NovelToon NovelToon
Bayang-bayang Yang Tidak Pergi

Bayang-bayang Yang Tidak Pergi

Status: tamat
Genre:Toko Interdimensi / Tamat
Popularitas:489
Nilai: 5
Nama Author: Made Budiarsa

Bayang-Bayang yang Tidak Pergi adalah sebuah novel puitis dan eksistensial yang menggali luka antar generasi, kehancuran batin, dan keterasingan seorang perempuan serta anak-anak yang mewarisi ingatan dan tubuh yang tidak pernah diminta.

Novel ini terbagi dalam tiga bagian yang saling mencerminkan satu sama lain:

Bagian Pertama, Orang yang Hilang, mengisahkan seorang perempuan yang meninggalkan keluarganya setelah adik perempuannya bunuh diri. Narasi penuh luka ini menjelma menjadi refleksi tentang tubuh, keluarga, dan dunia yang ia anggap kejam. Ia menikahi seorang pria tanpa cinta, dan hidup dalam rumah penuh keheningan, sambil mengumpulkan kembali kepingan-kepingan jiwanya yang sudah dibakar sejak kecil.

Bagian Kedua, Bunga Mawar, Kenanga dan Ibu, melanjutkan suara narator laki-laki—kemungkinan anak dari tokoh pertama—yang menjalani rumah tangga bersama seorang istri polos, namun hidup dalam bayangan cinta masa lalu dan sosok ibu yang asing. Kenangan, perselingkuhan, dan percakap

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehangatan Bagian ll

Aku merasa malu, tapi tidak apa-apa. Kupikir, hanya dua orang di Dunia ini yang boleh mengatakannya : Istri dan ibuku sendiri. Namun di antara keduanya, perasaannya benar-benar aneh. Istriku mengatakannya dengan riang, tapi aku tahu ada sesuatu yang di sembunyikannya. Sementara ibu, aku tidak bisa berkata apa-apa. Dia seorang penyair, penulis dan juga ibu, namun perasannya selalu saja muram. Aku selalu berusaha menghindarinya.

“Nama yang indah. Lara dan cahaya kecil. Kupikir kalian adalah pasangan yang ideal.”

Tidak seperti yang kupikirkan. Gadis itu tidak menoleh dan bahkan dari nada suaranya aku tidak menyadari keterkejutan atau keanehan.

“Tentu saja..” kata Lara lagi, bersemangat seperti aku tidak boleh menjawab. “Kami bahkan di jodohkan.”

“Di jodohkan? Kalian memang unik.”

Kami terus berjalan dan seiring dengan itu, perkebunan penduduk menemaninya. Tidak lama saat tiba, kami langsung menuju makam ibu guru. Menebar bunga, memberi sesajen. Aku tidak tahu apa yang di sukai ibu guru ini, tapi yang jelas dia tidak suka bunga. Jadi kupikir akan menyerahkan minuman arakku. Ibu guru pasti memahaminya.

Lara tidak berkomentar dan gadis itu juga, tetapi aku tidak tahu bagaimana perasaannya, terutama gadis itu. Arak jelas sekali ada maknanya. Aku tidak mau mengatakannya.

Kami berdoa.

Gadis itu kemudian berkata, “Ibu menyukai murid-muridnya dan tentu saja murid-muridnya juga menyukainya. Ibuku sangat beruntung bisa mendapatkan murid-murid seperti kalian yang baik hati. Semoga saja ibu damai di sana.”

Kami hanya mengangguk.

Begitulah kunjungan kami saat itu, tetapi gadis yang tampak baik dan biasa itu mengundang rasa penasaran. Apa dia anak yang kami buat? Atau tidak? Aku terus memikirkannya sepanjang perjalanan pulang.

Lara memperhatikannya dan bertanya. Aku mengatakan ini soal pekerjaan.

Saat kami tiba di depan gerbang, satu patung yang terkena sinar matahari hancur menjadikan tiga bagian dan berserakan.

Lara berseru, “Siapa yang menghancurkannya?”

Entah mengapa, aku juga ikut marah saat melihatnya.

...----------------...

Dua hari kemudian aku memikirkan hal-hal yang aneh. Gadis itu apa benar-benar anakku? Tetapi aku tidak melihat kemiripan apa pun denganku selain gadis itu memiliki wajah yang cantik seperti ibunya. Aku ingat bagaimana aku merayu ibu guru dengan sebuah puisi.

