NovelToon NovelToon
Sukma Dukun Santet, Dalam Tubuh Detektif Tampan.

Sukma Dukun Santet, Dalam Tubuh Detektif Tampan.

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Mata-mata/Agen / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Roh Supernatural / Trauma masa lalu / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Yuni_Hasibuan

Tentang Dukun Santet Legendaris — yang berjaya dalam Mengusir Belanda, Tiga Abad Silam.
Tapi nasibnya berakhir tragis: dibakar hidup-hidup hingga arwahnya gentayangan

Sampai tahun 2025..
Jiwa LANANG JAGAD SEGARA:
tiba-tiba tersedot ke dalam tubuh ADAM SUKMA TANTRA, seorang INTERPOL Jenius, Muda dan Tampan.
Syarat tinggal di tubuh itu: cari dalang di balik pembunuhan Adam.

Maka dimulailah petualangannya menyelidiki kasus-kasus kriminal dengan cara aneh: Lewat Santet, Jimat Ghoib, dan Mantra Terlarang yang tak sesuai zaman. Tapi, justru cara kuno ini paling ampuh dan bikin partnernya cuma bisa terpana.

“Lho, kok jimatku lebih nendang daripada granat?!” — ujar Lanang, si Dukun Gaptek yang kini terjebak dalam lumpur misteri masa lalu.

Sanggupkah ia mewujudkan keinginan Jiwa asli sang pemilik tubuh?
Atau jangan-jangan justru terhantui rasa bersalah karena ternyata, penyebab Matinya Adam masih....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14. Pedangmu Haus Tumbal.

***

Sayangnya...

Ketenangan itu tidak berlangsung lama. Bryan mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres dalam diri Lanang. Sebuah desakan aneh, seperti rasa haus yang bukan berasal dari rasa haus biasa.

Energi gelap yang selama ini digunakan Lanang ternyata terlanjur menempel pada nadinya, meresap ke dalam sumsum, tetap ingin menuntut balas. Masalahnya, energi ini sudah tiga bulan tidak mendapat apa yang diinginkannya, yaitu darah musuh, khususnya pasukan Belanda. Tanpa itu, energi itu seperti kelaparan.

Efeknya langsung terasa. Tubuh Lanang bergetar tidak terkendali. Telapak tangannya terasa panas, dan dalam kegelapan, matanya memancarkan cahaya redup yang mengerikan. Bryan menyadari, ini bukan tentang kekuatan lagi. Ini tentang sebuah rasa lapar yang harus dipenuhi, dan Lanang sedang berusaha mati-matian untuk menahannya.

Ia mencoba menyalurkannya luapan energi itu pada hewan. Seekor ayam disembelihnya di bawah cahaya bulan purnama. Seekor kambing terjatuh dan meregang nyawa tanpa sebab yang jelas, hanya setelah disentuh oleh mantera pendek. Bryan menahan rasa mual yang menggumpal di kerongkongan, merasakan kepahitan setiap tetes darah yang menetes dan diserap oleh bumi yang gelap.

Namun, upaya itu hanya memberinya jeda sesaat. Suara dari dalam, suara entitas yang dulu ia ikat perjanjian, kembali berbisik laksana desis ular. Bisikannya merayap di tulang belakangnya. “Darah binatang terlalu tipis dan hina. Aku butuh jiwa. Jiwa manusia, bukan bangkai binatang!”

Lanang menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah. Bryan merasakan gelombang penolakan yang keras dan murni dari dalam jiwanya. Terdorong oleh rasa putus asa, Lanang pun mencari jalan lain. Ia mulai memburu orang-orang yang kerasukan, yang jiwanya telah dicaplok roh-roh liar dan gelap. Dengan kekuatan yang mengalir getir di nadinya, ia menyedot energi kotor dari tubuh mereka, lalu mempersembahkannya pada sang entitas. Orang-orang itu pun tersadar, kebingungan, seolah-olah baru disembuhkan dari penyakit berat.

