Ariana harus menerima pukulan terberat dalam hidupnya, ketika suaminya ketahuan selingkuh dengan adiknya. Siapa yang mengira, berkas yang tertinggal suatu pagi membawa Ariana menemukan kejam suatu perselingkuhan itu.
Berbekal sakit hati yang dalam, Ariana memutuskan untuk pergi dari rumah. Namun dibalik itu, dia secara diam-diam mengurus perceraian dan merencanakan balas dendam.
Apakah Ariana berhasil menjalankan misi balas dendamny??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ristha Aristha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MAKAN MALAM
"Kenzi!" Aku melambaikan tangan saat melihat Kenzi memasuki restoran. Kami janjian bertemu di tempat ini, meskipun dia sedikit terlambat.
"Maaf, Bu. Tadi ada sedikit tambahan kerjaan. Apa Bu Riana sudah menunggu lama?" Tanyanya dengan raut wajah bersalah.
Aku menggeleng. "Aku belum terlalu lama. Duduklah!"
Di detik yang sama Kenzi menarik kursi di depanku dan langsung duduk. Dia mengambil waktu sebentar untuk melepas jaket dan meletakkan tas di bawah, sebelum akhirnya kembali menghadap ku dan tersenyum. Aih, anak muda ini manis sekali.
"Aku baru ngeuh, ternyata kamu punya lesung pipi", responku tiba-tiba, merasa terkejut melihat detail yang baru saja kusadari.
Kenzi terlihat bingung, meski dia juga menyentuh pipi kirinya. "Saya memang punya satu, Bu. Tapi kadang memang tidak begitu kelihatan. Apa aneh?"
Aku menggeleng dengan tegas. "Sama sekali tidak aneh, malah menurutku terlihat manis".
"Manis?"
"Ya. Kamu punya lesung pipi, bulu mata lentik, alis tebal. Hah! Aku iri banget sebagai perempuan ", kataku sedikit mengeluh, meskipun sisanya becanda.
"Kenapa iri? Bu Riana juga punya wajah yang awet muda. Rambut bagus bibir tipis. Terus ada tahu lalat dibawah mata__"
Tanpa sadar mataku membola. Detail sekai Kenzi memperhatikanku sampai memperhatikan tahi lalat kecil dibawah mataku.
"Ah, Maksud saya... Bu Riana sudah sempurna seperti ini. Tanpa lesung pipi dan bulu mata lentik, Bu Riana sudah sangat cantik.
Sebentar. Ada apa dengan jantung yang mendadak seperti ini? Apakah karena aku jomblo jadi pujian dari Kenzi membuatku deg-degan sesaat? Tidak mungkin, dia tiga tahun di bawahku. Jangan berpikir terlalu jauh, Riana.
Tak mau situasi menjadi semakin canggung, aku buru-buru membuka buku menu. "Mau pesan makanan sekarang?" Ujarku mengalihkan pembicaraan.
Aku menunduk, jadi aku tidak bisa memastikan reaksi seperti apa yang Kenzi buat sekarang. Namun yang jelas, aku bisa mendengar sedikit kekehan dari anak itu. Menyebalkan, apa dia bersenang-senang melihatku salah tingkah?
"Aku bingung, Bu", ucap Kenzi. "Bisa Bu Riana rekomendasikan mana yang enak?"
Seketika wajahku diangkat. Kalau soal rekomendasi makanan, aku percaya diri. Lidahku bisa sangat di percaya. "Apa yang kamu suka?" Tanyaku sambil melempar buku kesamping.
Kenzi terdiam sebentar. Lalu menunjuk nasi goreng udang di buku menu. "Aku penasaran sama ini. Tapi aku takut udangnya bikin amis".
"Ah, jadi hidungmu lumayan sensitif?" Kataku menebak. "Kalau yang gak suka amis, daripada nasi gudang aku lebih rekomendasikan nasi goreng jamur ini". Aku menunjuk gambar dibagian ini.
