Amelia ,seorang janda yang diceraikan dan diusir oleh suaminya tanpa di beri uang sepeserpun kecuali hanya baju yang menempel di badan ,saat di usir dari rumah keadaan hujan ,sehingga anaknya yang masih berusia 3 tahun demam tinggi ,Reva merasa bingung karena dia tidak punya saudara atau teman yang bisa diminta tolong karena dia sebatang kara dikota itu ,hingga datang seorang pria yang bernama Devan Dirgantara datang akan memberikan pengobatan untuk anaknya ,dan kebetulan dia dari apotik membawa parasetamol ,dan obat itu akan di berikan pada Reva ,dengan syarat ,dia harus mau menikah dengannya hari itu juga ,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekacauan karena ulah viona.
Keesokan harinya, saat Amelia sedang rapat virtual dengan vendor di ruang kecil, Viona masuk tanpa permisi dan “tanpa sengaja” mencabut kabel internet.
Layar laptop Amelia mati. Suara vendor terputus.
“Oops,” kata Viona, pura-pura kaget. “Listrik mati, ya?”
Amelia menatapnya. “Kabelnya dicabut, Mbak.”
“Ah, mungkin kendor. Kan kabel lama.”sahut viona dengan santainya ,sekolah olah dia tidak melakukan apa apa
Ruang kecil itu tiba-tiba terasa seperti kuburan. Udara yang tadinya hanya dingin karena AC kini menusuk tulang, seolah membekukan setiap tetes keringat di dahi Amelia. Matanya menyipit, menatap Viona yang berdiri di ambang pintu dengan senyum tipis ,senyum yang selalu dipakai wanita itu saat merasa menang. Senyum palsu yang menyamar sebagai kepolosan.
“Kabelnya dicabut, Mbak,” ulang Amelia pelan, suaranya rendah tapi tajam seperti pisau cukur.
Viona mengangkat bahu, tangan kanannya masih memegang ujung kabel LAN yang baru saja ia cabut. “Ah, mungkin kendor. Kan kabel lama.” ia masih mengulang katanya dengan tertawa kecil, nada suaranya dibuat-buat seperti sedang menghibur anak kecil yang marah karena mainannya rusak.
Amelia menahan napas. Ia tahu ini bukan pertama kalinya. Bukan kedua. Bukan bahkan kelima. Ini sudah puluhan kali,Viona selalu punya cara untuk membuatnya terlihat bodoh, ceroboh, atau tidak kompeten di depan orang lain. Dan kali ini, di tengah rapat penting dengan vendor luar negeri yang menentukan kelangsungan proyek besar perusahaan, Viona memilih waktu yang sempurna untuk menghancurkan kredibilitasnya.
“Mbak tahu ini rapat penting, kan?” tanya Amelia, suaranya mulai bergetar bukan karena takut, tapi karena amarah yang ditahan terlalu lama.
“Tentu tahu,” jawab Viona sambil berjalan masuk, meletakkan kabel itu seenaknya di atas meja kecil di samping laptop Amelia. “Tapi aku juga tahu, kamu selalu minta ruangan ini sendirian. Padahal masih banyak ruang rapat lain. Egois banget sih, Amelia.”
Amelia menggigit bibir dalam. Ia tahu Viona sedang memutar balik fakta. Ruang kecil itu memang favoritnya karena kedap suara dan tidak sering dipakai. Tapi Viona sengaja mengatakan itu seolah-olah Amelia merebut hak orang lain.
“Kalau Mbak butuh ruangan, tinggal bilang. Aku pasti kasih.”
“Ah, iya-iya. Kamu selalu bilang begitu. Tapi kenyataannya?” Viona menyilangkan tangan, matanya menyipit penuh ejekan. “Kamu selalu jadi pusat perhatian. Rapat, presentasi, bahkan waktu makan siang semua orang selalu nanya, ‘Amelia gimana? Amelia setuju nggak? Amelia bisa bantu nggak?"
Amelia menatap lurus ke mata Viona. “Karena aku bekerja, Mbak. Bukan cuma berdiri di depan cermin kantor sambil ngomongin orang.”
Wajah Viona langsung memerah. Senyumnya menghilang, digantikan oleh garis tegas di bibir yang menandakan amarah. Tapi ia cepat menyembunyikannya, mengganti ekspresi dengan tawa dingin.
“Kerja? Kamu pikir cuma kamu yang kerja di sini? Aku sudah di perusahaan ini sejak kamu belum ada , Amelia. Aku tahu seluk-beluk perusahaan ini lebih dari kamu yang cuma bisa ngomong manis dan pamer hasil orang lain,dan pasti kamu menjilat pada pimpinan perusahaan.”
Amelia menghela napas. Ia sudah lelah. Lelah dengan permainan kecil-kecilan Viona yang tak pernah berhenti. Lelah dengan tuduhan tanpa bukti. Lelah dengan kebencian yang tak pernah dijelaskan.
“Kalau Mbak merasa aku curang, laporkan ke HR. Kalau Mbak merasa aku ambil hak Mbak, ajukan protes resmi. Tapi jangan - jangan pernah lagi ganggu pekerjaanku dengan cara murahan seperti ini.”
Viona mendekat, suaranya berbisik tapi menusuk. “Kamu pikir aku takut sama HR? Aku punya hubungan dengan orang-orang yang bisa bikin kamu dipecat hanya dengan satu telepon. Tapi aku belum lakukan itu karena aku masih kasihan.”
