NovelToon NovelToon
Senja Di Tapal Batas (Cinta Prajurit)

Senja Di Tapal Batas (Cinta Prajurit)

Status: sedang berlangsung
Genre:Dark Romance / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cintapertama / Mengubah Takdir
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: khalisa_18

Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.

Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.

Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke Lebanon, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.

Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sumpah dan janji sang letnan

Pagi itu, Jakarta seolah mematung dalam keagungan. Udara dingin yang menusuk tulang tak mampu membekukan bara di dada para perwira remaja. Di hadapan Istana Merdeka yang megah, sejarah seolah menahan napasnya. Langit hari itu adalah kanvas yang dilukis dengan kuas takdir, mendung tipis bergelayut manja, seolah sengaja menaungi, menjadi tameng surgawi agar mentari tak terlalu pongah membakar semangat yang baru mekar. Ini bukan sekadar upacara, ini adalah penobatan jiwa, pelantikan sumpah yang akan terukir abadi di garis tangan Ibu Pertiwi.

Di antara barisan tegap yang membelah keheningan, berdiri tegaklah ia, Letnan Dua Kalea Aswangga. Namanya seperti gema di lembah Aceh, darahnya yang ia yakini mengalirkan sungai kehormatan dan pengabdian, dan tatapannya adalah janji yang takkan pernah lapuk. Hijabnya, kain penutup kepala yang suci, tak hanya membingkai wajahnya yang kini tampak tirus namun anggun, tetapi juga menegaskan keyakinan dan prinsipnya, sebuah perpaduan sempurna antara disiplin militer yang kaku dan kearifan budaya yang lembut.

Ia adalah Taruni peraih Anindya Wiratama, penghargaan tertinggi yang mewakili puncak dari segala peluh, air mata, dan ketidak nyamanan selama empat tahun di kawah candradimuka. Sebuah pencapaian yang hanya bisa diraih oleh jiwa yang benar-benar ditempa hingga sekeras berlian. Sorot mata seluruh tamu, dari pejabat tinggi negara hingga keluarga terkasih, jatuh kepadanya, seolah ia adalah poros semesta pada detik penobatan itu.

Kalea mengucap sumpah setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suaranya mantap, membelah udara pagi, namun batinnya adalah badai sunyi, bergejolak dalam pertempuran pribadi. Di matanya, terbayang siluet seseorang yang duduk di kursi kehormatan tamu undangan.

"Bang Byan," bisik batin Kalea, tanpa suara, sebuah komunikasi telepatis yang hanya mereka berdua yang pahami. "Lihatlah, hari ini, gadis kecil yang dulu kau bawakan tas sekolahnya dengan tangan baja, kau gendong ketika gelap pekat merajam, kau obati setiap luka goresan hidup, kau peluk ketika rapuh tak terkira. Gadis itu kini berdiri sebagai seorang perwira yang berani menghadang dunia, tanpa lagi menjadikanmu tameng. Aku telah belajar berjalan di atas bara tanpa perlu takut kakiku melepuh."

Ia menyentuh lencana perwira di dadanya, terasa dingin dan berat, seberat tanggung jawab yang kini ia sandang. Rasa syukur dan cinta tak bersuara itu mengaliri nadinya, khusus tertuju pada kakak laki-laki yang ia anggap segalanya, Kapten Byantara Aswangga.

"Kita memang tidak dilahirkan dari rahim yang sama. Aku bahkan tidak pernah yakin seberapa banyak darah Aceh yang mengalir dalam urat nadiku, darah yang sesungguhnya takdirkan aku dan kau terpisah dari norma. Tapi yang pasti, di setiap denyutan darahku, mengalir sumpah setia pada negeri di mana aku dibesarkan, pada tanganmu yang pertama kali mengenalkanku pada dunia, yang memberi arah dengan tegas dan tanpa kompromi," gumam batinnya.

Darah Aswangga, nama besar yang ia sandang, kini adalah simbol yang lebih dari sekadar keturunan yang penuh misteri. Ia adalah sumpah.

Kalea menatap Sang Saka Merah Putih yang berkibar gagah, seolah bendera itu adalah saksi bisu atas ikrar yang jauh lebih personal. "Di bawah langit ini, di hadapan bendera yang agung, aku bersumpah, kau adalah Abangku. Selamanya.