"Apa ini enak?" Kenzi terdengar ragu-ragu.
Namun aku segera memberikan anggukan. "Menurutku enak, sih. Tapi tergantung selera, kalau kamu gak mau__"
"Saya mau, Bu. Pokoknya yang Bu Raina bilang enak, saya mau coba", potongnya sangat bersemangat.
Aku berhenti untuk menatap Kenzi sejenak. Jujur, rasanya bahuku naik kerena dipercaya seperti ini. Kemudian, "Oke, kamu bisa mengandalkan lidahku".
Setelah memesan beberapa menu pendamping nasi goreng dan minuman, kami kembali mengobrol ringan dan santai. Rasanya seperti makan dengan teman, Kenzi sangat pandai membawa diri.
"Ngomong-ngomong, apa orang kantor masih ngasih kamu banyak kerjaan?" Tanyaku disela-sela obrolan.
Kenzi menggeleng. "Udah nggak begitu, Bu. Lagian saya juga sudah mulai terbiasa dengan pekerjaan disana".
Aku mengangguk-angguk paham. "Tapi kenapa kamu pulang telat tadi?"
"Ah, soal itu tadi..." Kenzi terlihat mengaduk lemon tea yang datang lebih dulu. "Tadi penulis Senja datang ke kantor dan protes karena editornya di ganti tiba-tiba".
"Senja?" Mataku terbelalak. "Penulis yang kita temui waktu itu?"
"Iya, Bu". Kenzi mengangguk. "Dia nggak terima kalau bukan Bu Riana editornya".
"Oh, ya?" Tanyaku sedikit kaget. "Bukannya sudah ditangani langsung oleh editor lain?"
"Nah, dia nggak mau". Kenzi menghela napas, menyampaikan kelelahan. "Kayaknya dia sudah cocok sama Bu Riana . Padahal kan seharusnya sama saja, ya? Nyebelin banget ".
Aku tertawa kecil. "Mungkin dia merasa nyaman dengan caraku mengedit. Setiap editor mempunyai gaya masing-masing".
Kenzi tersenyum kecut. "Iya, mungkin itu sebabnya. Dia bahkan sampai ngotot minta ketemu sama Bu Riana hari ini juga".
"Oh, ya? Apa dia sudah tahu kalau aku sudah tidak di kantor itu lagi?"
"Saya sudah kasih tahu. Dan Bu Riana tahu? Dia ngotot minta nomor ibu!" Mata Kenzi membesar, menunjukkan betapa seriusnya permintaan Senja.
Aku tertawa terbahak-bahak. "Hahaha..."
Cara Kenzi menceritakan dengan menggebu-gebu membuatnya terlihat merajuk, dan itu cukup menggemaskan. "Lain kali, aku ajak dia ketemuan deh".
Kenzi tiba-tiba berteriak. "Apa? Bu Riana mau ngajak dia ketemuan?"
Aku menatap Kenzi dengan bingung, meski tetap mengangguk mengiyakan. "I_iya. Dia penulis pertamaku yang mendapatkan kontrak eklusif, jadi aku mau pamitan dengan benar". Ucapku menjelaskan.
"Tch!" Kenzi mencebik, kemudian bergeming sambil menyendok nasi goreng yang sudah datang saat kami mengobrol tadi. "Aku nggak suka sama anak tengil itu", lanjutnya.
"Maksudmu, Senja?"
"Iyalah. Siapa lagi?" Kenzi mendesah, matanya menatap piring dengan kesal.
Sudut bibirku naik. Mereka berdua sama-sama masih muda, mungkin itu sebabnya Kenzi dan Senja tidak pernah akur?
"Kenzi, kayaknya aku udah pernah bilang kalau kita perlu merawat hubungan dengan para penulis?" Aku melirik kearah Kenzi. Saat anak itu mengangguk, aku menyambung, "Ini resiko kerjaan kita. Suka gak suka, kita harus tetap profesional. Siapa tahu nanti selesai magang, kamu bisa lanjut jadi karyawan disitu?"
