NovelToon NovelToon
Earth Executioner

Earth Executioner

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Balas Dendam / Perperangan / Hari Kiamat
Popularitas:501
Nilai: 5
Nama Author: Aziraa

'Ketika dunia menolak keberadaannya, Bumi sendiri memilih dia sebagai kaki tangannya'

---

Raka Adiputra hanyalah remaja yatim piatu yang lahir di tengah kerasnya jalanan Jakarta. Dihantam kemiskinan, ditelan ketidakadilan, dan diludahi oleh sistem yang rusak-hidupnya adalah potret kegagalan manusia.

Hingga suatu hari, petir menyambar tubuhnya dan suara purba dari inti bumi berbicara:
"Manusia telah menjadi parasit. Bersihkan mereka."

Dari anak jalanan yang tak dianggap, Raka berubah menjadi senjata kehancuran yang tak bisa dihentikan-algojo yang ditunjuk oleh planet itu sendiri untuk mengakhiri umat manusia.

Kini, kota demi kota menjadi medan perang. Tapi ini bukan tentang balas dendam semata. Ini tentang keadilan bagi planet yang telah mereka rusak.

Apakah Raka benar-benar pahlawan... atau awal dari akhir dunia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 12: Big Apple Terkoyak - Kiamat di New York

--- Dunia dalam Keheningan Ketakutan

Matahari terbit di balik awan debu dan abu yang menyelubungi bekas Paris, melukis langit dengan warna ungu kehitaman yang suram. Dari ketinggian tiga puluh ribu meter, Raka dan Eva melayang dalam keheningan yang hampir sakral, mengamati pemandangan apokaliptik yang telah mereka ciptakan. Di bawah sana, Paris-Kota Cahaya-kini tak lebih dari tumpukan puing yang menganga, reruntuhan ikonik yang meleleh dalam api yang masih membara, dan lubang-lubang raksasa di mana monumen-monumen bersejarah pernah menjulang bangga. Sebuah kuburan bisu yang menganga di jantung Eropa, mengirimkan asap hitam ke langit seperti dupa kematian.

Dampak kehancuran merambat keluar dari benua Eropa seperti gelombang kejut yang tak terbendung, merobek-robek tatanan dunia yang telah dibangun selama berabad-abad. Jaringan berita global, yang kini beroperasi dari studio darurat dengan kru yang trauma dan mata kosong, menyiarkan laporan langsung yang tak henti-hentinya tentang kekacauan yang meluas. Namun kata-kata mereka terasa hampa, tidak mampu menggambarkan skala kehancuran yang sesungguhnya.

Di London, supermarket-supermarket telah dikosongkan dalam hitungan jam. Rak-rak yang dulunya penuh makanan kaleng dan air mineral kini berdiri telanjang, sementara pecahan kaca berserakan di lantai-bukti keputusasaan warga yang saling rebut persediaan terakhir. Polisi Metropolitan kewalahan menghadapi gelombang penjarahan yang menyapu seluruh kota. Di Piccadilly Circus, layar-layar LED raksasa yang biasanya menampilkan iklan glamor kini hanya menampilkan pesan darurat yang berulang: "SHELTER IN PLACE. AWAIT FURTHER INSTRUCTIONS."

Sir Malcolm Hartwell, seorang mantan diplomat berusia 67 tahun, berdiri di jendela apartemennya yang menghadap Thames, menyaksikan asap hitam mengepul dari berbagai sudut kota. Tangannya yang gemetar memegang secangkir teh yang sudah dingin, sebuah ritual yang sia-sia dalam menghadapi kenyataan bahwa dunia yang ia kenal telah berakhir. "Empat puluh tahun berkarier dalam diplomasi," bisiknya dengan suara serak, "dan tidak ada yang mempersiapkan kita untuk ini."