Mencintaimu lebih dari sekadar seorang saudara adalah dosa besar yang akan kujauhkan, yang akan kupagar dengan disiplin dan etika militer. Aku melepasmu dengan segala hormat, dengan empati setinggi angkasa raya. Kau, Bang Byan, abangku tercinta, satu-satunya saudaraku. Kelak Tuhan pun tahu, kita tidak akan bertemu dalam ikatan pernikahan yang haram, melainkan dalam ikatan persaudaraan yang erat, lebih kuat dari simpul tali yang mengikat Sang Saka hari ini."

Batin Kalea menggaris bawahi tekad itu, sebuah manifesto jiwa yang baru ia selesaikan.

Ia tersenyum tipis, sebuah senyum kemenangan atas dirinya sendiri, sebuah kemenangan atas gejolak hatinya yang pernah melampaui batas.

Namun, yang tidak ia sadari hari itu adalah bahwa di antara ratusan mata yang mengagumi peraih Anindya Wiratama itu, ada sepasang mata elang yang memandang dengan cinta yang murni dan tulus, tanpa beban masa lalu, tanpa sekat norma yang menekan. Ia adalah Letnan Dua Muhammad Ramdan Ragatav Altavian. Ramdan berdiri di barisan perwira undangan. Matanya memancarkan kebanggaan yang tak terlukiskan, seolah dunia berkonspirasi untuk mempertemukan takdir mereka di bawah naungan kehormatan yang sama. Jantung Ramdan berdegup kencang, menanti saat yang tepat untuk memberikan ucapan selamat yang telah ia siapkan selama berbulan-bulan.

Setelah upacara sakral yang meremukkan hati sekaligus membanggakan itu usai, barisan dibubarkan. Lapangan upacara yang tadinya penuh ketegangan kini riuh rendah dengan haru dan tawa. Ini adalah momen sakral, di mana disiplin militer melebur sejenak dengan kehangatan keluarga.

Kalea bergerak cepat, instingnya membawanya menuju keluarganya. Langkah pertamanya menuju sang Ibu. Ia langsung menundukkan kepala, mencium punggung tangan ibunya, lalu turun, mencium kaki sang ibu yang telah menapaki ribuan langkah doa untuknya. Tangis haru yang ditahan selama empat tahun tumpah, bukan tangis kesedihan, melainkan tangis pelepas rindu yang membebaskan.

Sang Ayah, seorang Purnawirawan berpangkat Letnan Kolonel yang raut wajahnya selalu tegas dan penuh wibawa, kini hanya mampu menepuk bahu Kalea beberapa kali. Tepukan itu adalah bahasa cinta seorang tentara, padat, singkat, namun penuh makna. "Kau berhasil, Nak. Gelar perwira itu pantas kau sandang. Kau adalah Letda kebanggaan Ayah."

Byantara, Kapten keluarga Aswangga yang karismatik, tak mampu menahan diri. Ia menarik gadis itu ke dalam pelukan yang erat, pelukan seorang kakak yang telah menyaksikan perjalanan adik perempuannya dari nol hingga mencapai puncak.

"Akhirnya kau menggapai mimpimu, Kalea. Mimpi yang kau ukir dengan darah, keringat, dan air mata di lembah Tidar. Kau adalah perwira emas," bisik Byantara.

Kalea, dengan sisa-sisa disiplin yang melekat erat di sarafnya, refleks mundur selangkah, melepaskan pelukan Byantara. Ia memberi hormat dengan tegap, hormat yang kini bukan lagi hormat seorang Taruna kepada Perwira, melainkan hormat seorang Letnan Dua kepada Kapten.

"Siap! Izin mengucapkan Terima kasih, Komandan! Atas motivasi dan doa komandan adalah amunisi terbaik saya selama di Akmil!"

Ayah, Ibu, dan Byantara meledak dalam tawa renyah. Tawa itu memecah ketegangan, membawa keceriaan hakiki ke tengah lapangan yang sakral.

Tawa Byantara mereda, ia memasang wajah serius yang dibuat-buat, mata Kaptennya menyipit jahil. "Baik, Letda Kalea! Sebagai junior di rumah, kau harus menjalani hukuman. Turun! Push-up seratus kali. Sekarang!"

Kalea, tanpa berpikir dua kali, langsung mengambil posisi. Disiplin telah mengakar dalam sumsum tulangnya hingga batas kesadaran. Ia mulai menghukum dirinya, menganggap perintah itu adalah perintah resmi dari seorang atasan.

