Hulya Millicent harus terjebak dalam obsesi cinta seorang bos mafia. Dia bahkan tidak tahu kalau dirinya telah dinikahi oleh sang mafia semenjak usianya baru 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 : Merindukanmu
...•••Selamat Membaca•••...
“Setelah aku pikir-pikir, lebih baik aku menemui Marchel saja Dexter, apapun masalahnya, jika terus lari, itu tidak akan selesai.”
Pagi ini Dexter sarapan di apartemen Hulya, dia menanyakan kesiapan Hulya untuk bersembunyi di apartemennya.
“Jika terjadi sesuatu yang buruk padamu, beritahu saja aku.”
“Tenang saja, terima kasih ya.”
Hulya bersiap untuk pergi ke butik, dia juga telah menyiapkan mental untuk bertemu dengan Marchel jika memang Marchel datang hari ini.
Sore menjelang, Marchel belum sampai sama sekali, tidak ada tanda-tanda kalau Marchel akan menemui dirinya. Hulya kembali ke apartemen dengan perasaan lega, dia mengunci apartemen itu.
Selesai mandi dan sudah merasa fresh, Hulya bersantai di ruang nonton sambil memakan keripik yang dia beli semalam.
Di Cafe Frederic, duduk saling berhadapan antara Marchel dan Dexter, mereka memang saling berteman satu sama lain tapi tidak terlalu akrab, sebatas teman bisnis saja. Dexter menceritakan apa yang telah Tifani lakukan pada Hulya dan Marchel, pria itu terisak karena kembali terbayang bagaimana dia menyiksa Hulya malam itu.
“Aku benar-benar menyesal Dexter, aku tidak bisa berpikir jernih kala itu, aku hampir membunuh istriku dan sekarang dia malah meninggalkan aku tanpa menoleh sedikitpun ke belakang lagi,” sesal Marchel.
“Temui lah dia secara baik-baik, aku yakin kalau di hatinya masih ada cinta untukmu dan aku juga bisa melihat kerinduan di mata Hulya saat aku menyebut namamu, Marchel.”
“Baik, aku akan menemui dia dan untuk Tifani—” Marchel mengeraskan rahangnya.
“Tifani biar menjadi urusan ku, tolong jangan sakiti dia,” pinta Dexter.
“Oke, aku menghargai mu, urus dia dan jangan sampai dia mengusik aku lagi.”
Mereka mengakhiri obrolan yang lumayan panjang tersebut, Marchel singgah dulu ke toko cokelat, karena Hulya itu pecinta cokelat.
“Marchel, aku ingin bicara denganmu,” sapa Tifani yang tiba-tiba memegang lengannya, Marchel mendorong tubuh Tifani dengan kasar, emosinya memuncak ketika melihat Tifani.
“Mau apalagi kau sialan?”
“Aku tau kalau Dexter sudah menceritakan semuanya padamu Marchel, kali ini tolong dengarkan penjelasan dariku, aku mohon.” Karena mereka sedang berada di tempat umum, Marchel memilih untuk menuruti Tifani agar tidak terjadi keributan di sana.
Mereka menuju mobil, Tifani memasuki mobil Marchel, langit sudah mulai gelap dan cuaca sedikit mendung. Baru saja Tifani akan bersuara, sebuah tamparan kuat dan jambakan dia terima dari Marchel.
“Malam itu bahkan aku tidak mendengarkan penjelasan dari istriku terlebih dahulu, jadi sekarang, aku tidak memiliki alasan untuk mendengarkan penjelasan darimu jalang sialan, keluar dari mobilku sebelum aku membunuhmu dan mengingkari janjiku pada Dexter,” tekan Marchel dengan emosi tertahan, matanya dipenuhi dengan kebencian luar biasa pada Tifani.
Tifani mulai menangis, tatapannya seakan memohon rasa iba dari Marchel, tapi sayang, Marchel bukan orang yang mudah luluh dengan wanita.
“Tolong dengarkan aku Marchel.”
“Malam itu istriku juga ingin berkata begitu, tapi aku malah menyiksa dan menceraikannya.”
“Akh.” Marchel mendorong tubuh Tifani sehingga kepalanya terbentur dashboard mobil, Tifani langsung memeluk Marchel sambil terus menangis histeris.
“Diam lah brengsek, kau menarik perhatian orang-orang sialan,” umpat Marchel ketika banyak orang yang melihat ke arah mobilnya.
“Tolong maafkan aku, dengarkan penjelasanku Marchel.”
“Lepaskan aku, kau tidak punya malu ya.” Marchel berusaha melepaskan dirinya dari Tifani dan matanya tertuju pada sosok perempuan yang sangat dia cintai.
Hulya bisa melihat dengan jelas Tifani memeluk Marchel di dalam mobil, karena mobil itu terparkir tepat di depan toko dan Hulya akan memasuki toko tersebut. Cukup lama Hulya terpaku sebelum akhirnya dia memasuki toko tersebut.
“Kenapa rasanya sangat sakit ya?” gumam Hulya dalam hati sambil memegang dadanya.
“Lepaskan aku,” kata Marchel lalu memelintir lengan Tifani, pelukan itu terlepas dan Marchel keluar dari mobilnya menyusul Hulya.