Bursa saham dunia, yang sudah goyah sejak kehancuran Indonesia, kini benar-benar kolaps dalam spiral kematian ekonomi yang tak dapat diperbaiki. Dow Jones, FTSE, Nikkei-semua indeks menunjukkan angka merah yang mencapai rekor terendah dalam sejarah. Bank-bank ditutup, ATM-ATM kosong, dan sistem keuangan lumpuh total. Kelangkaan pangan dan air bersih memicu penjarahan dan anarki di Tokyo, Mumbai, São Paulo, dan setiap kota besar di dunia.

Di Tokyo, seorang jurnalis muda bernama Akira Tanaka berusaha melaporkan dari tengah kekacauan. Kameranya bergetar saat ia merekam kerumunan massa yang mengepung sebuah toko swalayan. "Ini adalah hari ketiga sejak kehancuran Paris," lapornya dengan suara bergetar, "dan situasi di sini... tidak ada kata yang bisa menggambarkan kepanikan ini. Orang-orang berlarian tanpa arah, mencari perlindungan dari ancaman yang tidak mereka pahami."

Di Washington D.C., bunker bawah tanah Gedung Putih diselimuti kegelapan yang pekat, hanya diterangi oleh cahaya remang monitor yang menampilkan data-data yang makin mengerikan. Presiden Amerika Serikat, yang wajahnya kini terlihat keriput dan pucat seperti mayat hidup, menatap peta dunia yang dipenuhi titik-titik merah-Indonesia dan Paris telah menjadi lubang hitam yang tak dapat dihubungi. Bahkan satelit militer mereka tidak bisa menembus lapisan awan radioaktif yang menyelimuti kedua wilayah tersebut.

"Seluruh tatanan global runtuh, Tuan Presiden," suara Jenderal Patricia Morrison, Kepala Staf Gabungan, terdengar putus asa. Wanita yang biasanya tegas dan berkepala dingin kini tampak seperti orang yang telah kehilangan seluruh harapan. "Kita tidak tahu apa yang kita hadapi. Kita tidak bisa melawannya dengan senjata konvensional, bahkan dengan senjata nuklir. Ini bukan perang, Pak. Ini... ini adalah kehancuran alam itu sendiri."

Presiden mengepalkan tangannya di atas meja, buku-buku jari memutih. "Berapa banyak kapal selam yang bisa kita kerahkan? Berapa banyak bunker yang bisa kita buat?"

"Tidak akan cukup, Pak. Tidak untuk menghadapi kekuatan yang bisa menghancurkan seluruh benua dalam hitungan jam."

Di Moskow, di ruang rapat Kremlin yang pengap dan dipenuhi asap rokok, para jenderal dan politikus duduk dalam keheningan yang menakutkan. Layar-layar monitor menampilkan citra satelit yang menunjukkan kawah raksasa di bekas lokasi Jakarta dan Paris, disertai dengan tingkat radiasi yang mematikan. "Teknologi macam apa ini?" bisik Jenderal Dmitri Volkov, suaranya parau. "Mereka menghancurkan Indonesia dan Paris dalam hitungan jam tanpa jejak rudal, tanpa jejak bom nuklir. Kita tidak punya pertahanan terhadap kekuatan semacam ini. Tidak ada."

Paranoid telah berubah menjadi keputusasaan murni. Beberapa pejabat sudah mulai membicarakan "exodus" ke bunker-bunker bawah tanah di Siberia, sementara yang lain berbisik tentang perlunya meminta belas kasihan dari kekuatan tak dikenal yang telah menghancurkan dunia.

---

"Mereka telah merasakan ketakutan yang sesungguhnya. Sekarang saatnya menunjukkan siapa yang benar-benar berkuasa atas planet ini."

Saat jet pribadi mereka meluncur melintasi Samudra Atlantik, Raka menatap ke bawah melalui jendela pesawat. Laut yang luas terhampar di bawah, biru dan tenang, seolah tidak mengetahui kehancuran yang telah terjadi di dua benua. Namun Raka bisa merasakan getaran penderitaan yang dipancarkan oleh planet ini-setiap spesies yang punah, setiap hutan yang ditebang, setiap sungai yang tercemar. Semua itu menjerit dalam frekuensi yang hanya bisa ia dengar.