Kami bercakap-cakap dan semakin dekat. Namun saat aku tahu itu, ada kedinginan dalam perasaanku. Aku tidak tahu apa itu, dan lagi pula aku tidak terlalu peduli dengan perasaan seperti itu. Hanya saja aku selalu teringat dengan kenangan-kenangan bersama ibu. Ibu yang nyaris seperti musim dingin, tenang, turun perlahan-lahan namun memiliki suhu yang sangat dingin, yang bahkan aku tidak tahan berdiri di sana, di sekitarnya atau bahkan menatapnya. Mengapa ada ibu seperti ini?

Sementara aku duduk, patung Dewi yang hancur telah dibuang membuat patung Dewi yang satunya lagi kesepian. Nasibnya malang, tapi tidak bisa berbuat apa, dan lagi pula patung itu tidak akan tahu siapa yang melakukannya.

Aku bisa menggantinya, namun umurnya tidak akan sama dengan patung yang satunya lagi, jadi itu terlihat ganjil, antara yang baru dan lama, bersih dan berlumut.

Sembari menghembuskan asap rokok, aku diam di sana, melihat beberapa orang yang keluar-masuk gerbang-gerbang rumah mereka. Ada beberapa yang tersenyum, tapi juga tidak memperhatikanku.

Hingga abu rokok menumpuk di sisi kananku, matahari akhirnya terbenam. Aku bangkit dan membuang puntung rokok lalu masuk ke dalam, membiarkan abu rokok terbang. Sepertinya debu-debu itu menutupi lapisan lumut yang ada di patung Dewi yang sekarang tunggal.

Ke-esokan harinya aku pergi ke desa itu lagi. Menaiki kereta, melihat pemandangan gunung, desa-desa tradisional hingga pesawahan. Aku merasa tenang, diam saja tanpa perlu bergerak untuk melihat pemandangan di luar ikut bergerak.

Hari itu kereta sedikit ramai dan aku menunggu beberapa orang keluar stasiun kemudian melanjutkan perjalanan.

Tiba di senja, aku akhirnya berdiri di depan rumah dan mengetuk pintu yang sunyi.

Desa ini sangat tenang sekali. Aku bahkan bisa mendengar jangkrik yang bersuara.

Pintu di buka dan gadis itu muncul, diam sebentar mengamatiku lalu berkata, “Kau... Bukankah murid dari ibuku yang satu Minggu yang lalu?”

“Ya, sepertinya aku merindukan ibu guru, dan ingin datang kembali.”

Mungkin itu jawaban yang masuk akal dan cepat muncul dalam pikiranku. Semoga saja itu berjalan dengan baik.

“Kau sangat baik kepada ibu. Silakan masuk.”

Aku masuk dan duduk di ruangan tamu.

Gadis itu mengambil secangkir teh, meletakkannya sembari berkata, “Istrimu tidak ikut?”

“Dia ada pekerjaan, jadi tidak bisa itu.”

“Begitu, silakan... minum tehnya.”

“Terima kasih.”

Aku mengambilnya dan sedikit meminumnya. Kemudian tiba-tiba suara Guntur muncul lalu perlahan-lahan hujan.

“yah... Sepertinya akan lebih dingin,” kata gadis itu menoleh ke jendela dengan ekspresi sendu. Lalu menatapku. “Aku punya payung jika kau tidak membawanya nanti.”

Aku hanya berterima kasih, sementara pikiranku bergerak. Kami diam dan suara hujan mulai turun satu persatu seperti ingin memainkan musik orkestra. Gadis itu menatap hujan dan merenung. Dari samping dia terlihat indah dan aku yang duduk diam menikmati teh seolah-olah menikmati pemandangan senja. Hingga aku akhirnya meletakkan cangkir yang sedikit bersuara lalu bertanya, “Aku ingin melihat fotonya sekali lagi.”

“Kau benar-benar menyukai ibuku,” jawabnya setelah menoleh kemudian berjalan masuk dan kembali membawa bingkai foto yang di dalamnya ada wanita yang sangat aku kenal. Aku teringat lagi dengan puisi yang lainnya

Bunga kenanga putih yang perlahan-lahan kayu, namun harumnya semakin kuat...