Mantan istrinya itu sedang memilih beberapa cokelat, Marchel menghampiri Hulya dan memeluknya, melepaskan kerinduan yang terpendam selama ini.
“Marchel, apa-apaan ini, orang-orang melihat kita.”
“Aku tidak peduli Hulya, aku merindukanmu.”
“Iya lepas dulu, kita bisa bicara di rumah nanti, jangan begini.” Marchel melepaskan pelukannya dari Hulya.
“Lebih baik kita pulang sekarang Hulya, aku membelikan kamu cokelat tadi, tidak perlu membelinya lagi.”
Mata Hulya berbinar, dia tersenyum senang bagai anak kecil, hal ini yang membuat Marchel begitu merindukan sosok Hulya.
“Oke ayo, aku memang ingin sekali makan cokelat, itu kenapa aku ke sini.” Marchel tersenyum, dia menggenggam tangan Hulya dengan erat dan menuju mobil, di dalam mobil itu masih ada Tifani dan Hulya menghentikan langkahnya.
“Oh iya, aku ke sini tadi naik taksi, kamu lebih baik pulang sama Tifani dan ikuti saja taksiku.” Hulya mengetahui itu adalah Tifani dari foto yang pernah Dexter perlihatkan.
“Tidak bisa begitu, kamu ikut denganku Hulya, wanita sialan itu biar pulang sendiri.”
“Mulut kamu Marchel, menyakitkan sekali.”
“Oke maaf.” Marchel membuka pintu lalu menarik kuat Tifani keluar dari mobilnya.
Awalnya Tifani memang berontak tapi dia tidak bisa berbuat banyak saat melihat tatapan tajam dari Marchel. Mobil Marchel melesat pergi dari sana menuju apartemen Hulya, mereka memasuki apartemen tersebut.
“Kamu sudah makan? Tadi aku masak dan belum makan.”
“Ya, aku lapar, aku rindu masakan kamu, Hulya.” Hulya menyiapkan makanan untuk Marchel dan dirinya, mereka makan malam dengan tenang tanpa membahas apapun, suasana cukup canggung.
Marchel menitikkan air matanya ketika melihat Hulya makan dengan lahap, di bagian tulang selangka, rahang dan kening Hulya terlihat memar dan bekas luka yang tersebab oleh dirinya dulu.
“Apa ini masih sakit?” tanya Marchel dengan suara bergetar, menahan tangisnya sambil menyentuh tulang lebam Hulya.
“Sudah tidak sakit lagi.” Hulya tersenyum.
Wanita itu sengaja menyambut hangat Marchel untuk menghindari sesuatu buruk terjadi, dia tahu siapa Marchel, pria itu tidak akan memaksakan kehendak jika Hulya terlihat patuh dan menurut padanya, seakan Hulya bisa mengendalikan suaminya itu.
Selesai makan, mereka duduk di ruang tamu sambil menonton televisi, ingin sekali Marchel memeluk wanita itu dan bermesraan.
“Boleh aku tidur di sini?” tanya Marchel.
“Ya boleh, tapi kamu jangan macam-macan ya,” ujar Hulya mewanti-wanti.
“Aku tidak akan macam-macam padamu, hm... kenapa kamu malah ke kota ini Hulya? Kamu benar-benar ingin meninggalkan aku?” tanya Marchel yang begitu penasaran.
“Aku hanya ingin menenangkan pikiranku Marchel, tidak lebih. Jika aku masih terus berada di dekatmu, aku akan semakin mengingat kejadian itu.” Marchel menggenggam tangan Hulya.
“Tolong beri aku kesempatan lagi Hulya, aku berjanji akan menjagamu dengan baik, aku tidak akan berlaku kasar lagi padamu dan aku akan mendengarkan setiap penjelasanmu.” Jujur saja, Hulya masih belum bisa menerima Marchel, dia masih terlalu takut untuk menjalin hubungan dengan Marchel kembali.
“Maaf Marchel, untuk saat ini mungkin aku belum bisa menerima kamu,” jujur Hulya dan Marchel terlihat begitu kecewa.
“Sampai kapan Hulya? Aku tidak sanggup jauh darimu seperti ini, aku selalu merindukanmu.”
“Bagaimana jika malam itu kau benar-benar membunuhku Marchel? Kita tidak akan pernah bertemu lagi,” kata Hulya dengan mata yang merah karena menahan tangis.
“Aku minta maaf Hulya, aku sungguh menyesal.”
“Malam itu jika aku minta maaf, kamu tetap tidak akan memaafkan aku kan.” Marchel memejamkan matanya, dia sangat terluka jika mengingat hal itu.
“Aku mencintai kamu Marchel, tapi tolong beri aku waktu untuk menerima semua ini, please.”
“Aku akan menunggumu Hulya.” Marchel membawa Hulya dalam pelukannya, Hulya memejamkan mata sembari menghirup aroma tubuh Marchel.
“Aku rindu dengan aroma tubuhmu ini, Marchel,” ujar Hulya dalam pelukan mantan suaminya itu.
“Aku juga Hulya, aku sangat merindukanmu.”
...•••BERSAMBUNG•••...