Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panunggaling Sukmo
Sementara di sisi lain kota, Martin van der Spoel memutuskan untuk meninggalkan pesta begitu melihat Sumi pulang, ia kehilangan minat pada jamuan yang semakin malam semakin riuh itu.
Beberapa orangtua Eropa mulai mengerumuni Martin, memperkenalkan putri-putri mereka dengan antusiasme yang terlalu kentara.
Bisik-bisik tentang kekayaan keluarga van der Spoel semakin jelas terdengar, bahkan tanpa berusaha disembunyikan.
Van Reijden sendiri sudah berkali-kali mencoba mengarahkannya pada putri Asisten-Residen dari Semarang—gadis berpipi merah yang tertawa terlalu keras dan selalu menyentuh lengan Martin saat berbicara.
"Maaf, Tuan Van Reijden," Martin akhirnya berkata setelah gelas sampanye keempatnya, "saya rasa saya harus pulang. Kepala saya mulai pusing."
"Tapi pesta baru saja dimulai, Tuan van der Spoel!" protes Van Reijden. "Nona Elisabeth bahkan belum sempat menunjukkan kemampuan pianonya!"
Martin tersenyum tipis, matanya melirik gadis Belanda yang dimaksud—yang kini sedang mempersiapkan diri di sudut ruangan, di depan piano besar.
"Mungkin lain kali. Saya benar-benar tidak enak badan."
Setengah jam kemudian, kereta kudanya sudah melaju meninggalkan rumah Karesidenan. Martin memijat pelipisnya yang berdenyut.
Baru sebulan kembali ke Hindia, tubuhnya belum beradaptasi dengan baik. Udara tropis yang panas dan lembap membuatnya terus berkeringat.
Begitu tiba di rumah, Martin segera memerintahkan pelayan menyiapkan air dingin untuk mandi.
Ia melepaskan pakaiannya dengan tergesa—jas, rompi, kemeja, dan seluruh atribut formal yang terasa mencekik—dan melemparkannya sembarangan ke atas ranjang.
Kamar mandi rumah keluarga van der Spoel adalah salah satu kemewahan modern yang hanya bisa ditemui di rumah-rumah elit.
Didesain mengikuti gaya Eropa dengan bathub porselen besar, lengkap dengan shower bergaya Inggris.
Martin mencelupkan kakinya ke dalam bathtub berisi air dingin, lalu perlahan merendamkan seluruh tubuhnya.
Sensasi dingin seketika menyegarkan kulitnya yang kepanasan. Ia menghela napas lega, merasakan ketegangan perlahan meninggalkan ototnya yang lelah.
Berendam dalam air telah menjadi kebiasaan Martin sejak kecil. Tidak seperti kebanyakan orang Eropa yang takut air, Martin justru merasa air memberikannya energi baru.
Di Leiden, ia sering menghabiskan berjam-jam berendam di bathub apartemennya setelah seharian berkutat dengan buku-buku tebal di perpustakaan.
"Tuan muda perlu sesuatu lagi?" tanya Naryo yang berdiri di ambang pintu dengan handuk bersih di tangan.
"Tidak, terima kasih. Kau bisa istirahat," jawab Martin tanpa membuka mata.
Setelah Naryo pergi, Martin menyandarkan kepala ke tepian bathub yang dingin. Aroma sabun lavender yang dibawanya dari Belanda memenuhi ruangan.
Kombinasi efek alkohol, kelelahan, dan air yang menenangkan membuat kelopak matanya semakin berat.
Perlahan, Martin terlelap dalam posisi setengah duduk di dalam bathup.
Dan kemudian, mimpi itu datang dengan cepat, membawanya ke tempat yang terasa familiar.
Pepohonan tinggi yang berdesir ditiup angin, dan suara air yang beriak pelan. Dalam remang-remang malam, ia melihat perempuan berdiri membelakanginya.
Perempuan itu mulai melucuti pakaiannya satu persatu. Pertama selendang yang menutupi bahunya, lalu kebaya yang membungkus tubuh rampingnya.
Dengan gerakan yang anggun namun sensual, jari-jari lentiknya membuka ikatan kain yang melilit pinggangnya, hingga akhirnya ia berdiri tanpa sehelai pun benang, memamerkan setiap lekuk yang membuat Martin kesulitan menelan ludah.
Pemuda itu terpaku, tak mampu mengalihkan pandangan. Ada daya tarik magis dari sosok itu, sesuatu yang membuatnya tak bisa bergerak maupun berbicara—hanya mengamati dari kejauhan.
Kemudian, bisikan itu muncul—suara pria tua yang berbisik tepat ke telinganya, namun anehnya, lehernya kaku, tak bisa melihat siapa yang ada di belakangnya.
Hee … Martin van der Spoel ....