Byantara hanya menggelengkan kepala, terkejut sekaligus bangga akan kepatuhan adiknya yang total dan soldier on.

"Sudahlah! Berdiri!" Byantara segera menarik Kalea, yang baru melakukan sekitar sepuluh kali push-up dengan formasi sempurna, kembali ke dalam pelukannya. "Ini hanya candaan! Jangan terlalu kaku, Letda. Ingat, kau akan tetap jadi perwira junior di rumah, Kalea. Tidak akan pernah kau memerintahku, bahkan jika kau kelak menjadi Jenderal sekalipun. Di rumah, aku adalah Komandan utamamu."

"Siap, Bang! Perintah dilaksanakan!" jawab Kalea, kini benar-benar tersenyum, senyum yang menunjukkan kelegaan batin.

"Letda Kalea Aswangga."

Suara bariton yang dalam, penuh wibawa, memanggil dari belakang mereka. Keempatnya serentak berbalik. Di sana, berdiri seorang pemuda gagah, dengan seragam dinas harian (PDH) yang necis, membawa seikat bunga mawar merah menyala, warna yang melambangkan keberanian dan cinta. Ia adalah Letnan Dua Muhammad Ramdan Ragatav Altavian.

Ramdan, tanpa melupakan etika dan jenjang kepangkatan, terlebih dahulu memberi hormat kepada Ayah Kalea dan Byantara. Lalu, Kalea membalas hormat Ramdan dengan tegap, hormat seorang junior kepada seniornya.

"Tidak perlu terlalu formal, Letnan. Hari ini adalah harimu, hari pelantikanmu," ujar Ramdan, senyumnya hangat, seraya menyerahkan buket mawar itu pada Kalea.

Kalea segera mengambil inisiatif memperkenalkan, suaranya mengandung nada kebanggaan yang tak bisa ia sembunyikan. "Pa, Ma, Bang Byan, kenalkan. Beliau Letnan Dua Muhammad Ramdan Ragatav Altavian. Ketika aku berada di Tingkat I dulu, beliau adalah Taruna Tingkat III. Beliau yang membimbing dan mengarahkan saya di Akmil, senior saya yang paling disegani."

"Ah, rupanya kau yang dimaksud oleh Kalea dulu. Pleton bimbingannya," ujar Byantara, tatapannya tajam namun ramah, mengamati sosok Ramdan yang penuh percaya diri.

"Siap, Kapten. Betul," jawab Ramdan singkat.

"Kau membuatnya takut, Kapten Byantara Aswangga," seloroh Kalea, mendelikkan matanya pada Byantara, memecahkan suasana formal.

"Jangan membentakku, Letnan baru. Aku ini komandanmu," ejek Byantara, membuat Kalea seketika mencemberutkan bibir. Pertengkaran kecil yang tak terpisahkan dari ikatan mereka.

"Sudahlah, kalian ini selalu saja ribut," lerai sang Ibu, lembut.

Kalea menarik napas panjang, tatapannya beralih pada Ramdan, lalu kembali ke keluarganya. Ia melihat tatapan Ramdan yang seolah bertanya, 'Bagaimana dengan jawabanmu, Letnan Aswangga?'

Kalea tersenyum tulus, meyakinkan. Ia telah mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya.

"Ma, Pa, Bang Byan... Beliau adalah... kekasihku."

Tiga orang di hadapannya tertegun.

Byantara adalah yang paling menunjukkan perubahan ekspresi yang mencolok. Dalam sepersekian detik, tatapan luka yang nyaris tak terlihat, luka lama karena batasan norma, berubah menjadi tatapan bahagia yang superficial. Ia memaksakan senyum yang lebar, seolah ia baru saja memenangkan lotre, menutup rapat-rapat retakan di hatinya.

"Wihhh! Empat tahun di Akmil ternyata enggak cuma bawa pangkat, tapi juga dapat perwira yang hebat! Luar biasa! Selamat, Dek! Perwira masa depan!" ujar Byantara, suaranya riuh, berusaha sealami mungkin, agar tidak kentara bahwa jantungnya baru saja remuk menjadi debu.