"Lihatlah," Eva berkata, menunjuk ke cakrawala di mana garis-garis cahaya mulai muncul. "Mereka masih menyalakan lampu-lampu mereka, masih berpikir bahwa peradaban mereka kebal terhadap pembalasan. Amerika Utara... mereka adalah simbol kesombongan, konsumerisme, dan eksploitasi yang tak terkendali. Mereka telah memimpin dunia dalam menguras sumber daya Bumi, menciptakan budaya pemborosan yang menyebar ke seluruh dunia."

Raka melihat kilatan dalam mata Eva-sebuah kepuasan yang mendalam dan gelap. "Mereka membangun imperium di atas tulang-belulang bangsa pribumi, mereka mencemari udara dan air dengan limbah industri mereka, mereka mengajarkan dunia bahwa konsumsi adalah kebahagiaan. Sekarang mereka akan merasakan balasannya."

Dalam benaknya, Raka mendengar bisikan Bumi yang semakin keras: *Ya, anakku. Mereka telah menguras darahku, menggali tulang-tulangku, membakar paru-paruku. Berikan mereka pelajaran. Biarkan mereka merasakan apa yang mereka berikan kepadaku.*

"Amerika Utara adalah target selanjutnya," Eva mengumumkan dengan nada yang hampir ceremonial. "New York City-Big Apple-buah terlarang yang telah membusuk dari dalam."

Eva mengulurkan tangannya, dan jet pribadi yang telah mengantar mereka melintasi benua kini berubah menjadi gumpalan energi yang melesat menuju barat. Raka merasakan tubuhnya mengalami transformasi-setiap sel dalam tubuhnya bergetar dengan kekuatan yang melampaui batas-batas manusia. Mereka bergerak dengan kecepatan yang melampaui imajinasi manusia, melintasi Samudra Atlantik dalam hitungan menit, menuju benua yang akan segera merasakan murka Bumi.

---

New York: Simbol Kesombongan yang Menjulang

Jutaan lampu berkelip di kejauhan, membentuk gugusan cahaya raksasa yang tak tertandingi di muka bumi. New York City-kota yang tidak pernah tidur, simbol impian Amerika, kemajuan teknologi, dan kekayaan yang tak terbatas. Dari ketinggian, kota itu terlihat seperti sebuah permata yang bercahaya, dengan Manhattan sebagai intan yang paling berkilau di tengahnya. Namun di mata Raka, itu adalah representasi dari keserakahan terburuk manusia-sebuah hutan beton yang tumbuh dari eksploitasi dan konsumerisme berlebihan.

"Lihatlah mereka," bisik Eva, suaranya dipenuhi dengan jijik yang mendalam. "Mereka membangun menara-menara kesombongan, mencakar langit dengan arogansi mereka. Setiap lampu yang berkedip adalah sebuah dosa, setiap gedung pencakar langit adalah sebuah pelanggaran terhadap tatanan alam."

Raka mengangguk, matanya menyapu pemandangan kota yang padat. Ia bisa melihat lalu lintas yang padat bahkan di jam-jam pagi, jutaan manusia yang bergerak dalam rutinitas mereka tanpa menyadari bahwa kematian sudah melayang di atas kepala mereka. Ia bisa merasakan getaran kehidupan yang berdesir di setiap sudut kota-dan itu membuatnya muak.

Eva menunjuk ke bawah, ke arah Manhattan yang padat, dengan Menara One World Trade Center menjulang angkuh di antara gedung-gedung lain. "New York," Eva mengucapkan nama itu seperti mantra kutukan. "Mereka menyebutnya 'Big Apple,' simbol dari ambisi tak terbatas. Tapi bagi Bumi, itu adalah tumor yang harus dibuang."

Raka merasakan kekuatan dingin yang mengalir melalui tubuhnya, sebuah energi yang terasa sangat akrab namun sekaligus mengerikan. Ia mengulurkan kedua tangannya, dan energi primordial mulai mengalir dari dalam tubuhnya dengan intensitas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kali ini, ia akan melepaskan kekuatannya dengan presisi yang menghancurkan jiwa kota itu sendiri.

