NovelToon NovelToon
Dion (1)

Dion (1)

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat / Cintapertama / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Murni / Anak Lelaki/Pria Miskin
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12: Kencan Pertama

Hari sudah hampir gelap ketika Wina, Dion dan Mbak Ria sampai di rumah. Oppung yang menyambut di depan pintu terheran melihat Dion menenteng dua plastik besar. Ia juga memperhatikan Dion yang kini mengenakan pakaian berbeda dengan tadi siang.

Sebelum kembali ke rumah Wina, Dion memang membersihkan diri dan mengganti pakaian. Ia berusaha tampil baik, bagaimana pun ia berniat kencan dengan Wina malam itu.

“Banyak sekali mangga ini Wina,” ujar Oppung melihat dua kantung plastik besar yang diletakkan Dion di meja teras.

“Iya Oppung. Yang ini masih mentah biar bisa disimpan lama,” jelas Wina sembari menunjuk salah satu kantung. “Yang satu ini campuran setengah matang dan yang sudah matang,” tambahnya lagi.

“Bah, pintar kau inang!” Oppung memuji cucunya.

Pada masyarakat Tapanuli, inang yang berarti ibu, juga adalah panggilan hormat pada wanita yang lebih tua atau dituakan. Tapi juga sering digunakan sebagai panggilan sayang pada anak atau cucu perempuan.

“Bawalah masuk. Aku juga mau makan obat sudah waktunya,” kata Oppung kepada Ria lalu masuk ke dalam rumah. Ria pun mengangkat kedua plastik itu mengikuti Oppung.

“Dion tunggu di sini sebentar, ya! Wina mandi dulu sekalian mau minta izin Oppung,” ujar Wina yang kini tinggal berdua pada Dion dengan nada pelan.

“Iya, Kak,” jawab Dion singkat yang berharap mendapatkan izin dari nenek Wina.

Di dapur Wina mendapati Oppung sedang duduk di meja makan sambil ngobrol dengan Mbak Ria dan Mbak Sari yang sedang mencuci mangga.

“Mangganya enak sekali Oppung. Wina kulitin untuk Oppung, ya?” tawar Wina pada neneknya sambil meletakkan sebuah mangga yang sudah matang dan dicuci di atas piring.

“Sedikit saja soalnya aku belum makan malam,” Oppung menyetujui penawaran Wina.

Wina lalu duduk di samping neneknya lalu menguliti sebuah mangga dan memotonginya.

“Coba lah Oppung,” Wina menyuapkan sepotong mangga pada neneknya. “Enak kan Oppung?

Oppung mengangguk. Ia merasa gembira mendapat perlakuan cucunya itu, “Pasti ada maunya si Wina ini,” pikir Oppung mulai curiga.

“Oppung, sudah lama lah Wina nggak makan bakso,” Wina mulai menyampaikan maksudnya dengan menirukan gaya bicara neneknya.

“Ada bakso terkenal kan, Oppung. Semua kawanku cerita soal itu. Cuma aku saja yang belum pernah ke sana,” sambung Wina manja sementara Oppung sudah mulai menebak maksud Wina.

“Kan pas ada si Dion, aku tadi minta dia kawani Wina ke sana,” Wina menerangkan maksudnya.

“Hmm,” begitu respons si Oppung.

“Boleh ya, Oppung?” bujuk Wina manja kembali menyuapkan mangga pada neneknya.

“Iya boleh. Tapi jangan lama-lama kalian, ya,” jawab Oppung.

Wina tak merespons jawaban Oppung. Alih-alih, ia meminta Mbak Ria menggantikannya menguliti mangga. “Wina mandi dulu ya Oppung!” serunya setengah berteriak sambil berlari menuju kamarnya.

Oppung hanya geleng-geleng kepala. Ia semakin yakin cucunya itu sedang jatuh hati pada Dion.

...***...

“Oh Tuhan, dia cantik sekali!” pikir Dion memandangi Wina yang baru saja turun dari kamarnya menemuinya di teras.

Dipandangi begitu rupa, Wina sedikit gugup.

Wina terlihat sangat cantik anggun dengan dress terusan biru muda bermotif bunga hitam. Ia menenteng tas tangan berwarna coklat dan sepatu kets berwarna serupa. Wina membiarkan rambutnya terurai melewati kedua bahu.

Mungkin Wina sengaja memilih warna pakaian yang serasi dengan Dion yang mengenakan kemeja flanel biru muda melapisi t-shirt hitam dan sneaker kanvas berwarna coklat.