Ayah dan Ibu telah lama mengetahui perasaan Kalea terhadap Byantara, dan mereka juga tahu perjuangan batin Kalea untuk melepaskan perasaan yang terlarang itu. Mereka lega. Teramat lega. Kalea kini telah menemukan cintanya di tengah barisan kehormatan, di pelukan seorang Taruna yang kini sama-sama bergelar Letnan Dua. Sang Ayah merasa lega, setidaknya Kalea telah mampu membedakan dan memilah mana hal yang lebih baik, mana cinta yang etis dan cinta yang harus ia lepaskan.

Ayah menerima Ramdan dengan tangan terbuka dan kehangatan seorang purnawirawan yang bijaksana. Begitupun Ibu. Dan Byantara, meskipun jiwanya terasa terbelah, sangat sadar bahwa Kalea kini telah memenuhi janji yang ia ukir dahulu, sebelum melangkah ke gerbang Tidar. Janjinya untuk melepaskan. Hatinya memang hancur, namun ia bangga, karena adiknya telah memilih kehormatan di atas perasaan.

Mereka memutuskan untuk makan siang di sebuah restoran yang tidak jauh dari Istana Merdeka. Ayah, Ibu, dan Ramdan pamit untuk menunaikan salat Zuhur, meninggalkan Kalea dan Byantara berdua di meja.

Byantara mengaduk minumannya, tatapannya lurus, seolah menatap masa depan yang tiba-tiba berubah.

"Kalea," panggilnya, suaranya rendah dan dalam, penuh getaran yang ia sembunyikan.

"Iya, Bang," jawab Kalea, matanya memancarkan ketenangan yang matang. Di jari manisnya, cincin yang diberikan Ramdan dua tahun lalu kini telah melingkar indah, menjadi simbol jawaban yang ia tunggu-tunggu.

"Aku bangga sama kamu," ucap Byantara, dengan ketulusan yang murni.

Kalea tertawa kecil. "Sudah seratus kali Abang ucapkan kalimat itu hari ini, ya?"

"Ini bangga yang berbeda, Kalea," koreksi Byantara, senyumnya getir. Senyum yang penuh kekalahan yang terhormat.

"Maksudnya?" tanya Kalea, sedikit bingung.

Byantara mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya menjadi bisikan rahasia, pengakuan yang hanya untuk telinga mereka berdua. "Aku bangga kau mampu memenuhi janjimu. Janji yang kuukirkan di hatimu saat kau pertama kali menginjakkan kaki di Tidar. Janji untuk memilih kehormatan."

Seketika, Kalea tersentak. Mata mereka bertemu. Kalea mengerti. Byantara tidak merujuk pada janji untuk lulus dan menjadi perwira. Ia merujuk pada janji untuk... melepaskan ikatan emosional yang terlarang itu.

Kalea tersenyum getir dalam hati. Ia tahu, ia belum sepenuhnya memenuhi janji itu. Ia tidak melepaskan, ia hanya berlari. Ia berlari dari rasa yang seharusnya tidak pernah terjadi, dan Akmil menjadi benteng terkuatnya.

"Letnan Ramdan... beliau adalah jawaban dari pelarianku, Bang," bisik Kalea, jujur. "Dia adalah perwira yang sama etis dan disiplinnya denganmu, tapi dengan takdir yang berbeda. Cintanya murni, tidak melanggar satu pun norma atau etika. Dia adalah pilihan yang paling benar dan paling aman bagiku."

Byantara menghela napas, ia tersenyum, kali ini senyum yang lebih tulus. "Lupakan rasa yang pernah ada, Dek. Letnan Ramdan adalah Perwira sejati. Dia layak mendampingimu. Sekarang, kau bukan lagi gadis kecil yang harus kuangkat dan kugendong. Kau adalah Letnan Dua yang harus berdiri sendiri. Dan ingat, cinta yang benar, yang didukung restu Tuhan dan orang tua, akan selalu lebih kuat daripada sekadar gairah."

Kalea mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Bang. Selama ini kau adalah komandan terbaikku. Selamanya."

Perpisahan batin itu selesai. Babak baru telah dimulai. Kalea menatap cincin di jarinya, simbol cinta yang sah dan murni. Ia menatap Byantara, sosok kakak yang kini ia cintai dengan etika yang benar. Ia menatap pintu, menanti Ramdan. Ia telah menjadi Perwira yang berani memilih, melepaskan luka, dan menyongsong takdir di ujung pengabdian.

1
atik
lanjut thor... semangat 💪
Khalisa_18: Makasih KK, di tunggu update selanjutnya ya
total 1 replies
atik
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!