau ikut ke dalam. Berharapnya yang pertama, tapi tidak mungkin karena saat ini mereka sudah berdiri bersebelahan.
“Ini bukan hadiah dari hasil korupsi. Tapi, uang kerja kerasku selama ini.” Brennus masih menyodorkan dan belum diterima juga oleh Dakota.
“Wah ... terima kasih atas kebaikan hatimu. Tapi, maaf, aku alergi barang-barang mahal.” Asal saja mulut Dakota memberikan alasan penolakan. Untung saja ia sedang tak menyemprotkan parfum dari Brennus. Bisa-bisa langsung diskakmat oleh pria itu jika ketahuan menerima dan memakai luxury brand.