NovelToon NovelToon
Kintania Raqilla Alexander

Kintania Raqilla Alexander

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Diam-Diam Cinta
Popularitas:948
Nilai: 5
Nama Author: Lesyah_Aldebaran

Tidak semua cinta datang dua kali. Tapi kadang, Tuhan menghadirkan seseorang yang begitu mirip, untuk menyembuhkan yang pernah patah.

Qilla, seorang gadis ceria yang dulu memiliki kehidupan bahagia bersama suaminya, Brian—lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Namun kebahagiaan itu sekejap hilang saat kecelakaan tragis menimpa mereka berdua. Brian meninggal dunia, sementara Qilla jatuh koma dalam waktu yang sangat lama.

Saat akhirnya Qilla terbangun, ia tidak lagi mengingat siapa pun. Bahkan, ia tak mengenali siapa dirinya. Delvan, sang abang sepupu yang selalu ada untuknya, mencoba berbagai cara untuk mengembalikan ingatannya. Termasuk menjodohkan Qilla dengan pria bernama Bryan—lelaki yang wajah dan sikapnya sangat mirip dengan mendiang Brian.

Tapi bisakah cinta tumbuh dari sosok yang hanya mirip? Dan mungkinkah Qilla membuka hatinya untuk cinta yang baru, meski bayangan masa lalunya belum benar-benar pergi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lesyah_Aldebaran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab Empat Belas

Qilla menghela napas berat berulang kali. Setelah menyelesaikan sesi homeschooling-nya, sang ibu memintanya untuk mengantar bekal makan siang kepada calon suaminya di sekolah Bartles Grand School.

Padahal, Qilla sangat ingin bermain bersama teman-temannya. Namun, keinginannya itu tak diizinkan oleh orang tuanya yang terus menyuruhnya fokus pada hubungannya dengan calon suami.

Qilla dan Brian harus saling jatuh cinta terlebih dahulu jika belum, maka Qilla tidak diperbolehkan bersenang-senang seperti anak-anak lainnya.

Dengan wajah murung dan langkah malas, Qilla memasuki gerbang sekolah Bartles Grand School yang megah dan elite. Sekolah ini jauh berbeda dengan dunia Qilla yang masih lumayan sederhana. Di tangannya, dia membawa rantang makanan yang akan diantarkannya untuk Brian, seseorang yang telah mengubah hidupnya dengan cara yang tidak terduga. Qilla berharap hari ini bisa berjalan lancar, meskipun Qilla masih merasa sedikit canggung dengan situasi yang sedang dihadapinya.

Begitu memasuki area lapangan, Qilla langsung menjadi pusat perhatian. Banyak pasang mata tertuju padanya, dan para siswa mulai berbisik satu sama lain, menatapnya dengan rasa ingin tahu yang besar. Qilla merasa sedikit tidak nyaman dengan perhatian yang tiba-tiba ini, tapi dia mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya dan fokus pada tugasnya untuk mengantar makanan untuk Brian.

"Siapa dia, bro?" bisik seorang siswa pada temannya, sambil menatap Qilla dengan rasa ingin tahu.

"Entah, kayaknya murid baru deh. Baru pertama kali gue lihat dia di sini," jawab temannya.

"Kalau beneran murid baru, dia pasti bakal jadi pusat perhatian di sekolah ini. Wajahnya cantik banget, cocok jadi primadona di Bartles Grand School!" Mereka berdua terus berbisik, tidak menyadari bahwa Qilla sudah mendengar percakapan mereka.

Bisik-bisik kekaguman terus berdatangan, membuat pipi Qilla memerah karena malu. Dia mempercepat langkahnya sambil menunduk, berusaha menghindari tatapan-tatapan yang tertuju padanya. Qilla berharap bisa segera menemukan Brian dan menyerahkan rantang makanan itu, sehingga dia bisa keluar dari pusat perhatian yang membuatnya tidak nyaman ini. Dengan langkah yang semakin cepat, Qilla menyusuri lorong sekolah, mencari Brian di antara ruangan yang familiar baginya.

"Ish, sekolah ini kayak lapangan bola aja, luas banget!" Qilla mengeluh kesal sambil terus mencari Brian. Dari tadi gadis itu sudah berkeliling ke sana kemari, tapi masih belum juga menemukan pria itu.

Qilla merasa frustrasi karena tidak tahu pasti di mana kelas Brian berada. Dia berharap bisa segera menemukan Brian dan menyerahkan rantang makanan itu, sehingga dia bisa pulang dan beristirahat. Dengan napas yang sedikit berat, Qilla terus mencari, berharap Brian tidak terlalu sibuk hari ini.

Saat sedang bingung, seorang guru wanita menghampirinya dengan senyum ramah.

