Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sudah Cukup.
Rania datang ke kantor mertuanya dengan napas belum sepenuhnya stabil. Tangan kirinya menggenggam dokumen yang baru saja ia peroleh dari proyek... bukti bahwa tandatangannya telah dipalsukan. Meski bajunya masih bernoda debu, dan tubuhnya lelah seharian, tapi langkahnya tak goyah.
Pak Martin dan Bu Ayu, mertua Rania. Sudah menunggunya di ruang rapat. Niko pun kebetulan ada di sana.
"Saya ingin menjelaskan sesuatu," ujar Rania pelan, meletakkan berkas di atas meja. "Ini bukti bahwa saya tidak pernah menyetujui perubahan material dan desain yang digunakan dalam proyek. Tandatangan saya dipalsukan."
Pak Martin mengambil berkas itu, membacanya dengan alis yang makin bertaut. Ia lalu menoleh pada Niko. "Ini benar?"
Niko terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Iya, itu aku yang minta staf untuk pakai nama Rania."
"Kenapa kau lakukan itu?"
"Tekanan proyek, Pa.... Vendor minta cepat, anggaran mepet. Sementara hanya nama Rania yang dipercaya oleh toko bahan bangunan besar. Aku... nggak tahu harus gimana."
Rania hampir menangis, tapi ia tetap diam. Menunggu kalimat pembelaan dari mertuanya... dari siapa saja. Tapi yang datang justru sebaliknya.
Bu Ayu menghela napas panjang. "Rania... kamu istri, kamu harus ngerti posisi suamimu. Niko yang bekerja banting tulang untuk keluarga ini. Kalau sampai namanya rusak karena ini, kamu pikir siapa yang akan menanggung semuanya?"
Rania menatapnya tidak percaya.
"Niko korupsi karena tekanan, karena kebutuhan... dan karena kamu." Kalimat Ibu mertuanya itu seperti tamparan di wajah. "Kamu banyak permintaan, bantu orang tuamu di kampung, beli ini itu. Semua itu butuh uang."
"Ma, saya tidak pernah..."
"Rania, dengarkan dulu." Bu Ayu memotong. Suaranya kini lebih lembut, seolah membujuk. "Kami tahu kamu perempuan baik. Tapi masalah sudah terjadi. Kalau kamu akui saja kelalaian itu di depan Atmadja Holdings, semuanya bisa selesai. Kami akan tanggung ganti rugi. Niko tetap bisa bekerja.Dan kamu... bisa menjadi ibu rumah tangga mengurus suami dan Ibra.
Rania terpaku. Ia tak tahu harus tertawa atau menangis.
"Kamu nggak akan dipenjara. Hanya... nama kamu mungkin akan jelek, susah untuk dipakai lagi di dunia kerja. Tapi kami pastikan hidupmu tetap aman."
Perlahan, Rania nyaris mengangguk. Hatinya goyah, demi Ibra... Anak tirinya.
Tapi tiba - tiba ponsel Bu Ayu berdering. Sebuah nama muncul di layar, Wulan... mantan istri Niko.
Dengan senyuman yang nyaris instan, Bu Ayu mengangkat telepon. "Sayang... iya, Mama masih di kantor. Gimana di rumah? sudah makan? Oh iya, nanti Mama bawain puding favoritmu ya."
Tawa kecil. Suara manja dari seberang. Dan dunia Rania seketika runtuh.
Ia tak berkata sepatah kata pun. Hanya menunduk dan menggangguk pelan saat Bu Ayu menatapnya kembali.
"Jadi, kamu setuju?"
"Iya, Bu," jawab Rania pelan.
Tapi dalam hati, ia bersumpah. Cukup. Cukup sudah aku diam.
************************
Malam itu juga Rania datang ke Atmadja Holdings. Memohon pada asisten Askara agar bisa bertemu, sampai akhirnya Dion, asistennya Askara... mengantar hingga ke depan ruangan.
Rania berdiri di hadapan meja besar berlapis kaca itu. Lampu gantung bergoyang samar, memantulkan bayangan redup di lantai marmer. Ruangan itu sepi, hanya suara degup jantung Rania yang tak karuan. Ia merasa kecil, lelah, dan kotor setelah seharian bergelut di proyek. Tapi ini harus diselesaikan sekarang.
Askara tidak menoleh ketika Rania masuk. Pria itu tetap menatap layar monitornya, jemarinya bergerak cepat di atas keyboard.
"Silakan duduk," katanya singkat.
Rania tidak langsung duduk. Ia menaruh map cokelat di atas meja, lalu berdiri diam menunggu.
"Ada yang ingin anda sampaikan, Bu Rania?"
Rania membuka suara, pelan tapi jelas. "Saya punya bukti bahwa saya tidak pernah menyetujui pengadaan material yang selama ini dilaporkan. Tanda tangan saya dipalsukan."
Askara akhirnya menoleh. Matanya dingin, ekspresinya tetap datar, tak menunjukkan keterkejutan. Ia membuka map itu, memeriksa lembar demi lembar tanpa tergesa."
"Apakah anda menuduh kantor mertua Anda sendiri memalsukan tanda tangan Anda?"
"Saya tidak menuduh, saya hanya menunjukkan apa yang saya temukan." Suara Rania mulai goyah, tapi ia berusaha tetap tenang.
"Siapa yang terlibat?"