Aku menyukai aromamu, bukan kelopak-kelopakmu yang layu...

Aku diam sejenak dan seolah-olah waktu juga begitu.

Tidak lama gadis itu berkata sembari menatap wajah ibunya, “Ini foto ibu saat sedang mengajar. Dia sangat cantik.”

Aku setuju dengan itu.

Kemudian dia mengangkat wajahnya, “Anda pasti menginginkan wujud seperti ini bukan?”

Aku menginginkannya. Wanita yang rambutnya di gulung seperti sarang lebah. Senyumannya yang lembut seperti sutra, siapa yang tidak tertarik dengannya?

Dia waktu itu memakai kemeja putih susu yang elegan.

“Aku tidak tahu banyak hal tentang ibu, tapi aku tahu ibu baik kepadaku.”

Ada sedikit kesedihan tapi kemudian dia menatap jendela. “Hari semakin malam, apa kau benar-benar akan pulang malam ini? Atau setidaknya bermalam saja dan kembali saat pagi hari tiba?”

Itu kemungkinan yang terbaik untuk dilakukan. Aku berterima kasih dan kami bercakap-cakap hingga larut malam. Gadis itu kembali meletakkan fotonya.

Aku mengeluarkan sebatang rokok dan menghisapnya. Cuacanya benar-benar dingin.

“Kau ternyata merokok. Tidak apa-apa jika kau menyukainya. Lagi pula aku tidak terganggu dengan itu.”

Aku merasa lega dan berterima kasih.

Tidak lama kemudian dia pergi kembali, mematikan beberapa lampu kemudian membawa satu lilin di tangannya. Meletakkannya di depanku dan kami terpisahkan dari satu lilin yang menyala dan seperti hampir padam.

Gadis itu tersenyum dan mengangkat tangannya, ternyata dia membawa sebotol minuman. Menuangkannya ke dalam cangkir kecil, bersimpuh di depanku lalu berkata, “Aku rindu ibu. Ibu selalu terlihat dingin, tapi ketika aku terluka, dialah yang paling khawatir.”

Meneguk minuman di cangkirnya, wajahnya terlihat di rajut dan memejamkan matanya seperti menahan rasa sakit.

“Itu arak?”

“Benar, apa kau mau?”

Dia menuangkannya kemudian mengulurkannya. Aku mengambilnya sembari berkata, “Ibuku juga begitu. Aku tidak tahu pasti bagaimana sebenarnya ibuku.” Aku meminumnya. “Araknya keras. Kau gadis unik jika menyukai minuman seperti ini.”

“Aku tidak tahu apa benar-benar menyukainya.” Dia mengambil cangkir dan menuangkannya. Mengangkatnya kemudian berkata, “Tetapi bagaimana pun alasannya, aku tidak pernah tahu. Lagi pula itu hanya buang-buang waktu.” Dia meminumnya lagi dan ekspresinya jauh lebih sakit dari sebelumnya.

Aku mulai menghirup aroma yang sama dengan ibu guru dan perlahan-lahan gadis itu menjelma menjadi sosok ibu guru.

Aku meminumnya lalu berkata, “Benar, apa yang kau katakan itu benar. Sepertinya kau gadis yang pintar.”

Araknya terasa semakin keras.

“Ah, jadi kau mengerti. Menurutmu, ibumu juga seperti hantu?”

“Iya.”

“Ibuku juga sama seperti itu.” Dia kemudian meminumnya dan menghembuskan nafasnya, yang semakin persis dengan aroma ibu guru. Wajahnya semakin memerah.

“Jika kamu setuju jika ibu kita bukan ibu yang normal, minum ini tanpa berkata.”

Aku setuju dan meminumnya. Gadis itu tersenyum memperlihatkan gigi-giginya yang tertata rapi. Lalu tidak lama kemudian angin berhembus dari jendela.

Aku melihat seberkas api kecil lilin hampir mati. Aku segara melindunginya dengan kedua tanganku. Dan tidak lama ada dua tangan yang dingin menyelimuti tanganku. Gadis itu ternyata ikut melindunginya. Kami semakin dekat dan pikiran kami kacau. Hanya jarak 10 cm, kami sangat dekat. Aku menghirup aromanya yang khas.