Lanang menyebut metode barunya ini "Iblis Pelahap Iblis". Di dalam hati, ia merasa puas. Akhirnya, ia menemukan sebuah cara memuaskan sang Entitas, walau caranya gelap, tetap bisa menolong orang-orang di sekitarnya.

Tanpa disengaja, kabar tentang "kesembuhan" rakyat mulai menyebar.

Mereka pun mulai memanggilnya tabib sakti. Mereka berduyun datang, membawa sanak keluarga yang digerogoti sakit misterius, yang diganggu roh halus, atau yang menjadi korban santet.

Dengan berat hati, Lanang menaruh tangannya yang terasa membara pada pundak mereka, melantunkan japa mantra yang terasa pahit di lidah, dan, orang itu pun sembuh. Air mata kebahagiaan, ucapan terima kasih, dan sungkem dari mereka, Lanang terima d Han tangan terbuka.

Bryan merasakan ironi yang pedih menusuk dada. Ia tahu Lanang pun merasakannya. Apa yang mereka sebut sebagai mukjizat kesembuhan, hanyalah topeng untuk sebuah transaksi gelap.

Kegelapan dalam diri Lanang yang hanya sesaat bisa terpuaskan. Ia dipuja sebagai tabib, padahal sumber kekuatannya adalah sesuatu yang paling najis.

Suatu malam, usai "menyembuhkan" seorang pertapa tua yang salah merapal manta, Lanang menatap kosong pada tangannya sendiri yang seolah masih menyimpan bayangan hitam.

Bryan mendengar bisikannya yang pecah, larut dalam getir dan rasa jijik pada diri sendiri. “Beginikah takdir yang kupilih?Menjadi penolong, tetapi dengan tangan yang tak pernah benar-benar bersih?”

Dalam kesunyian yang menyertai pertanyaan itu, Bryan ikut merasakan kehampaan yang dalam, seakan ia ikut memikul beban dosa yang bukan miliknya, namun teramat nyata.

.

.

Gelombang ingatan berikutnya menyergap Bryan, menyeretnya ke sebuah dusun terpencil yang seharusnya tenang oleh damainya malam. Tiba-tiba, sebuah jeritan perempuan yang penuh kengerian terdengar memecah keheningan, menusuk telinga Bryan hingga ke tulang.

Dari kegelapan, kerumunan orang berlarian dengan obor yang berkobar, wajah mereka dipenuhi ketakutan. Di tengah lingkaran cahaya api yang menari-nari liar, terlihat seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun berguling-guling di tanah.

Mulutnya belepotan darah yang menghitam. Dan di sampingnya, terbujur kaku tubuh seorang perempuan yang ternyata adalah pengasuhnya. Leher pengasuh anak kecil itu terkoyak brutal hingga nyaris putus. Dan semua itu adalah ulah si anak kecil yang tengah kerasukan energi gelap.

Bryan tercekat, napasnya sesak. Bukan hanya oleh pemandangan mengerikan itu, tetapi karena ia bisa merasakan, kalau energi gelap terlalu familier, padat, dan ganas melingkupi tubuh bocah malang itu. Itu adalah energi yang sama persis yang bersemayam di dalam Lanang.

Lanang yang masih ngos-ngosan, wajahnya pucat bagai kain kafan, matanya membelalak dalam kepanikan yang tak terbendung. Rakyat berteriak memanggilnya, “Tabib! Tabib sakti! Tolong anakku!” Mereka berharap ia bisa melakukan “penyembuhan” ajaib seperti biasa.

Namun, begitu ia mendekat dan merasakan aura itu, sebuah realitas yang jauh lebih ngeri menyambar kesadarannya. Entitas yang merasuki bocah itu bukan sekadar roh liar, ia adalah serpihan energi buangan dari tubuhnya sendiri. Energi hitam yang selama ini ia coba tekan dan kendalikan, ternyata menemukan jalannya sendiri, mencari wadah lain untuk menyalurkan rasa lapar yang tak terpuaskan.

Bryan merasakan darah Lanang membeku seketika. Sebuah bisikan yang hampir tak terdengar, penuh horor dan pengakuan, keluar dari mulutnya. “Itu…berasal dariku.” Ucapan itu lenyap, ditelan oleh kegelapan malam yang semakin pekat.