“Ada yang salah Dion?” tanya Wina sambil mengernyitkan keningnya karena Dion masih saja menatapinya.

“Kakak cantik sekali!” seru Dion kagum membuat Wina tersipu malu.

“Bener ya, aku cantik?” Wina ingin memastikan sambil memutar badan memamerkan penampilannya.

“Ioh, pe gaga. Pasti….”

Kalimat Dion terputus karena menyadari Oppung sudah hadir di depan pintu. “Sudah mau pergi kalian?” tanya Oppung setelah Dion dan Wina menghentikan kegiatan kagum-kaguman tadi.

“Iya Oppung,” jawab Dion sebelum Wina menyahut pertanyaan itu.

“Di mana rupanya tempat jual bakso itu?” tanya Oppung pada Dion.

“Di Thamrin, ada tempat makan di lantai lima,” Dion menyebutkan sebuah pusat perbelanjaan yang berada agak jauh dari rumah Wina.

Nenek Wina itu tampak cemas dan ragu sejenak. Tapi akhirnya menetapkan hatinya. “Ya sudah. Kalian hati-hati lah, ya! Jangan ke mana-mana lagi habis makan bakso.”

“Iya! Habis dari sana kami memang gak ke mana-mana lagi,” sahut Dion.

“Kami pergi ya, Oppung!” seru Wina berpamitan.

Keduanya berjalan meninggalkan Oppung masih memandangi mereka dari depan pintu.

...***...

Sudah hampir setengah delapan malam ketika keduanya tiba di food court yang menyediakan beragam makanan dari berbagai gerai.

Setelah melakukan pemesanan dan membayarnya, Dion lalu mengajak Wina ke balkon food court yang luas. Beberapa pasangan muda-mudi sudah terlebih dahulu berada di sana.

Dion memilih tempat duduk berdekatan dengan pagar balkon agar bisa menikmati pemandangan kota Medan di waktu malam.

Wina menyukai suasana food court itu. Dion benar, meskipun ramai tapi tidak terasa sesak karena jarak antara meja lumayan berjauhan.

“Dion, di sini tempat orang pacaran, ya?” tanya Wina pada Dion karena ia melihat hampir semua pelanggan malam itu adalah pasangan.

Dion memeriksa keadaan di sekitarnya dan memperhatikan para pelanggan. “Tampaknya sih iya,” jawab Dion tersenyum malu.

“Kok tampaknya?” tanya Wina lagi.

“Aku kan tidak pernah ke sini di waktu malam. Kalau siang sih, ini tempat nongkrong. Campur-campur, ada pegawai kantoran, anak sekolahan, mahasiswa dan keluarga juga,” jawab Dion seolah membela diri.

“Tapi kita suka suasana di sini. Kamu benar di sini santai sekali,” ujar Wina yang tidak ingin Dion merasa bersalah karena mengajaknya ke sarang orang pacaran.

Tak lama kemudian seorang pelayan mengantarkan pesanan Dion dan Wina.

“Kak, kalau mejanya diputar supaya menghadap ke luar boleh nggak?” tanya Dion kepada pelayan yang sedang meletakkan makanan.

“Boleh saja, Bang. Asal kalau sudah selesai, diputar kembali pada posisi semula,” jawab pelayan itu.

Keduanya kemudian sudah asyik menikmati bakso yang memiliki porsi yang lebih besar dari biasa itu.

Sambil makan, Wina yang ingin mengenal Dion lebih dekat mulai bertanya tentang keluarga Dion dan masa kecilnya. Ia bertanya tentang teman-teman Dion dan juga kegiatan Dion sehari-harinya selain kuliah dan bekerja.

Dion yang biasanya tidak suka menceritakan kehidupan pribadinya, sebisa mungkin menjawab pertanyaan-pertanyaan Wina terutama soal keluarganya.

Tapi Dion menjadi antusias bercerita mengenai teman-temannya yang sebenarnya tidak banyak. Kebanyakan teman satu sekolah, satu kuliahan dan beberapa dari kalangan remaja gereja.

“Aku tidak banyak bergaul. Soalnya pagi kuliah, malam kerja. Kalau day off sesekali aku mengunjungi mereka,” tutur Dion.

“Apalagi setahun belakangan, aku biasanya menghabiskan day off untuk cuci baju, bersihin kamar dan belajar sampai tengah malam. Karena aku kan tak punya waktu banyak untuk belajar di hari biasa,” Dion menceritakan rutinitasnya.