Sun awe-awe soko kadohan
Sun cekel sukmamu sing lagi lelana
Sun tuntun marang dalan kang wis tinatah
Hee ... sukma lanang sing durung manggih jodho
Iki dina ketemu garising lelakon
Wadon ayu sing sun pilih kanggo sliramu
Sukma loro dadi siji ing banyu kang suci
Hee ... banyu Kedung Wulan, dadi seksi panunggaling sukma
Bulus keramat dadi pangiket janji
Anakmu mengko bakal miyos saka banyu lan lemah
Lemah sing wis nampani getih suci
Hee ... Martin van der Spoel lan Raden Ayu Sumi
Sukmamu wis dadi siji ing alam antara
Ragamu durung gathuk nanging wis kapasthi
Wijine wis tumiba ing papan kang bener
Sun putus aji panunggal sukma
Sak lir kumandhanging angin
Sak geter lemah teles
Sak langgeng jagad gumelar
Hai ... Martin van der Spoel
Aku memanggil dari kejauhan
Aku pegang sukmamu yang sedang mengembara
Aku tuntun ke jalan yang sudah ditakdirkan
Hai ... sukma lelaki yang belum menemukan jodoh
Hari ini bertemu dengan garis takdirmu
Perempuan cantik yang kupilih untukmu
Dua sukma menjadi satu dalam air yang suci
Hai ... air Kedung Wulan, jadi saksi penyatuan sukma
Bulus keramat menjadi pengikat janji
Anakmu kelak akan lahir dari air dan tanah
Tanah yang sudah menerima darah suci
Hai ... Martin van der Spoel dan Raden Ayu Sumi
Sukmamu sudah menjadi satu di alam antara
Ragamu belum bertemu tapi sudah dipastikan
Benih sudah jatuh di tempat yang benar
Aku lepaskan ajian penyatuan sukma
Sejauh kumandang angin
Sekuat getaran tanah basah
Seabadi jagad semesta
Seolah terhipnotis, Martin mengikuti bisikan itu, kakinya melangkah sendiri menembus keremangan.
Ia kini bisa melihat sebuah struktur batu kuno dengan undakan tangga yang mengarah ke sebuah kolam air besar—sendang yang dikelilingi bebatuan berlumut.
Perempuan itu perlahan menuruni undakan tangga, kulitnya berkilau diterpa cahaya senja keemasan, menciptakan siluet yang membuat jantung Martin berdebar kencang.
Tanpa sadar, ia pun mengikuti, langkahnya ragu-ragu namun terdorong oleh hasrat yang tak ia pahami.
Air sendang yang gelap menelan perempuan itu hingga sebatas pinggang. Ia berbalik perlahan, dan Martin akhirnya melihat wajahnya—Raden Ayu Sumi Prawiratama.
Namun bukan Sumi yang ia temui di pesta tadi, melainkan versi yang lebih bebas, lebih liar, dengan tatapan yang mengundang.
Martin melangkah menuruni undakan tangga, tangannya terulur, meraih bahu Sumi yang basah dan berkilau disorot cahaya senja.
Lambat-lambat menyusuri kulitnya terasa dingin namun lembut. Tanpa kata, Martin membungkuk, bibirnya menemukan bibir Sumi dalam remang cahaya.
Tubuh mereka menyatu, tenggelam bersama ke dalam air sendang yang dingin namun anehnya terasa intim dan menenangkan, tenggelam lebih dalam ke kegelapan yang memabukkan.
Martin tersentak bangun, refleks menarik udara sebanyak mungkin, air bathub terciprat ke segala arah. Napasnya tersengal-sengal dan terbatuk, jantungnya berdebar kencang seperti akan meledak.
Ia menatap sekeliling dengan panik, memastikan dirinya masih berada di kamar mandi rumahnya, bukan di sendang misterius dalam mimpinya.
Martin mengerjap beberapa kali, mengusap wajahnya yang basah. Namun secara perlahan, rasa panik itu mereda, digantikan oleh sensasi aneh yang menyenangkan.
Bibirnya melengkung membentuk senyuman saat kelebatan mimpi itu memenuhi pelupuk matanya.
Tidak seperti mimpi-mimpi buruk tentang sendang yang biasa menghantui, mimpi kali ini terasa ... menyenangkan.
Ada kehangatan yang tersisa. Martin menyentuh bibirnya sendiri, masih bisa merasakan sensasi ciuman dalam mimpinya—dingin namun membakar, asing namun familiar.
kui mangunthalan
😁
konflik makin rumit bila
Martin terus mendekati ndoro ayu Sumi
tapi ya sama Martin aja wis
Raden Soedarsono lepasin saja
banyak istrii ,jarene tresno
ndoro kanjeng Raden ayu ndesak trs
sopo eruh seng mandull kui malah Soedarsono
gk apa2lah jadi janda kamu juga orang kaya,dan ada mas martin yang keyeng sama kamu