Ritual pembalikan pun digelar dalam kepanikan. Obor-obor membentuk lingkaran yang mengurung anak itu, cahayanya melemparkan bayangan-bayangan liar yang seakan ikut menari-nari jahat. Mantra kuno dilantunkan dengan nada berat dan putus asa. Lanang duduk bersila di hadapan bocah itu, tangannya, yang biasanya menjadi sumber “kesembuhan”

kini gemetar tak karuan saat ditempelkan di dada kecil yang napasnya sesak dan matanya mendelik.

Bryan merasakan tarik-ulur energi yang dahsyat, betapa kerasnya Lanang berusaha menarik kembali racun kegelapan yang tanpa sengaja ia tebarkan itu, memaksanya masuk kembali ke dalam tubuhnya sendiri yang sudah sesak oleh beban. Setiap tarikan napas terasa seperti menyedot beling, ia terima dengan terpaksa dan menganggap itu sebagai hukuman yang ia terima dengan sadar penuh.

Namun entitas dalam diri Lanang menolak dengan garang, melawan dengan kelaparan yang membara. Anak itu berteriak, matanya putih, tubuhnya menegang. Hingga tiba-tiba, darah muncrat dari mulutnya.

Jerit tangis langsung pecah dari para perempuan bersamaan ketika bocah itu terkulai lemas. Dan menghembuskan nafas terakhirnya.

Bryan menahan napas. Ia merasakan perasaan bersalah Lanang merambat seperti racun. Bukan hanya karena gagal menyelamatkan sang anak, tetapi karena ia tahu, kematian itu terjadi akibat dirinya.

.

.

Sejak malam itu, Lanang tak lagi bisa tidur. Ingatan wajah bocah itu menghantui setiap kali ia memejamkan mata. Entitas dalam dadanya semakin keras berbisik.

“Darah anak itu terlalu muda. Kau butuh korban manusia… yang sepadan…”

Lanang menutup telinganya, menekan dada, mencoba menolak. Namun haus itu terus bertambah. Bryan bisa merasakan betapa putus asanya Lanang, hingga pada suatu malam ia mengarahkan sebilah keris ke dadanya sendiri. Berniat ingin bunuh diri.

“Jika ini satu-satunya jalan…” ucapnya, air mata jatuh di pipinya.

Namun sebelum bilah itu menembus dada, sebuah tangan keras menepis keti itu.

Dialah Saloka.

Bryan melihat pemuda itu berdiri, wajahnya tegas namun penuh luka batin. “Jangan gila, Lanang! Kau pikir dengan mati semua ini akan berhenti? Tidak! Kau hanya akan menyerahkan tubuhmu pada kegelapan itu sepenuhnya!”

Lanang terisak, bahunya bergetar, menunduk dalam rasa bersalah yang tak tertanggungkan.

Saloka mengguncang bahunya keras, sorot matanya tajam. “Kalau kau benar sahabatku, kau harus melawan! Jangan biarkan dirimu jadi alat setan.”

Bryan merasakan benturan dua dunia, seolah persahabatan yang masih tersisa, sementara tetap ada kegelapan yang terus menuntut korban.

***

1
Nana Colen
lanjut thooooor aku suka 😍😍😍😍😍
Yuni_Hasibuan: Sabar kakak...
OTW... Bruuummmmm...
total 1 replies
Nana Colen
lanjut thooooor❤❤❤❤🥰🥰
Yuni_Hasibuan: Terimakasih udah mau mampir kakak 🥰🥰🥰
total 1 replies
Maulana Alfauzi
Belanda memang licik
Yuni_Hasibuan: Liciknya kebangetan Bang.
total 1 replies
Maulana Alfauzi
hmm...
seru dan menyeramkan.
tapi suka
Maulana Alfauzi
Aku suka aja sama novel fantasi begini.
Maulana Alfauzi
Makasih up nya Thor.
semakin seru ceritanya
Yuni_Hasibuan: Makasih udah Mampir Bag.../Pray/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!