NovelToon NovelToon
Dibuang Mokondo Diambil Pria Kaya

Dibuang Mokondo Diambil Pria Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Anak Lelaki/Pria Miskin / Playboy
Popularitas:865
Nilai: 5
Nama Author: manda80

"Sella jatuh hati pada seorang pria yang tampak royal dan memesona. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa kekayaan pria itu hanyalah kepalsuan. Andra, pria yang pernah dicintainya, ternyata tidak memiliki apa-apa selain penampilan. Dan yang lebih menyakitkan, dia yang akhirnya dibuang oleh Andra. Tapi, hidup Sella tidak berakhir di situ. Kemudian dirinya bertemu dengan Edo, seorang pria yang tidak hanya tampan dan baik hati, tapi juga memiliki kekayaan. Apakah Sella bisa move on dari luka hatinya dan menemukan cinta sejati dengan Edo?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Selamatkan Dirimu!

Waktu yang tersisa di jam digital kecil itu terasa seperti benda raksasa yang jatuh langsung ke dada Sella. Dua puluh sembilan detik. Kemudian dua puluh delapan. Dentingan mekanis yang mematikan itu menjadi satu-satunya suara di antara keheningan mencekam di ruangan.

“Bom? Kau sudah gila, Andra! Apa maksudmu ini?” Sella menjerit, ketakutan luar biasa membuat lututnya lemas. Ia melangkah mundur, menabrak punggung Edo. Aroma amarah dan adrenalin memenuhi udara.

Edo tidak panik, tetapi matanya memindai ruangan, menghitung setiap sudut, mencari potensi risiko dan peluang. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan Sella tanpa mengalihkan perhatiannya dari Andra.

“Dua puluh lima detik, Edo,” Andra tertawa kering. “Kau kan CEO, seharusnya pintar berhitung. Nyawa Bibi Dinar, data berharga triliunan, dan hidup Sella ada di tanganku. Hanya Sella yang kuminta. Kau sudah punya segalanya, Edo. Tinggalkan dia, dan kau akan mendapatkan kuncimu kembali. Win-win solution.”

“Kau memang sampah, Andra,” desis Edo, suaranya sangat rendah dan berbahaya. “Kau menjebak Sella, mengambil hartanya, lalu membuangnya. Dan sekarang, kau berpikir bisa mendapatkan dia kembali dengan trik murahan seperti ini?”

“Bukan trik murahan. Ini negosiasi yang seimbang. Kau sangat peduli padanya, kan? Jelas dia berlian bagimu, seperti katamu! Nah, tunjukkan! Biarkan aku pergi dengannya, atau berlianmu itu akan melihat tantenya meledak di depan matanya!” Andra memiringkan kepalanya, senyum sinisnya mengundang rasa jijik yang mendalam.

Dinar, yang terikat di kursi, mulai meronta. Matanya yang memohon tertuju pada Sella.

“Sella, jangan dengarkan dia! Pergi! Selamatkan dirimu!” pinta Dinar, suaranya teredam tali yang melilitnya.

“Dengar tuh, Dinar bilang jangan dengarkan dia,” ejek Andra, melirik Bibi Dinar dengan mata tajam. Dia mendekatkan tangannya yang memegang flashdisk ke tombol peledak di telapak kirinya. “Delapan belas detik.”

Sella memejamkan mata, trauma masa lalu menyeruak. Dia melihat kembali semua kebodohannya, semua pengorbanannya demi pria di depannya ini, pria yang tidak pernah peduli sedikit pun padanya. Andra tidak pernah mencintai Sella; dia hanya mencintai apa yang bisa ia peroleh dari Sella.

“Aku sudah bukan milikmu, Andra,” ujar Sella dengan suara bergetar, tetapi penuh tekad. Ia melangkah maju sedikit, mengabaikan tarikan tangan Edo. “Aku sudah selesai denganmu. Kau tahu aku sudah tahu kau itu apa. Penipu, tidak punya apa-apa selain kebohongan.”

Wajah Andra berubah dari sinis menjadi marah. “Kau berani mengataiku seperti itu? Setelah semua yang aku lakukan untukmu? Aku memberimu kemewahan! Aku.”

“Kau memberiku penderitaan! Kau menghancurkan kehidupanku!” potong Sella, air matanya mulai menggenang. “Aku lebih baik mati di sini daripada kembali bersamamu! Kau tidak pernah menjadi berlian, Andra! Kau hanya kotoran!”

Ucapan Sella menyengat Andra. Amarahnya menguasai dirinya, melupakan skenario negosiasi. Tepat pada saat itu, Edo melihat celah. Waktu menunjukkan sepuluh detik.

“Dengar, Andra,” kata Edo cepat. “Kau mau dia, dan aku mau kuncinya. Aku berikan uang yang jauh lebih banyak daripada yang kau bayangkan untuk kabur. Jauhkan bom itu, beri aku kunci, dan kau bebas membawa Sella. Aku tidak akan mengejarmu.”

Andra tampak bimbang sejenak, keserakahan beradu dengan kemarahannya yang tersulut oleh Sella. “Kau serius?”

“Aku serius,” tegas Edo. “Sekarang. Kita tidak punya waktu. Delapan detik.”

Tiba-tiba, suara retakan keras terdengar dari jendela depan. Tim Hartono di luar mulai melakukan penyerbuan awal, melepaskan tembakan gas air mata untuk membubarkan penjagaan tim pengawas Edo yang mungkin bersembunyi di kejauhan, sekaligus memberi sinyal serangan mereka.

Situasi memburuk dengan cepat. Enam detik.