Amelia tertawa pendek, getir. “Kasihan? Mbak kasihan sama aku? Atau Mbak takut kalau tanpa aku, proyek ini bakal hancur dan nama Mbak ikut tercoreng?”
Viona terdiam sejenak. Matanya berkilat. Itu jawaban yang tak pernah diucapkan, tapi selalu menggantung di udara setiap kali mereka bertemu. Viona memang takut. Takut kehilangan tempatnya. Takut Amelia yang muda, cerdas, dan punya visi akan menggantikannya sebagai kepala divisi.
Tapi Viona tak akan mengakuinya. Ia hanya mengangkat dagu, lalu berbalik pergi sambil melemparkan kalimat terakhir yang penuh racun.
“Semoga vendor-nya nggak marah. Tapi yah, siapa tahu? Mungkin mereka sudah tahu kamu cuma bisa jual muka, bukan hasil kerja.”
Pintu dikunci dari luar.
Amelia terdiam. Tangannya gemetar. Ia menatap layar laptop yang masih hitam. Rapat itu sudah berakhir. Vendor pasti mengira ia tidak profesional. Atau lebih buruk tidak kompeten.
Ia menarik napas dalam, lalu mencolokkan kembali kabel internet. Layar menyala perlahan. Email masuk. Satu. Dua. Tiga.
#Apakah semuanya baik-baik saja, Amelia?
Kami kehilangan koneksi tiba-tiba ?
Mohon konfirmasi apakah rapat bisa dilanjutkan besok ? #
Amelia mengetik balasan dengan tangan yang masih bergetar. Ia menjelaskan bahwa ada gangguan teknis tak terduga, dan meminta maaf atas ketidaknyamanan. Ia tidak menyebut nama Viona. Karena ia tahu jika ia melakukannya, Viona akan balik menuduhnya sebagai orang yang suka mengadu, tidak dewasa, atau tidak bisa menyelesaikan masalah sendiri.
Tapi malam itu, Amelia bersumpah dalam hati: ini akan berakhir.
Keesokan harinya, suasana kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Viona berjalan dengan langkah angkuh, menyapa rekan kerja dengan senyum manis yang dibuat-buat, sementara matanya terus mengawasi Amelia dari kejauhan. Ia tahu Amelia pasti kesal. Tapi ia juga tahu Amelia tidak akan berani melawan terang-terangan. Karena Amelia anak baik, penurut, suka mengalah.
Tapi Viona salah.
Saat jam makan siang, Amelia tidak pergi ke kantin seperti biasa. Ia tetap di mejanya, menatap dokumen proyek dengan mata tajam. Dan ketika Viona lewat sambil membawa kopi secangkir kopi mahal yang selalu ia pamerkan sebagai simbol status Amelia berdiri.
“Mbak,” panggilnya, suaranya cukup keras untuk didengar beberapa rekan di sekitar.
Viona berhenti, alis terangkat. “Ada apa?”
“Tentang kemarin,” kata Amelia, tenang tapi tegas. “Aku sudah laporkan ke IT. Mereka bilang kabel itu tidak kendor. Bahkan, kabel itu sengaja dicabut dengan paksa ada bekas lipatan dan sobekan kecil di ujung konektornya.”
Wajah Viona langsung pucat. Tapi ia cepat menyembunyikan rasa paniknya dengan tawa. “Laporan ke IT? Seriusan? Kamu pikir mereka percaya kamu?”
“Bukan soal percaya atau tidak,” potong Amelia. “Tapi soal bukti. Dan kamera keamanan di lorong itu merekam semuanya.”
Viona membeku. Matanya membelalak. Ia lupa ada kamera di depan ruang rapat kecil itu.
Amelia mendekat selangkah. “Aku tidak akan laporkan ke atasan. Tapi mulai hari ini, Mbak jangan pernah ganggu aku lagi. Karena kalau Mbak lakukan sekali lagi aku tidak akan diam.”
Viona ingin membantah. Ingin menertawakan. Tapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Ia melihat sesuatu di mata Amelia yang belum pernah ia lihat sebelumnya: bukan kemarahan, bukan dendam tapi tekad.
Dan itu membuatnya takut.
Ia berbalik pergi tanpa kata, kopi di tangannya tumpah sedikit karena tangannya gemetar.
Amelia duduk kembali, napasnya panjang. Ia tahu ini belum selesai. Viona tidak akan menyerah begitu saja. Tapi untuk pertama kalinya, Amelia merasa ia punya kekuatan untuk melawan.
Di sudut ruangan, seorang rekan kerja tersenyum kecil. Ia sudah lama tahu betapa jahatnya Viona. Tapi tak ada yang berani bicara. Sampai hari ini.
Dan mungkin hari ini adalah awal dari akhir kekuasaan Viona.
Tapi Amelia juga tahu Viona bukan tipe yang menyerah tanpa pertarungan terakhir. Dan pertarungan itu, pasti akan lebih kejam dari sebelumnya.
Namun kali ini, Amelia siap.
Karena ia sudah lelah menjadi korban.
Dan ia tidak akan membiarkan siapa pun ,terutama Viona menghancurkan masa depannya dengan cara murahan lagi.
malam pertama nya
apakah Devan akan ketagihan dan bucin akut... hanya author yg tau...