Kecelakaan maut yang menimpa sahabat baiknya, membuat Dara Asa Nirwana terpaksa menjalani nikah kontrak dengan Dante Alvarendra pria yang paling ia benci.
Hal itu Dara lakukan demi memenuhi wasiat terakhir almarhumah untuk menjaga putra semata wayang sahabatnya.
Bagaimanakah lika-liku perjalanan lernikahan kontrak antara Dara dan Dante?
Cerita selengkapnya hanya ada di novel Nikah Kontrak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 13
Sudah 13 bab, ⭐️ 5nya dulu Akak-akak. ❤️
Tiba di ruangan Dante langsung mengenakan mic earphones. "Kamera 3 siap? Ayo silahkan kamera 3," ucapnya dengan wajah serius sembari menatap layar berukuran besar di hadapannya.
'Detik-detik babak pertama berakhir,' suara sang komentator olahraga.
Dante berbalik ke arah rekan kerjanya. "Sam, tolong beri aku papan skornya."
Sammy mendongak menatap Dante, mengalihkan pandangannya dari monitor. "Sepanjang aku bekerja tidak ada yang pernah mengatakan 'tolong' padaku," ucapnya dengan haru kemudian memberikan apa yang Dante minta
Dante mengerutkan keningnya, belum sempat ia mengucapkan terima kasih, handphone disakunya berdering. "Halo," jawabnya.
"Dante, bayimu bangun! Dia bau sekali," ucap Roy dengan bingung. Dante pun mendengar suara putranya menangis kencang.
"Hei, Dante. Ini pertandingan besar, kau harus memperhatikannya dengan detail," Sam mengingatkan.
Tatapan Dante beralih kembali pada monitor. "Kamera 4 dan 6. 4 bersiap di keranjang, 2 di bola," ujar Dante.
Dante kembali lagi ke handphonenya. "Kau cium pantatnya, apakah dia buang air besar atau tidak!" perintahnya pada pengasuh sementara putranya.
"Kau sudah gila? Menyuruhku melakukan itu." tanyanya kesal.
"Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan kembali saat istirahat nanti," ujar Dante.
"Saat istirahat? Kau benar-benar menyiksaku, Dante."
Suara tangis Dion terdengar lebih kencang, tapi ia tak punya pilihan lagi selain menunggu babak pertama selesai.
Begitu waktu istirahat tiba, Dante berlari keluar menghampiri putranya.
"Ini dia bayimu!" Roy mengangkat Dion tinggi-tinggi ke arah pintu.
"Oh astaga," gumam Dante, menghampiri Roy. Ia mengambil Dion dari tangan Roy kemudian membawanya ke mobil Roy, ia mengeluarkan segenap keahliannya mengganti popok.
"Oke, oke... Selesai," ucap Dante, ia menyerahkan kembali Dion pada Roy. "Kita sudah setengah jalan, tinggal satu babak lagi."
Namun Roy menolaknya. "Tidak.. Tidak... Aku tidak mau menjaganya."
"Roy, aku mohon bantulah aku! Aku akan membayarmu," bujuknya.
"Tidak. Aku tidak mau uangmu, aku ingin pergi dari sini," tolaknya.
"Ayolah aku mohon, sekali ini saja," pinta Dante memelas. "Demi mendiang Max." Ia terpaksa membawa nama orang tua kandung Dion.
"Baiklah, tapi bagaimana dengan bangku yang nyaman di dalam?"
Dante melongo untuk beberapa detik. "Apa maksudmu?"
"Aku juga ingin nonton pertandingan itu di layar yang besar."
"Tidak!" tolak Dante dengan tegas. "Anak-anak dilarang masuk ke ruang kerjaku, kau harus tetap di sini bersama putraku."
"Tapi sepertinya bayimu juga tak ingin disini, dia ingin menonton pertandingan," elak Roy dengan menggunakan Dion.
"Anakku tidak ingin menonton pertandingan, dia belum mengerti," tolak Dante.
"Anakmu ingin nonton."
"Anakku tidak ingin nonton!"
Perdebatan keduanya tak terhindarkan lagi. "Anakmu ingin nonton!" ujar Roy, kemudian menatap Dion. "Ia kan?"
Dion memberikan reaksi tertawa sembari menepuk-nepuk tangan, bocah itu memang belum mengerti pertandingan basket, namun ia terlihat ingin bersama bapaknya.
"Baiklah!" Dante menyerah, dengan sangat terpaksa ia mengajak teman dan putranya masuk.
Semua mata tertuju pada Dante, saat ia membawa Dion dan pengasuh palsunya masuk keruang kerja. "Hai semua. Ini Dion, putraku bersama pengasuhnya," Dante mencoba terlihat santai mengenalkan Dion dan Roy pada teman-temannya.