“Aku tidak percaya padamu, Edo!” seru Andra panik. Ia tahu kesempatannya untuk negosiasi habis. Dia menoleh ke Sella dengan tatapan yang sepenuhnya putus asa. “Kau yang memulai ini! Kalian berdua yang memaksaku!”

Dengan kecepatan yang hanya bisa dimiliki seorang CEO yang terbiasa bergerak dalam tekanan tinggi, Edo melesat. Dia tahu tidak ada waktu untuk tawar-menawar. Tiga detik.

“Andra, minggir!” teriak Edo sambil menerjang ke arah Andra. Tangannya yang terlatih bergerak untuk meraih pergelangan tangan Andra, bukan untuk mengambil flashdisk, tetapi untuk menjauhkan ibu jari Andra dari tombol peledak yang ia genggam.

Satu detik.

Pergumulan singkat itu membuat mereka berdua tersandung, menjatuhkan Andra ke belakang kursi kayu. Flashdisk itu terlepas dari genggaman Andra, terpental meluncur ke lantai yang gelap, menjauhi jangkauan mereka berdua. Edo berbalik, fokus pada Bibi Dinar.

Hitungan mundur jam digital kecil di bawah kursi Dinar mencapai nol.

Lampu kecil di jam itu berkedip hijau, bukan merah seperti yang diharapkan Sella dan Andra. Suara bip panjang menggantikan dentuman yang mereka antisipasi.

Andra menatap perangkat itu dengan kaget, wajahnya memucat. “Tunggu, bukan ledakan?”

“Tentu saja bukan,” jawab Edo, kini ia mengambil napas lega, meskipun matanya masih penuh waspada. “Hartono tidak akan sebodoh itu memasang bom beneran. Itu hanya pemantik. Pengalih perhatian. Dia tahu Andra pengecut dan pasti akan menggunakan ini untuk memancingku. Bom sungguhan hanya akan menghancurkan aset yang dia incar: Kunci digitalnya.”

Meskipun bom itu palsu, alarm yang diciptakan Andra berhasil menarik Hartono. Tiba-tiba, pintu depan didobrak dengan sekali tendangan yang sangat kuat. Pintu kayu itu jatuh ke lantai dengan suara berderak.

Empat pria berseragam hitam, dipimpin oleh Hartono yang berwajah beringas, menyerbu masuk, senjata otomatis di tangan mereka terarah ke pusat ruangan. Senter-senter tajam menyorot wajah Edo dan Sella.

“Edo! Akhirnya kau keluar dari sarangmu!” Hartono tertawa bengis. “Anggota Operatif Delta, amankan target! Kunci itu harus kembali pada kita. Dan bawa wanita itu, dia jaminan yang bagus!”

Hartono menunjuk Sella, yang kini berdiri membeku ketakutan di samping Edo. Edo tahu, mereka kini tidak lagi bernegosiasi dengan seorang mokondo gila. Mereka berada di bawah todongan senjata profesional yang siap membunuh.

Edo segera menarik Sella erat-erat, tangannya menyentuh pistol di pinggangnya, sementara pandangannya mencari flashdisk yang terlempar di kegelapan.

“Cepat, Sella! Ke belakangku!” desak Edo.

Sebelum Sella sempat bergerak, salah satu tim Hartono menembakkan tembakan peringatan ke atas. Peluru itu bersarang di langit-langit, menjatuhkan debu dan puing. Hartono maju satu langkah.

“Menyerahlah, Edo. Kau sendirian di sini,” ancam Hartono.

Tiba-tiba, di tengah kegaduhan itu, Andra yang tadinya terbaring lemas, bergerak cepat seperti ular. Ia meluncur di lantai, menjangkau flashdisk kecil itu di bawah meja kopi.

“Dia punya kuncinya!” teriak Hartono. Tembakan lain dilepaskan, kali ini bukan peringatan.

Edo harus memilih, melawan tim bersenjata yang mengepung, atau membiarkan Andra kabur dengan aset yang menjadi alasan ia berada di sini. Dengan satu tarikan napas, Edo membuat keputusan, kepalanya menoleh ke arah sumber tembakan itu, matanya berkilat tekad. Dia mengangkat kedua tangannya perlahan ke atas.

“Baiklah, aku menyerah,” ujar Edo dengan suara keras, memastikan semua orang mendengarnya.

Hartono menyeringai penuh kemenangan. Namun, saat perhatian semua orang tertuju pada Edo yang tampak menyerah, Andra tiba-tiba bangkit, flashdisk di tangan, dan dia tidak berlari ke arah Hartono, tetapi justru ke arah jendela belakang. Ia melompat menembus kaca jendela itu dengan sekali gerakan.

“TANGKAP DIA!” teriak Hartono murka. Dua anak buahnya segera berbalik untuk mengejar Andra, meninggalkan Edo dan Sella di dalam ruangan yang kini dipenuhi oleh tim Hartono yang lain.

Edo tersenyum kecil. Ia telah mengorbankan asetnya, membiarkan Andra lolos demi mengalihkan perhatian Hartono. Tepat pada momen itulah, Edo dengan cepat menyambar Sella dan menariknya ke arah Bibi Dinar yang masih terikat. Saat itu juga, tembakan yang seharusnya ditujukan pada Andra meleset dan menghantam bahu Edo, membuat tubuhnya terhuyung.

“Edo!” Sella menjerit ngeri. Darah langsung merembes di kemeja putih mahal yang dikenakan Edo. Dia baru saja tertembak.

1
Titi Dewi Wati
Jgn percaya sepenuhx dgn laki2, kita sebagai perempuan harus berani tegas
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!