".... Suami saya," lirih Rania. "Niko."
"Suami Anda sendiri? Anda yakin?"
Rania mengangguk pelan, matanya sudah berkabut. Tapi ia cepat menarik napas. Menenangkan diri.
Ruangan kembali hening. Askara menyandarkan tubuh ke kursi, lalu menyilangkan tangan di depan dada.
"Dan sekarang Anda minta apa dari saya?"
Rania mengangkat wajahnya, mata mereka bertemu. "Saya tahu ini akan berdampak besar. Tapi saya mohon... jangan seret nama Niko ke publik. Jangan cemarkan nama dia, demi anak saya."
Rania melanjutkan, kali ini dengan suara bergetar, "Saya tahu dia salah. Tapi dia tetap ayah dari anak saya. Kalau namanya hancur, hidup anak saya juga akan hancur. Tolong, Pak Askara. Saya tidak minta Anda memaafkannya. Saya hanya mohon... lindungi namanya. Demi anak saya."
"Anak tiri Anda? Saya baru tahu kalau ada seorang ibu tiri yang begitu mencintai anak tirinya, sampai... rela memohon..."
"Tapi... "
Askara mencodongkan badannya sedikit ke depan, memperlihatkan matanya yang mengkilat tajam. Indah. "Anda tahu, jika saya diam, orang lain yang bicara. Media bisa mencium ini dari arah mana saja."
"Saya akan bertanggung jawab," kata Rania. "Saya akan lakukan apa pun."
"Anda cukup loyal, Bu Rania. Bahkan setelah dikhianati."
Rania memejamkan mata sejenak. "Saya tidak melakukan ini untuk Niko. Saya melakukan ini untuk anak saya"
Askara menatap Rania lama. Lalu ia bangkit dari duduknya, mengambil map, dan berjalan ke sisi jendela besar yang menghadap langit ibukota yang sudah gelap. Gemerlap lampu kota memantul di permukaan kacanya.
"Kerugian ini tidak kecil," gumamnya. "Kami bisa saja melaporkan ke polisi dan mencabut semua kerja sama dengan perusahaan mertua Anda."
"Saya tahu." kata Rania lirih.
"Tapi Anda datang lebih dulu. Anda bicara jujur. Dan Anda mau bertanggung jawab."
Askara membalikkan badan, kembali ke meja. "Saya tidak akan menyeret ini ke ranah hukum. Tapi keluarga Anda harus mengganti semua kerugian. Tanpa pengecualian."
Rania mengangguk, pelan.
"Dan sebagai jaminan," lanjut Askara, "Anda akan bertanggung jawab penuh atas proyek apartemen itu. Anda akan turun langsung, Pastikan semuanya sudah sesuai spesifikasi. Tidak ada lagi ruang untuk kesalahan. Ini satu - satunya cara agar nama suami Anda tetap bersih... dan Anda tetap bisa menebus kerusakan yang dibuat kantor Anda."
Rania terdiam. Tapi dalam diam itu, ada secercah lega. Setidaknya, bukan dengan mengorbankan dirinya sebagai kambing hitam. Setidaknya... ini langkah pertama menuju kebenaran.
"Saya... saya mengerti."
"Mulai besok pagi. Saya akan minta tim teknis melapor langsung ke Anda. Jangan kecewakan saya, Bu Rania."
Rania mengangguk sekali lagi. Matanya mulai memerah, tapi ia menunduk cepat sebelum air mata jatuh.
"Terima kasih, Pak Askara."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Rania baru saja keluar dari ruang itu dengan mata yang tidak sepenuhnya bisa menyembuhkan luka. Di balik pintu yang tertutup rapat, Askara msih berdiri di tempat yang sama. Tangannya menyentuh map, tapi tidak membukanya. Beberapa detik berlalu sebelum ia menekan tombol interkom.
"Panggil Dion ke sini."
Tak sampai dua menit, Dion sudah berdiri di ambang pintu.
"Masuk."
Dion masuk dengan tenang, tubuhnya tegak. Berdiri seperti bayangan yang siap menerima perintah.
"Bagaimana Rania saat di proyek?" tanya Askara, langsung ke inti.
"Fokus. Teliti. Bu Rania tahu apa yang dia cari."
"Dan apa yang dia temukan?"
"Beberapa dokumen manipulatif, nota palsu, hingga material bangunan yang tidak sesuai spesifikasi. Dia mencatat semuanya, Pak."
"Dia terlibat?"
Dion menatap Askara dengan yakin. "Tidak, Pak. Dari cara bereaksi... dia bahkan baru tahu siang tadi. Saya rasa Bu Rania tidka pernah tahu tandatangannya dipalsukan."
Askara diam sejenak, seolah memproses semua jawaban itu satu per satu. Matanya menatap Dion lurus.
"Jadi dia dijadikan kambing hitam..."
"Menurutmu dia layak dipercaya?"
Dion mengangguk mantap. "Ya, Pak. Saya pertaruhkan nama saya untuk itu."
"Baik." Ucap Askara.
Tanpa kata tambahan, Dion mengangguk sopan, lalu mundur satu langkah dan keluar dari ruangan.
Begitu pintu tertutup, Askara berdiri seorang diri di ruangan yang luas dan sunyi. Tapi di dalam dirinya, tak satu pun terasa lapang.
(Bersambung)....