Nathaniel Alvaro, pewaris muda salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sang ibu yang keras: menikah sebelum usia 30, atau kehilangan posisinya. Saat tekanan datang dari segala arah, ia justru menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, seorang gadis pendiam yang bekerja di rumahnya, Clarissa.
Clarissa tampak sederhana, pemalu, dan penuh syukur. Diam-diam, Nathan membiayai kuliahnya, dan perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Tapi hidup Nathan tak pernah semudah itu. Ibunya memiliki rencana sendiri: menjodohkannya dengan Celestine Aurellia, anak dari sahabat lamanya sekaligus putri orang terkaya di Asia.
Celeste, seorang wanita muda yang berisik dan suka ikut campur tinggal bersama mereka. Kepribadiannya yang suka ikut campur membuat Nathan merasa muak... hingga Celeste justru menjadi alasan Clarissa dan Nathan bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nitzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Manis Hari Pertama Pacaran
Pagi datang dengan cerah. Matahari menyusup pelan di balik tirai jendela kamar Nathan, membuat ruangan yang biasanya sepi dan dingin itu terasa lebih hangat dari biasanya.
Nathan terbangun dengan senyum lebar yang sulit ia sembunyikan. Ia mengucek matanya, lalu menarik napas panjang. Aneh. Semuanya terasa berbeda.
Dan memang berbeda. Karena hari ini, Clarissa adalah pacarnya.
Ia mengusap wajah, lalu duduk di ranjang. Ponselnya sudah berdering sejak beberapa menit lalu. Ia raih dengan satu tangan dan di sana, satu notifikasi paling mencolok membuat hatinya berdebar lagi.
Clarissa:
“Selamat pagi, Tuan Alvaro :)”
Nathan nyengir. Jantungnya berdetak cepat hanya karena satu emotikon senyum dari seseorang yang dulu bahkan tak berani ia dekati. Dunia benar-benar berubah.
Ia mengetik balasan cepat.
“Pagi, nona istimewa. Ketemu di dapur?”
*
Clarissa berdiri di dapur dengan celemek bergambar wortel. Rambutnya dikuncir satu, wajahnya segar meski sedikit gugup. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya.
Sesuatu yang disebut: percaya diri.
Semalam, ia sempat tidak bisa tidur karena terlalu memikirkan semuanya. Tapi begitu ia melihat wajah Nathan saat menyatakan cinta, semua keraguan itu lenyap.
“Apa kamu... masak buatku?” suara berat Nathan muncul di belakangnya, membuat Clarissa tersentak kecil.
Ia menoleh dengan senyum malu. “Nggak juga. Aku masak buat semua orang. Tapi... kamu bisa jadi yang pertama nyobain.”
Nathan mendekat, menatap meja makan. Ada nasi goreng telur dengan potongan sosis dan hiasan wortel berbentuk hati. Ia menahan senyum.
“Kamu bikin hati juga?” tanyanya menggoda.
Clarissa pura-pura sibuk merapikan sendok. “Celeste yang ngajarin potongannya. Tapi... ya, aku juga yang bikin.”
Nathan duduk dan mulai makan. Suap pertama membuatnya mengangkat alis.
“Enak?”
“Enak banget.”
Clarissa tersipu. Rasanya seperti memenangkan kompetisi internasional.
Saat itu juga, Celeste muncul dari arah ruang tengah. Rambutnya masih acak-acakan, dan matanya sedikit bengkak karena kurang tidur. Ia menguap lebar dan duduk di dekat pintu dapur.
“Aku mau sarapan juga dong. Jangan cuma pacar doang yang dikasih perhatian,” ucapnya sambil menjulurkan tangan mengambil pisang dari keranjang.
Clarissa tertawa kecil dan langsung mengambilkan piring. Nathan juga ikut tersenyum.
Celeste mengedip nakal ke arah Clarissa. “Gimana rasanya jadi orang spesial?”
Clarissa hanya menjawab dengan senyum penuh arti.
*
Hari itu berjalan seperti biasa. Nathan ke kantor, Clarissa mengurus rumah, dan Celeste... ya, masih seperti biasanya ikut nimbrung di antara keduanya. Tapi sesuatu yang kecil sudah berubah. Tatapan Nathan pada Clarissa kini lebih hangat. Ia tak lagi sekadar memperhatikan dari jauh, tapi dengan rasa memiliki yang baru.
Siang harinya, Nathan mengirim pesan.
“Pulang lebih cepat hari ini. Ada rencana kecil.”
Clarissa membacanya dengan dahi berkerut. Tapi ia tetap membalas.
“Oke :)”
Menjelang sore, Nathan datang membawa dua cup es krim stroberi, dengan satu note kecil di cup yang ia sodorkan pada Clarissa.
“Untuk gadis yang manisnya ngalahin es krim ini.”
Clarissa menutup wajahnya dengan kedua tangan. Wajahnya merah padam, tapi hatinya hangat.
*
Sore menjelang malam, Nathan mengajak Clarissa berjalan-jalan ke taman belakang rumah yang biasanya sepi. Mereka duduk berdua di bangku batu yang dikelilingi bunga anggrek, ditemani senja yang mulai memudar.
Nathan menatap Clarissa lama.
“Kamu tahu nggak, selama ini aku cuma berani lihat kamu dari jauh. Dan sekarang, duduk di sini sama kamu, kayak mimpi.”
Clarissa tersenyum, menunduk. “Aku juga nggak nyangka... bisa sejauh ini.”
Nathan menggenggam tangan Clarissa.
“Boleh aku cium kamu lagi?”
Clarissa menatapnya sebentar. Tak ada penolakan di matanya. Hanya kepercayaan.
Dan sekali lagi, bibir mereka bertemu. Kali ini lebih dalam, lebih lama, dan lebih tenang. Tak ada kata-kata, hanya rasa.
Saat mereka berpisah, Clarissa bersandar di bahu Nathan. Mereka hanya duduk begitu, diam, menikmati momen kecil yang bagi mereka terasa seperti dunia sendiri.
Dari kejauhan, Celeste duduk di kursi gantung dekat halaman belakang. Ia pura-pura membaca buku, tapi sesekali melirik ke arah dua sejoli itu.
Ia tersenyum. Senyum tipis, tapi tulus.
Dan dalam hati, ia berkata pelan: “Hari pertama cinta, semoga jadi awal bahagia.”