"Kita akan mulai dengan peringatan," bisik Raka, suaranya hampir tidak terdengar di atas hembusan angin. "Biarkan mereka merasakan ketakutan sebelum mereka merasakan kematian."

---

Di New York City, pagi itu adalah pagi yang sibuk seperti biasa. Di Wall Street, para broker masih mencoba memahami grafik saham yang terus merosot sejak bencana di Indonesia dan Paris. Mereka berbisik dengan cemas, menelepon klien, mencoba mencari cara untuk menyelamatkan investasi mereka. Di Times Square, turis-turis yang belum mengungsi masih menatap papan reklame raksasa, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di dunia.

Daniel Miller, seorang programmer berusia 28 tahun yang bekerja di sebuah perusahaan teknologi di Manhattan, sedang terburu-buru menuju kantor sambil mendengarkan musik melalui earphone-nya. Ia telah menghabiskan malam tanpa tidur, khawatir tentang tabungannya yang menguap di bursa saham, tentang keluarganya di Ohio yang panik menelepon setiap jam. Namun ia percaya, New York akan bertahan. New York selalu bertahan. Kota ini telah melalui Depresi Besar, Perang Dunia II, serangan 9/11, dan badai Sandy. Tidak ada yang bisa menghancurkan New York.

Namun pagi itu, sesuatu terasa berbeda.

Pertama, burung-burung mulai berperilaku aneh. Kawanan merpati yang biasanya tenang tiba-tiba terbang dalam formasi yang tidak beraturan, berputar-putar di udara dengan teriakan yang memekakkan telinga. Anjing-anjing di jalanan mulai melolong bersamaan, dan kucing-kucing liar bersembunyi di tempat-tempat yang tidak biasa. Hewan-hewan di Central Park Zoo menjadi gelisah, beberapa di antaranya berteriak dengan suara yang belum pernah didengar oleh para penjaga.

Kedua, tekanan udara berubah secara drastis. Orang-orang mulai merasakan telinga mereka berdenging, beberapa mengalami pusing mendadak, dan yang lain merasa seperti ada sesuatu yang menekan dada mereka. Barometer di stasiun cuaca menunjukkan angka yang tidak masuk akal-tekanan atmosfer turun dengan cepat, kemudian naik dengan sangat cepat, seolah-olah ada sesuatu yang bermain dengan alam itu sendiri.

Daniel merasakan keanehan ini saat ia berjalan melewati Washington Square Park. Ia mengeluarkan earphone-nya karena merasa ada sesuatu yang salah. Angin bertiup dengan pola yang aneh-kadang sangat kencang, kadang tiba-tiba berhenti total. Suhu udara turun dengan cepat, napasnya mulai mengembun meskipun ini adalah hari yang cerah.

"Apa yang terjadi?" gumamnya, melihat orang-orang lain yang juga mulai menyadari keanehan ini.

Tiba-tiba, udara terasa berat. Lampu-lampu jalan berkedip-kedip tak beraturan, meskipun tidak ada gangguan listrik yang dilaporkan. Daniel mendongak. Langit di atas Manhattan, yang biasanya dipenuhi kabut asap dan awan tipis, kini mulai berputar dengan kecepatan yang mengerikan. Awan-awan badai muncul dari ketiadaan, berwarna hitam pekat dan ungu gelap, membentuk pusaran raksasa yang berputar tepat di atas Central Park.

Pusaran itu semakin besar, menghisap awan-awan di sekitarnya, menciptakan sebuah vortex yang terlihat seperti mata badai namun jauh lebih mengerikan. Di dalam pusaran itu, kilatan-kilatan cahaya muncul-bukan petir biasa, tetapi cahaya yang berwarna ungu dan merah, seolah-olah langit sedang terbakar dari dalam.