"Halo, Nak. Kamu sedang apa di sini? Ibu lihat dari tadi kamu keliling terus, kamu sedang mencari seseorang?"

Qilla menjawab sopan, "Iya Bu, saya lagi nyari kak Brian."

Guru wanita itu kembali bertanya, "Brian siapa, Nak? Di sekolah ini cukup banyak yang bernama Brian. Kamu tahu nama lengkapnya?"

Qilla terdiam, menggigit bibir pelan lalu menggeleng pelan. Dia tidak tahu nama lengkap calon suaminya itu, dan dalam hati Qilla menyesali karena tidak menanyakannya dulu kepada ibunya.

Guru wanita itu tersenyum dan bertanya, "Tapi kamu tahu wajahnya?"

Qilla mengangguk cepat. "Iya, saya tahu Bu."

Guru wanita itu mengangguk dan mengajak Qilla untuk mengikutinya. "Oke, bagus. Yuk, ikut Ibu. Kita cari satu per satu murid bernama Brian. Semoga salah satunya adalah yang kamu maksud."

Qilla mengikuti langkah sang guru dengan hati yang tidak menentu. Rasanya konyol harus mencari seseorang yang bahkan nama lengkapnya pun tidak dia tahu. Tapi entah kenapa, bagian dari dirinya ingin sekali bertemu Brian, meskipun pria itu jarang tersenyum padanya. Qilla berharap bisa segera menemukan Brian dan menyelesaikan urusannya.

"Brian yang pertama ini berada di kelas unggulan, ayo kita lihat dulu ke sana," ucap sang guru sambil berjalan menyusuri lorong sekolah, menuntun Qilla menuju kelas yang dimaksud.

Qilla mengikuti di belakangnya, jantungnya berdebar sedikit karena tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Qilla berharap Brian yang mereka cari adalah Brian yang benar-benar ia cari, sehingga dia bisa segera menyelesaikan urusannya dan pulang. Dengan langkah yang pasti, sang guru membuka pintu kelas dan mengintip ke dalam.

"Brian ada di sini?" tanyanya pada murid-murid di dalam kelas.

Seorang siswa laki-laki tinggi, berkacamata, dan berwajah dingin menoleh, menatap Qilla dengan sekilas sebelum bertanya, "Mencari saya, Bu?"

Sang guru mengangguk, "Iya, nak. Ini ada yang cari kamu."

Qilla langsung menggeleng cepat  "Bukan, Bu. Bukan dia."

Sang guru tersenyum kecil, tidak terkejut dengan reaksi Qilla. "Oh, baiklah. Kita ke ruang seni, di sana juga ada satu siswa bernama Brian."

Dengan senyum yang sama, sang guru memimpin Qilla keluar dari kelas dan menuju ke ruang seni, berharap Brian yang mereka cari ada di sana. Qilla mengikuti di belakangnya, masih belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Mata Qilla sesekali melirik ke kanan dan kiri, memandangi dinding sekolah yang dipenuhi lukisan dan piagam penghargaan. Suasananya benar-benar berbeda dengan rumah dan lingkungan belajar yang biasa gadis itu datangi, membuatnya merasa sedikit tidak nyaman. Mewah dan agak menakutkan, kata-kata itu terlintas di benaknya.

Mereka pun tiba di depan sebuah kelas, dan sang guru mengetuk pintu sebelum membukanya perlahan.

Seorang siswa laki-laki tinggi, berseragam OSIS, dengan mata tajam dan wajah tampan namun berwajah dingin, menoleh ke arah mereka. "Sedang mencari sesuatu, Bu?" tanyanya dengan sopan.

Sang guru mengangguk, "Iya, nak Brian. Ini ada yang cari kamu."

Brian memandangi Qilla dengan wajah yang datar, tidak menunjukkan ekspresi apa pun. "Saya tidak mengenalinya, Bu," katanya singkat.

Qilla langsung menggeleng cepat. "Bukan, Bu. Bukan dia." Sang guru menoleh ke arah Qilla dan tersenyum.

"Oh, baiklah. Kita ke ruang Kimia, di sana juga ada satu siswa bernama Brian."

Dan begitu seterusnya, Qilla harus menyusuri gedung demi gedung, ruangan demi ruangan, hanya untuk memastikan satu hal: Brian yang mana?

Sampai akhirnya mereka tiba di belakang gedung utama, di sebuah lapangan yang lebih sepi dan jauh dari hiruk pikuk siswa lainnya. Ada satu kelompok siswa laki-laki sedang bermain basket dengan santai, dan di antara mereka mata Qilla langsung menangkap sosok yang sangat dia kenal. Jantungnya berdebar sedikit saat Qilla melihat Brian yang sedang bermain basket dengan gerakan yang lincah dan percaya diri.