“Nah sekarang aku sudah lebih santai. Kuliahku tinggal menunggu ujian dan presentasi tugas akhir. Kalau day off aku bisa tidur seharian di kamar bermalas-malas ria,” sambung Dion.

“Day off-nya Dion hari apa?” tanya Wina.

*“Di kantorku, day off* hari Sabtu hanya diperuntukkan bagi yang masih melajang. Karena di bagian kami yang bujangan hanya dua orang, jadi day off hari Sabtu bergantian, sisanya hari Jum’at,” jelas Dion.

“Kok aneh begitu?” Wina penasaran.

“Iya. Kan memberi kesempatan para bujang malam mingguan, membina hubungan gitu, lho,” jawab Dion.

“Benar juga. Itu perlu ditiru kantor-kantor yang memiliki jam kerja malam hari,” Wina menimpali.

“Romi temanku yang masih single sepertinya akan melepas status bujangannya dalam waktu dekat. Jadi aku hanya akan day off hari Sabtu,” keluh Dion.

“Lho, malah tidak senang dapat day off hari Sabtu?”

“Iya dong! Pertama, karena aku tak punya pacar.”

“Trus yang kedua?”

“Kedua, Sabtu malam malah bukan waktu yang tepat untuk mengunjungi teman, karena mereka sedang asyik pacaran.”

Penjelasan Dion membuat Wina tertawa. “Makanya cari pacar,” ledeknya.

Dion hanya diam saja mendengar perkataan Wina. “Ini juga lagi cari pacar,” ujar Dion dalam hati.

Keduanya kemudian sibuk mengomentari bakso yang sedang mereka santap.

...***...

“Ayo Kak! Bantu aku puterin mejanya,” ajak Dion yang memindahkan kursinya agar meja bebas diputar. Mereka baru saja menghabiskan bakso dan kini hanya menikmati minuman masing-masing.

Karena meja diputar merapat ke balkon, kini mereka duduk berdampingan menghadap ke arah luar. Tampak lampu kerlap-kerlip menghiasi horizon serta sorot-sorot lampu kendaraan memenuhi lorong-lorong jalanan Kota Medan.

“Kalau pas day off gak ada teman, datang ke rumahku aja. Nanti aku ajarin kickboxing,” ujar Wina yang kini duduk berdampingan dengan Dion.

“Ha? Yang kemarin saja masih sakit,” keluh Dion sambil mengusap-usap kakinya.

“Ih, cengeng! Lagipula yang kena tendang kan kaki kiri, kenapa Dion mengusap yang kanan?” ledek Wina.

“Memang gak ada yang marah kalau aku sering-sering ke rumahmu?” tanya Dion.

“Gak lah! Aku kan tak punya pacar.”

“Bukan harus pacar, Kak. Maksudku keluargamu, Oppung misalnya.”

“Aku tidak tahu pasti. Kukira Oppung menyukaimu.”

“Asyik, jadi bisa memandangi kota!” Wina mengomentari pemandangan di hadapannya.

Berbeda dengan Wina, Dion justru memandangi sekitar mereka. Ia geli mendapati pasangan di sebelah kanannya juga ikut memutar meja. “Liat Kak! Mereka meniru kita,” kata Dion.

Wina yang menoleh ke arah ditunjuk Dion jadi tertawa geli. “Wah, yang sebelah kiri juga,” tambah Dion sembari menunjuk ke arah kiri.

Wina pun melirik ke sebelah kirinya melihat pasangan itu juga memutar meja mereka menghadap ke balkon. Wanitanya bahkan sedang meletakkan kepala ke bahu pasangannya.

Wina dan Dion cekikikan bersamaan.

“Hadoh, torang jadi panutan orang pacaran malam ini,” ujar Dion membuat Wina semakin tak bisa menahan tawanya.

Setelah beberapa saat, Wina kemudian berdiri di tepi pagar balkon memandangi ke arah pelataran di bawahnya yang juga ramai orang berpacaran.

“Dion sini deh, liat tuh!” seru Wina.

Dion pun beranjak berdiri ke samping Wina untuk melihat ke arah yang ditunjuk.

Pelataran itu memang memiliki taman kecil dan kursi-kursi panjang. Semua tempat duduk telah ditempati oleh pasangan berkasih-kasihan, bahkan ada yang duduk di tepi pembatas taman.

“Astaga! Kakak benar. Tempat ini memang berubah jadi sarang pacaran di malam hari,” ujar Dion.

Wina memandang lurus melihat suasana kota di malam hari. Selain orang-orang yang berpacaran di sekeliling mereka, Wina memang sangat menikmati suasana di tempat itu.