Semuanya nampak melongo menatap Dion dan Roy. Bagaimana bisa ada bayi masuk, padahal jelas ada peraturan yang melarangnya. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang berkomentar.
"Hai, Om dan Tante," sapa Roy menirukan suara anak-anak, seolah Dion lah yang menyapa mereka, ia kemudian berjalan mengikuti Dante.
"Ini dia, kursi yang nyaman, layar yang besar, dan minuman dingin dikulkas." Dante menunjuk pada fasilitas yang Roy bisa nikmati di ruang kerjanya.
Roy nampak gembira. "Wow... Aku tidak pernah menonton pertandingan senyaman ini," ujarnya sembari mendudukan Dion di sofa.
"Sekarang kau sudah senang kan?" tanya Dante. Roy mengangguk.
"Bagus! Jaga anakku baik-baik." Dante berjalan kedepan monitor, dan menggunakan kembali mic earphones-nya. "Baiklah semuanya, babak kedua kita mulai," ia mengawalinya.
"Apakah dia pengasuh sungguhan?" bisik Sam, sekilas ia melirik Roy.
"Ya," Dante mengangguk, ia kembali berkonsentrasi.
"Tapi bukankah dia supir taxi online?" tanya Sam kembali, sebab seingatnya ia juga pernah naik taxi Roy.
"Ya," Dante membenarkannya.
"Kau gila," gumam Sam.
'Tinggal 20 detik, tim Garuda kalah satu poin dari tim Merpati,' suara sang komentator.
Disaat yang bersamaan Dion menangis kencang, semua yang ada diruangan mulai merasa terganggu.
'Tak diragukan lagi tim Garuda akan melakukan tembakan terakhir, apakah ini akan berhasil' suara sang komentator olahraga.
Dante menoleh sekilas pada Dion yang terus menangis, namun ia kembali ke monitor mencoba berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaannya."Baiklah kamera 4, tetap ikuti Jeje."
Sayangnya suara tangis Dion lebih kencang dibandingkan dengan suara Dante, sehingga sang kameramen nampak bingung dan membuat tayangan tidak fokus.
Dante berbalik kerekannya. "Lusi, tolong katakan pada kamera 4."
"Aku tidak bisa mendengarmu, Dante," protesnya. Suara tangis Dion memenuhi satu ruangan.
"Ah sayang sekali pelanggaran," ucap Roy kecewa, pria itu malah sibuk menonton sembari minum minuman kaleng, ketimbang mengasuh Dion yang tengah menangis karena bosan.
Dante mengusap wajahnya dengan kasar melirik Roy. "Oke kamera 6 siap," ujarnya sembari menghampiri Roy. "Roy, anakku nangis."
"Iya tapi ini pertandingannya lagi seru," Roy mengabaikan ucapan Dante.
Mendengar jawaban Roy, Dante jadi murka. Ia menutup micnya dengan tangannya. "Kau adalah pengasuh terburuk."
"Aku supir taxi, bukan pengasuh."
"Tolonglah! Aku benar-benar sibuk." Dante kembali pada monitor. "Baiklah kamera 2 ikuti Bisma, eh bukan... Jeje.."
Sang kameramen terlihat bingung dengan perintah Dante.
"Ikuti penembak, kamera 2. Oh tidak, maksudku... Kamera 1... Tidak... Kamera 2."
Suasana semakin tidak kondusif, diakhir pertandingan Dante gagal mengarahkan juru kamera sehingga melewatkan momen bola masuk ke ring.
'Dan akhirnya tim Garuda memenangkan pertandingan yang luar biasa ini, mengalahkan mengalahkan tim Merpati 1 poin,' suara sang komentator.
Dante menghempaskan tubuhnya di kursi, ia sudah pasrah jika ini adalah akhir dari karirnya.
justru karena kalian udah lama gak punya anak sehingga kalian gak tahu prakteknya dan hanya tahu teorinya aja gitu
pengalaman itulah yang lebih penting dan teori itu gak sama dengan praktek di kenyataannya lhooo
jadi jangan sok keminter atau sok tahu segalanya deeeh
awalnya aja udah gak baik jadi saya kok ikutan sanksi jika Dion akan baik-baik aja di rumahnya Albert dan Cindy yaaak
heeeeeem 🤔🤔🤔🤔
baru beberapa saat yang lalu kamu mengeluh tentang otot pinggangmu eeeeh di depan Dara sok kuat seeeh🤣🤣🤣🏃🏃🏃
pantas aja koper yang akan dibawa Dion banyak banget