---

Raka melayang di tengah pusaran awan, tubuhnya bergetar dengan kekuatan yang mengalir dari inti bumi. Ia bisa merasakan setiap getaran di bawah kaki jutaan manusia di Manhattan, setiap detak jantung yang dipenuhi ketakutan. Itu membuatnya merasa... hidup.

"Kalian membangun menara kesombongan kalian," suara Raka bergema dari langit, tidak terdengar oleh telinga manusia, namun terasa dalam setiap getaran yang menghancurkan, "dengan menginjak-injak alam. Sekarang, menara itu akan runtuh."

Ia mengangkat tangan kanannya, dan angin mulai bertiup dengan kekuatan yang belum pernah dirasakan New York. Bukan angin biasa-ini adalah hembusan yang terasa seperti raungan binatang purba, membawa serta partikel-partikel debu dan kristal es yang menusuk kulit. Kaca-kaca dari gedung-gedung pencakar langit mulai retak, menciptakan pola-pola retakan yang menyebar seperti jaring laba-laba.

Kemudian, Raka melepaskan kekuatan sesungguhnya.

Dari pusaran awan, kilatan-kilatan petir raksasa menyambar tanpa henti. Ini bukan petir sporadis-setiap sambaran dikendalikan dengan presisi mematikan, diarahkan ke target-target spesifik yang telah Raka pilih. Petir pertama menyambar puncak Empire State Building, ledakan cahaya yang menyilaukan mata disertai dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Bangunan ikonik itu bergetar hebat, antena di puncaknya meleleh dalam sekejap.

Petir kedua menyambar Chrysler Building, membakar puncak art deco-nya yang indah. Ketiga, keempat, kelima-One World Trade Center, Flatiron Building, Brooklyn Bridge-setiap ikon New York disambar oleh tombak cahaya yang dikendalikan oleh murka alam itu sendiri.

Namun petir hanyalah pembuka. Raka menggerakkan tangan kirinya, dan tanah di bawah Manhattan mulai bergetar dengan intensitas yang tidak wajar. Ini bukan gempa biasa-Raka memanipulasi frekuensi getaran tanah, menciptakan resonansi yang tepat untuk setiap bangunan.

Setiap struktur memiliki frekuensi alami, titik di mana bangunan itu akan bergetar paling kuat. Raka menemukan frekuensi itu untuk setiap gedung pencakar langit di Manhattan dan memaksanya bergetar pada frekuensi tersebut. Hasilnya mengerikan: gedung-gedung mulai berguncang dengan intensitas yang tidak masuk akal, tidak roboh sekaligus, melainkan berputar, terpelintir, dan kemudian ambruk perlahan.

Sebuah apartemen mewah di Upper East Side mulai berputar pada porosnya, dinding-dinding beton retak dan berderit, jendela-jendela pecah berhamburan. Penghuni di dalamnya berteriak, beberapa terjatuh dari jendela, yang lain terjepit di antara reruntuhan yang bergerak.

Di Financial District, gedung-gedung kantor mulai bertopeng seperti kartu domino, namun dalam gerakan yang sangat lambat dan menyiksa. Karyawan di dalamnya berlarian panik, berusaha mencapai tangga darurat yang juga ikut bergerak dan terpelintir.

---

*Sudut Pandang Daniel Miller*

Daniel Miller telah mencapai setengah jalan menuju kantornya ketika langit berubah. Ia melihat awan-awan hitam berputar di atas Central Park, merasakan udara yang menegang seperti dawai yang akan putus. Ponselnya berdering berkali-kali, notifikasi berita darurat bermunculan di layar: "Unprecedented atmospheric anomaly detected over NYC. Seek shelter immediately."

Ia mencoba menelepon keluarganya di Ohio, namun jaringan telepon terputus. Semua operator seluler di kota itu tampaknya lumpuh. Ia merasakan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya-sebuah ketakutan primitif yang menyentuh bagian terdalam dari jiwanya.

Kemudian hujan es mulai turun.