Angin semilir yang berhembus menyentuh wajah Wina dengan lembut, membuat ia menutup matanya untuk sesaat.

“Kuharap Dion berani untuk lebih berinisiatif. Aku tak mungkin terus-terusan mencari siasat agar bisa bertemu. Aku tahu kau menyukaiku Dion!” gumam Wina dalam hati memikirkan Dion yang sedang berdiri di dekatnya. Mungkin Wina sedang terpengaruh oleh suasana romantis tempat itu.

Melihat Wina menutup mata membuat Dion berpikir gadis itu sedang kedinginan. Dion mendekatinya dan berdiri sedikit merapat.

“Dingin, Kak?” tanyanya kepada Wina.

“Nggak,” jawab Wina.

“Sini! Aku ingin tahu seberapa lama waktu yang dibutuhkan oleh mereka untuk ikut-ikutan meniru kita,” cetus Wina setengah berbisik lalu menggandeng lengan Dion.

Hati Dion berbunga-bunga kembali digandeng oleh gadis pujaannya. Berdekatan begitu membuatnya bisa mencium parfum Wina yang lembut.

“Sebentar lagi kan D1-mu akan selesai. Bagaimana rencanamu berikutnya?” tanya Wina yang kini menggandeng Dion.

“Aku ingin melanjutkan ke D3 atau kalau mungkin S1. Tapi masih harus menunggu setidaknya selama setahun. Soalnya tabunganku belum cukup,” jawab Dion.

“Kan Dion sudah punya penghasilan, kenapa ragu?” tanya Wina.

“Iya sih. Tapi kan aku harus memikirkan biaya hidup seperti kontrak rumah, biaya makan dan lain-lain. Aku takut kuliah terputus kalau tiba-tiba terkena PHK,” jelas Dion.

“Memiliki tabungan bisa membantu setidaknya mengurangi rasa was-was. Kalau ada PHK, masih punya persediaan untuk beberapa bulan sebelum menemukan pekerjaan baru,” tambah Dion berkeluh kesah.

Wina bersimpati pada Dion. Kehidupan yang serba pas-pasan membuat seseorang berhati-hati dengan rencana kehidupannya. Berbeda dengan dirinya yang tak pernah dihadapkan pada keadaan serupa.

“Lihat, sudah ada yang meniru kita! Tuh yang sebelah sana!” seru Dion setengah berbisik membuyarkan lamunan Wina.

Wina menoleh ke arah itu dan melihat sepasang kekasih juga ikut berdiri menirukan pose mereka. Keduanya pun tertawa keras membuat para pasangan di tempat itu memandangi keduanya untuk sesaat.

“Sepertinya mereka ini semua rookie,” Dion berkomentar.

“Ih, kamu seperti sudah expert saja. Tahu dari mana memang memangnya kalau mereka itu pemula?” tanya Wina.

“Paling-paling sebentar lagi mereka pulang, takut dimarahin orang tua! Kalau sudah tingkat advanced, mereka akan di tempat ini sedikit larut dan adegannya lebih ‘hot’ gitu,” jawab Dion yang sebenarnya hanya menebak.

“Asumsimu masuk akal juga. Tapi kalau mereka itu rookie, level kita apa nih?” tanya Wina geli.

“Ibarat game, kita masih di level yang paling bawah, training. Belum pun memainkan permainan sesungguhnya,” guyon Dion disambut tawa Wina.

“Sudah jam berapa?” tanya Dion setelah beberapa saat.

Wina yang masih memegangi lengan Dion melirik ke arah jam di tangan kirinya. “Sudah melewati 8.45,” sahut Wina. Sudah lebih dari satu jam Dion dan Wina berada di tempat itu.

“Kak, kita harus kembali,” ujar Dion dengan nada rendah seolah menyesali cepatnya waktu berlalu.

“Buru-buru amat sih? Di rumah juga gak ada teman bercerita,” Wina protes karena masih ingin berlama-lama di tempat itu.

“Nanti Oppung khawatir, lho! Kita tak boleh membuat Oppung kecewa pada kesempatan pertama. Kita lanjutkan ngobrol di rumah saja,” bujuk Dion.

Meskipun kecewa harus segera pulang, Wina merasa senang juga mendengar kata-kata Dion yang mengisyaratkan akan ada kesempatan berikutnya.

“Sebagai panutan di sarang cinta yang baik, kita kembalikan mejanya pada posisi semua,” ajak Dion sambil menggeser meja ke posisi semula.

...***...