Qilla tidak perlu ragu lagi, ini adalah Brian yang dia cari. Sang guru tersenyum dan mengangguk, seolah tahu bahwa pencarian mereka akhirnya menemukan titik terang. "Nah, sepertinya kita sudah menemukan yang kamu cari, Nak," katanya dengan senyum.

"Iya, Bu," balas Qilla dengan senyum malu-malu, merasa sedikit gugup karena akhirnya bertemu dengan Brian.

Sang guru memanggil. "Brian!"

Brian yang sedang bermain basket langsung menoleh, dan keningnya mengernyit begitu melihat Qilla berdiri di sana dengan sang guru. Pria tampan itu segera menghentikan permainannya dan berjalan mendekat, tatapan matanya tidak lepas dari Qilla.

"Ada yang ingin menemui kamu," kata sang guru, mempersilakan Brian untuk mendekat. Brian berjalan dengan langkah yang santai namun penuh rasa ingin tahu, hingga akhirnya dia berdiri di depan Qilla. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Brian, suaranya datar namun ada sedikit kesan penasaran.

Qilla menunduk, menyodorkan rantang yang sedari tadi dia bawa dengan tangan yang sedikit gemetar. "Ibu nyuruh aku antar ini. Kamu belum makan, kan?" katanya dengan suara yang lembut, berharap Brian tidak marah karena Qilla datang tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Rantang makanan itu tampak sederhana, namun Qilla yakin bahwa ibunya telah memasak dengan cinta dan perhatian yang besar.

Brian memandang rantang itu sejenak sebelum mengambilnya dari tangan Qilla. "Belum," jawabnya singkat, tidak banyak bicara seperti biasanya.

Qilla mengangguk, merasa lega karena tugasnya sudah selesai. Namun, gadis itu tidak langsung pergi, seolah menunggu Brian mengatakan sesuatu atau melakukan sesuatu yang membuatnya merasa lebih nyaman.

Sang guru yang masih di sana pun berpamitan karena masih ada kelas yang ingin diajar. "Baiklah, Ibu pamit dulu, ya," ucap sang guru sambil tersenyum kepada mereka.

Qilla membalas dengan ekspresi polos. "Eh, terima kasih banyak, Bu! Kalau Ibu nggak nolongin tadi, mungkin sekarang aku masih keliling sekolah ini dan belum juga ketemu Kak Brian." Sang guru tertawa kecil mendengar ucapan Qilla yang jujur itu.

"Oh, sama-sama, Nak. Sekolah ini memang luas banget. Bisa-bisa kamu jadi penghuni tetap kalau nggak ketemu Kak Brian," balas sang guru sambil terkekeh. Qilla tersenyum malu-malu.

Sang guru kemudian bertanya lagi, "Oh iya, Ibu hampir lupa bertanya tadi, kamu murid baru di sekolah ini?"

Qilla menggeleng pelan dengan cepat. "Ah, bukan kok, Bu."

Sang guru mengangguk, senyum masih menghiasi wajahnya. "Oalah, kirain anak baru. Soalnya auramu tuh... Aura anak nyasar yang butuh pertolongan darurat," ujarnya sambil terkekeh, membuat Qilla nyengir dan pipinya memerah karena malu.

Brian yang dari tadi hanya diam, tidak bisa menahan tawanya lagi dan memalingkan wajahnya ke samping.

Setelah berpamitan sekali lagi, sang guru pun beranjak pergi, meninggalkan Qilla dan Brian dalam suasana yang agak canggung. Qilla merasa sedikit tidak nyaman dengan keheningan yang menyelimuti mereka berdua.

1
kalea rizuky
orang kaya pasti demi harta biar g kemanaa tuh makanya di jodoin sedari kecil hadeh pak buk egois demi harta anak di korban kan meski akhirnya cinta klo enggak apa gk hancur masa depan anak katanya orang kaya tp kayak orang desa aja kelakuan
kalea rizuky
panass
kalea rizuky
koo ortunya ijinin anak nya nikah muda pdhl orang kaya knp thor
kalea rizuky
meleleh ya qil/Curse//Curse/
kalea rizuky
jd mereka uda nikah g ada flashback nya apa thor
wait, what?
yah, belum lanjut kah? :(
wait, what?
Ditunggu lanjutannya yaa kak
wait, what?
rekomendasi banget sih untuk kalian baca, seruu banget
wait, what?
seruuuu banget, aku sangat suka sama cerita nya. Ditunggu kelanjutannya
Shoot2Kill
Thor, jangan bikin kami tidak bisa tidur karena ingin tahu kelanjutannya 😂
Shion Fujino
Menyentuh
Mabel
Wah, cerita ini anjreng banget! Pengen baca lagi dan lagi!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!