Kenzi menggeleng. "Aku nggak mau".
Aku reflek menghentikan sendok yang hampir masuk kedalam mulut. "Kamu gak mau dapat kerjaan langsung?"
"Nggak gitu, Bu. Saya nggak mau kerja disana".
"Apa kamu punya alasan?" Tanyaku memastikan.
Kenzi memberikan anggukan kecil. "Habis lulus, aku kerja di perusahaan cabang papa". Dia mengucapkannya dengan santai, tapi aku justru menahan napas membayangkan betapa senangnya tingkah ekonomi kami.
"Ah, aku lupa. Orangtuamu kan, kaya raya". Aku tertawa kecil, mencoba mengimbangi kenyataan ada.
Seolah-olah tak mengelak, Kenzi tersenyum lebar. Sepertinya dia bangga dengan statusnya. Yah, kalau aku jadi dia, aku juga akan menyombongkan hal itu.
Obrolan kami lancar seperti aliran sungai. Sesekali Kenzi membicarakan soal pekerjaan, dan sisanya aku mengajaknya membicarakan hal-hal ringan. Hingga tanpa sadar, makanan yang kami pesan habis tak tersisa.
"Terimakasih banyak, Bu Riana. Saya sangat menikmati makan malamnya ", ucapnya.
Aku tersenyum, lalu mengangguk. "Syukur kamu suka", kataku. "Kalau gitu, mau pulang sekarang?"
"Ya. Tapi saya gak bawa mobil, Bu ".
"Mau bareng? Lagian Kitakan tinggal di apartemen yang sama", ujarku menawarkan tumpangan.
Kenzi tersenyum lagi, kali ini lebih hangat. "Boleh, Bu. Terimakasih banyak". Dia mengangkat tasnya, dan bersiap pergi. Aku mengikuti, merasa cukup puas dengan malam ini.
Kami berjalan menuju mobilku, suasana malam yang sejuk dan lampu kota kelap-kelip menambah kehangatan suasana.
Di dalam mobil, kami kembali bercakap-cakap, kali ini dengan topik yang lebih santai. Tanpa sadar, kami sudah tiba di tujuan.
Awalnya, kami masih bercanda dan berjalan santai meninggalkan parkiran. Suasana malam itu terasa ringan dan hangat, di penuhi tawa dan percakapan yang ringan. Namun, saat tiba di depan gedung, langkahku terhenti saat melihat seseorang yang berdiri disana.
"Riana!"
Itu Papa. Jantungku seketika berdetak lebih cepat. Ada apa Papa malam-malam datang kesini? Apa dia sudah lama menunggu? Kenapa dia tidak mengabari ku lebih dahulu kalau mau datang? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalaku, tapi rada sakit hati yang belum hilang menahan ku untuk mengungkapkannya.
Aku bergeming sebentar, dadaku sesak. Tanpa kusadari airmata mulai mengalir . Kenzi yang melihatku menangis, segera bertanya dengan khawatir, "Bu Riana, ada apa? Apa ibu baik-baik saja?"
Aku mengangguk sambil berusaha tersenyum, meski terasa getir. "Aku gak apa-apa", kataku. "Kamu bisa naik duluan. Aku mau bicara sama Papa".
Kenzi tampak ragu-ragu, enggan meninggalkanku sendirian. Namun, setelah melihat kesungguhan di mataku, dia akhirnya menurut. "Baiklah, Bu. Kalau ada apa-apa, tolong kabari saya, ya", ujarnya dengan lembut sebelum melangkah pergi, memberikan ruang untuk aku dan Papa.
Setelah Kenzi pergi, aku mendekati Papa yang masih berdiri di tempat yang sama, tampak senang namun dengan sorot mata yang penuh dengan beban. "Kenapa Papa bisa ada disini?" Tanyaku, suaraku hampir berbisik.
"Papa mau bicara sama kamu, Riana", jawabnya pelan, suaranya terdengar berat.