Dari ruang tamu, Oppung bisa mendengar suara becak bermotor yang berhenti di depan rumah disusul suara tawa Wina.

Oppung melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9.15. Wanita tua itu senang, cucunya dikembalikan lebih cepat dari perkiraan.

“Gimana, enak baksonya?” tanya Oppung pada Wina yang berjalan melewati ruang tamu menuju dapur.

“Oppung belum tidur, kenapa masih di sini?” tanya Wina yang mendapati neneknya masih terjaga.

“Belum bisa tidur, tadi habis teleponan sama tantemu,” jawab Oppung berbohong, padahal sedari tadi hanya duduk diam di ruang tamu menunggui cucunya yang pergi berkencan untuk pertama kalinya.

“Kenapa tak kau jawab pertanyaanku tadi?” tanya Oppung lagi.

“Iya enak Oppung. Tempatnya juga enak kali buat bersantai. Tapi habis makan si Dion langsung bilang pulang. Nanti Oppung marah, katanya kek gitu,” jawab Wina membuat Oppung tersenyum karena logat Medan cucunya yang kadang janggal.

“Trus sudah pulang si Dion itu?” Oppung kembali bertanya.

“Masih ada, katanya dia mau ngobrol sama Oppung sambil minum kopi,” sahut Wina usil.

“Oppung sudah mengantuk. Kalian lah ngobrol, aku sudah mau tidur,” Oppung menolak usul Wina.

“Ria jangan tidur kau dulu ya. Tutup pagar kalau si Dion sudah pulang,” kata Oppung yang berjalan menuju kamarnya kepada Mbak Ria yang sedang asyik menonton televisi bersama Mbak Sari.

“Biar nanti Wina yang tutup Oppung,” timpal Wina yang sedang menyeduh kopi buat Dion. Ia jelas tak mengerti maksud neneknya itu.

Oppung tak merespons perkataan Wina. Ia hanya diam menatap Mbak Ria menunggu jawaban. “Iya Oppung. Nanti Ria tungguin,” kata Mbak Ria menjawab tatapan Oppung.

Wina menyajikan kopi lalu duduk di kursi di samping Dion. Ia lalu menceritakan perintah Oppung agar Ria menunggu sampai Dion pulang.

Dion lalu tertawa. “Mbak Ria disuruh jaga nyamuk. Itu karena Oppung khawatir,” ujar Dion.

“Khawatir apa sih? Emangnya Dion mau berbuat jahat?” tanya Wina yang masih kesal pada Oppungnya.

Bukan Dion yang dikhawatirkan. Tapi kalau-kalau cucunya tak kuat menahan rayuan gombal,” jawab Dion lalu tertawa geli.

“Awas, e!” Wina ikutan tertawa. Kini ia paham maksud neneknya. “Seperti Oppung nggak pernah muda saja.”

“Justru karena Oppung pernah muda, makanya sudah paham betul yang beginian ujung-ujungnya..,” ucapan Dion berhenti. Dia menyesali perkataannya itu karena di tahu betul akan digunakan oleh Wina untuk usil padanya.

“Beginian ujung-ujungnya apa?” tanya Wina.

“Ujung-ujungnya bisa pulang pagi. Kulit bengkak-bengkak akibat gigitan yamuk,” jawab Dion.

“Ih.. sepertinya bukan itu deh,” kata Wina.

Sisa waktu kunjungan malam itu mereka habiskan dengan obrolan ringan, canda dan guyon yang membuat Wina tak berhenti tertawa.

Setelah malam itu, Dion dan Wina semakin akrab. Hampir setiap sore Dion menelepon Wina untuk saling bertukar kabar. Dion juga semakin berani berinisiatif menemui Wina, baik di kampus atau di rumah gadis itu.

Hampir pada setiap waktu luang, Dion mengajak Wina ke suatu tempat, sekadar makan siang atau menikmati jajanan unik kota Medan.

Wina pun semakin nyaman bila berada di dekat Dion. Ia suka guyonan pemuda itu. Dion adalah pemuda yang sopan dan selalu ramah. Dion juga adalah tipe orang yang selalu bersikap positif.

Kecuali satu hal, Dion masih saja sering gugup pada situasi tertentu terutama ketika Wina menatapnya mesra untuk memberi isyarat. Wina yang menginginkan tatapan teduh Dion sering kali harus gigit jari.

1
Anonymous
Bikin baper... /Drool//Drool//Drool/
Desi Natalia
Ingin baca lagi!
Type2Diabetes
Terharu...
Anonymous
/Drool//Drool//Smile//Smile/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!