Bukan hujan es biasa. Bongkahan es sebesar batu bata, bahkan ada yang sebesar bola basket, jatuh dari langit dengan kecepatan yang menakutkan. Bongkahan pertama menghantam atap taksi di depannya, menghancurkan kaca belakang dan menyebabkan mobil itu oleng. Bongkahan kedua menghancurkan jendela toko di sebelahnya, dan bongkahan ketiga mengenai seorang pejalan kaki yang berlari, menjatuhkannya ke aspal dengan bunyi yang mengerikan.

Daniel berlari, mencoba mencari perlindungan di bawah kanopi sebuah toko. Namun saat itulah petir menyambar.

CRASH! Suara ledakan yang memekakkan telinga mengguncang seluruh kota. Empire State Building, yang dulu ia pandang dengan takjub setiap hari, kini disambar petir raksasa yang menyilaukan. Bangunan itu bergetar seperti pohon dalam badai, retakan-retakan muncul di fasadnya, dan puncaknya mulai meleleh seperti lilin di bawah api.

"Tidak mungkin," bisik Daniel, matanya tidak percaya dengan apa yang ia lihat. "Ini tidak mungkin terjadi."

Namun ini baru permulaan. Ia melihat fragmen-fragmen beton dan baja mulai berjatuhan dari gedung-gedung pencakar langit seperti hujan batu. Setiap fragmen yang jatuh menghancurkan apa pun yang ada di bawahnya-mobil, tenda pedagang, bahkan manusia yang tidak sempat berlindung.

Daniel berlari tanpa arah yang jelas. Di jalan, orang-orang panik, saling dorong, menginjak-injak satu sama lain dalam usaha putus asa untuk mencari perlindungan. Ia mendengar jeritan yang tidak akan pernah ia lupakan-jeritan keputusasaan dari ribuan orang yang menyadari bahwa kematian sudah di depan mata mereka.

Ia melihat seorang ibu muda berlari sambil menggendong bayinya, air mata mengalir di wajahnya. Ia melihat seorang pria tua jatuh tersungkur dan tidak ada yang membantu karena semua orang sibuk menyelamatkan diri. Ia melihat seorang polisi yang seharusnya mengatur lalu lintas malah ikut berlarian dengan seragam yang robek-robek.

"Kenapa?" teriak Daniel kepada langit yang berputar-putar dengan mengerikan. "Kenapa ini terjadi?"

Tiba-tiba, tanah di bawah kakinya mulai bergetar. Bukan getaran gempa biasa-getaran ini terasa aneh, seperti ada sesuatu yang menarik bumi dari bawah dengan kemarahan yang tak terkendali. Daniel melihat gedung di seberang jalan, sebuah bangunan apartemen mewah yang biasanya berdiri tegak dan angkuh, mulai berputar pelan seperti pion catur yang diputar oleh tangan raksasa.

Retakan-retakan menjalar di dinding gedung itu, jendela-jendela pecah berhamburan, dan perlahan-lahan bangunan itu mulai ambruk ke samping. Namun bukan ambruk biasa-gedung itu runtuh dengan gerakan yang sangat lambat dan menyiksa, seolah-olah ada kekuatan yang memainkannya seperti mainan.

"TIDAK!" teriak Daniel, napasnya tersengal-sengal. "INI TIDAK MUNGKIN!"

Namun matanya tidak bisa mengingkari apa yang ia lihat. Ini bukan bencana alam. Ini adalah sesuatu yang disengaja, sesuatu yang jahat, sesuatu yang ingin menghancurkan New York dengan cara yang paling mengerikan.

Ia melihat ke arah Battery Park, di mana ia bisa melihat Patung Liberty di kejauhan. Patung itu berdiri dengan tenang, seolah-olah tidak menyadari kehancuran yang terjadi di belakangnya. Namun kemudian Daniel melihat sesuatu yang membuat jantungnya berhenti berdetak.

Dua gelombang tsunami raksasa, setinggi gedung pencakar langit, datang dari dua arah yang berlawanan-satu dari Hudson River di barat, satu lagi dari East River di timur. Gelombang-gelombang itu bergerak dengan kecepatan yang menakutkan, menelan semua yang ada di depannya.