Kami saling pandang dan gadis itu tersenyum dalam wajahnya yang merah. Oh, dia terlihat sangat cantik. Sekarang aku lihat ada tusuk rambut yang indah, menggulung rambutnya. Dia ibu guru, aku tidak salah lagi.

“Kau menyukai ibuku sekedar hubungan biasa bukan?”

Suaranya lembut dan dingin, tapi penuh godaan.

Aku hanya diam. Pikiranku kosong, namun entah mengapa wajahku mendekatinya. Aku melihat pori-porinya di sinari cahaya remang-remang, hidungnya yang mancung, lehernya yang jenjang. Aku tidak tahan dan gadis itu tidak menolak.

Bibir kami saling menyentuh. Hangat dan dingin bersatu. Wajah kami sangat dekat. Aku melihat kedua matanya terbuka mengisyaratkan kebahagiaan juga kesedihan. Mengapa ini bisa terjadi?

Kemudian kami saling menarik wajah masing-masing.

Gadis itu menuangkan arak dan langsung meminumnya. Wajahnya semakin merah. Kemudian dia mengulanginya lagi dan menyerahkannya kepadaku.

Aku mengamati warnai arak yang jernih ini dalam cahaya lilin yang kecil.

Gadis itu tersenyum kemudian menarik satu tali pakaiannya sebelah kanan, dan memperlihatkan Bh putih yang di pakainya. Dia tersenyum lalu melepaskannya, memperlihatkan satu gunung kecilnya. Dia menatapku. Sembari menunjuk gunungnya dia berkata, “Kita lahir dari sini, sampai kapan pun kita akan menyukainya.”

Aku setuju dan meminum arak. Pikiranku Demak kacau. “Bolehkah aku menyentuhnya?”

Gadis itu tersenyum penuh arti. “Kenapa tidak?”

Aku langsung mengulurkan tangan dan perlahan-lahan merabanya dengan kelima jariku. Gadis itu terlihat lebih merah.

Ada rasa kelembutan dan kehangatan, sementara cahaya lilin kecil perlahan-lahan mengecil dan lebih kecil. Wajah gadis itu perlahan-lahan menghilang dalam kegelapan, dan hujan di luar berbunyi tenang.

Apa yang aku lakukan?

Mengapa aku melakukannya?

Aku tidak tahu dan semuanya berjalan begitu cepat tanpa meminta izin dariku.

...----------------...

Aku terbangun di pagi harinya dan saat itu cuacanya lebih cerah.

Kami tidur di lantai, pakaian kami berantakan.

Gadis itu tidur di sampingku menghadap ke samping dan kakinya sedikit di tekuk. Aku melihat lekukan tubuhnya yang sebagian terbuka. Rambutnya terurai dan nafasnya terlihat lebih cepat.

Lilin di antara kami semalaman telah meleleh.

Aku tidak tahu apa yang terjadi kemarin, tapi itu membuatku semakin bersalah.

Menghela nafas, aku pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri.

Ketika aku keluar, gadis itu sedang menyisir rambutnya dan membalikkan badan berkata, “Itu hanya mimpi bukan?”

“Itu hanya mimpi.”

Aku melihat tubuh ibu guru dari punggungnya.

Dia lalu melanjutkan, “Kau akan pulang hari ini?”

“Iya.”

“Semoga kau selamat dalam perjalanan.”

“Terima kasih.”

Aku langsung pergi.

Sepanjang perjalanan aku bersandar dan melihat keluar. Apa yang aku lakukan? Mengapa aku melakukannya?

Pemandangan di luar berjalan begitu saja tanpa aku minta, sama seperti apa yang terjadi kepadaku malam itu. Aku tidak bekerja satu hari ini, Tapi itu bukan yang membuatku khawatir. Aku bertanya mengapa aku melakukannya.

Tiba di rumah, gerbang tertutup. Aku penasaran bagaimana tanggapan Lara santi terhadap kepergianku? Apa dia akan menyuruhku tidur di luar? Bagaimana perasaannya?

Aku menghela nafas dan berjalan mendekati gerbang.

Saat itulah, gerbang di buka. Wanita berkebaya merah muda dengan kamen batik muncul. Dia memakai selendang hijau muda dua ujung yang lebih panjang. Entah mengapa saat aku melihatnya, aku benar-benar kagum dengannya.

Lara santi, jelas sekali itu dia.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!