Gelombang pertama menelan Patung Liberty dalam sekejap, air kotor yang dipenuhi puing-puing dan mayat menyapu ikon kebebasan Amerika seperti sapuan tangan raksasa. Kemudian kedua gelombang itu meluncur cepat menuju Manhattan, siap untuk menjepit pulau itu dari dua sisi.

"TIDAK! TIDAK MUNGKIN! TIDAK MUNGKIN!" teriaknya, air mata bercampur dengan keringat dan debu yang menempel di wajahnya. Selama ini ia percaya bahwa New York tak terkalahkan, bahwa kota ini adalah benteng terakhir peradaban manusia. Kini, ia melihatnya akan tenggelam di bawah air kotor dan puing-puing.

Daniel berlari menuju stasiun kereta bawah tanah terdekat, berharap bisa mencari perlindungan di sana. Namun saat ia mencapai pintu masuk Union Square Station, air laut hitam yang dipenuhi lumpur dan bau busuk sudah mulai membanjiri tangga, membawa serta puing-puing bangunan, mobil-mobil yang hancur, dan tubuh-tubuh manusia yang tak bernyawa.

Ia terperangkap. Ia melihat wajah-wajah panik lain di sekitarnya-seorang wanita berjas kantor yang menangis histeris, seorang pria paruh baya yang memeluk tasnya erat-erat, beberapa remaja yang memandang kosong dengan mata yang sudah kehilangan harapan.

"Ini tidak mungkin," bisik Daniel, suaranya hampir tidak terdengar di tengah gemuruh kehancuran. "Ini hanya mimpi buruk. Ini hanya mimpi buruk."

Namun air tsunami yang dingin dan kotor mulai menyentuh kakinya, naik perlahan-lahan ke betis, ke paha, ke pinggang. Ia merasakan serpihan-serpihan benda tajam yang mengapung dalam air itu-pecahan kaca, potongan logam, mungkin juga potongan-potongan manusia lain yang sudah mati.

Ia tidak tahu apa yang terjadi pada dunia. Ia tidak tahu siapa yang melakukan ini. Yang ia tahu hanyalah bahwa dunianya, kehidupannya, impiannya, cita-citanya, semua kenangan indah tentang New York-semuanya telah berakhir dalam hitungan menit.

Saat air mencapai dadanya, Daniel Miller menutup mata dan menerima kenyataan bahwa ia akan mati di kota yang ia cintai, di tengah kehancuran yang tidak pernah ia bayangkan bisa terjadi.

---

Raka melayang di ketinggian, mengamati New York City yang telah berubah menjadi neraka di bumi. Asap mengepul ke langit membentuk kolom-kolom hitam yang menjulang tinggi, badai masih mengamuk dengan kekuatan yang belum mereda, dan air tsunami kini mulai surut perlahan, meninggalkan lumpur, bangkai, dan kehancuran di setiap sudut Manhattan.

Tidak ada lagi suara klakson mobil, tidak ada lagi kebisingan lalu lintas, tidak ada lagi gemuruh kereta bawah tanah. Hanya keheningan yang menakutkan, diselingi dengan bunyi-bunyi kecil: tetesan air yang jatuh dari gedung-gedung yang hancur, suara logam yang berderit, dan sesekali jeritan lemah dari para korban yang masih hidup.

Miliaran kehidupan yang pernah berdenyut di kota itu kini terdiam selamanya.

Eva melayang di samping Raka, wajahnya menampilkan kepuasan yang mendalam dan gelap. Bibirnya terangkat dalam senyuman tipis yang mengerikan, matanya berkilat dengan kenikmatan yang hampir orgasmi. "Lihatlah," bisiknya dengan suara yang dipenuhi kenikmatan, "menara-menara kesombongan mereka kini sudah rata dengan tanah. Big Apple yang mereka banggakan kini sudah membusuk."

Raka mengangguk, menatap dingin tempat yang sudah dihancurkannya itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!