Perjalanan hidup Kanaya dari bercerai dengan suaminya.
Lalu ia pergi karena sebuah ancaman, kemudian menikah dengan Rafa yang sudah dianggap adiknya sendiri.
Sosok Angela ternyata mempunyai misi untuk mengambil alih harta kekayaan dari orang tua angkat Kanaya.
Selain itu, ada harta tersembunyi yang diwariskan kepada Kanaya dan juga Nadira, saudara tirinya.
Namun apakah harta yang di maksud itu??
Lalu bagaimana Rafa mempertahankan hubungannya dengan Kanaya?
Dan...
Siapakah ayah dari Alya, putri dari Kanaya, karena Barata bukanlah ayah kandung Alya.
Apakah Kanaya bisa bertemu dengan ayah kandung Alya?
Lika-liku hidup Kanaya sedang diperjuangkan.
Apakah berakhir bahagia?
Ataukah luka?
Ikutilah Novel Ikatan Takdir karya si ciprut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon si ciprut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gosip
Sudah seminggu mereka tinggal di kota kecil itu. Kanaya mulai bekerja paruh waktu di toko roti dekat alun-alun, sehingga setiap pagi Rafa yang mengurus putrinya. Bocah itu baru berusia beberapa bulan, pipinya masih tembam, matanya besar dan selalu terlihat penasaran.
Namanya Alya.
Rafa tidak pernah punya pengalaman mengurus bayi, tapi anehnya… Alya seperti langsung menyukainya. Sangat menyukai malah.
Suatu pagi, Rafa sedang mencoba mengganti popok. Kanaya baru pergi lima belas menit, dan Alya menatapnya dengan mata bulat yang penuh rasa was-was.
“Oke, oke, jangan lihat aku seperti itu. Aku bisa kok,” kata Rafa gugup sambil membuka lembaran popok baru.
Alya berkedip sekali, lalu menggeliat… dan begitu popok lama dilepas, ia malah menendang kaki Rafa dan tertawa.
“Tolong jangan nendang pahlawanmu, ya…” Rafa mengomel kecil.
Alya semakin cekikikan.
Lima menit kemudian… Popok berhasil terpasang. Agak miring. Tapi terpasang.
Alya menatap Rafa bangga… lalu mengangkat tangannya minta gendong.
“Ayah sementara-mu sudah sukses, ya?” gumam Rafa sambil mengangkatnya.
Entah kenapa, kalimat itu membuat dadanya hangat sekaligus perih.
Siang hari, Rafa mengajak Alya berjalan-jalan dengan stroller kecil di depan rumah. Orang-orang kampung mulai hafal wajah mereka.
“Lucu sekali, Nak,” kata ibu penjual sayur sambil mencubit pipi Alya.
Alya tertawa lagi—tapi hanya ketika melihat Rafa. Setiap kali Rafa menjauh sedikit saja, wajahnya langsung mengembung, bibirnya meringis.
“Dia suka kamu,” komentar si ibu sayur.
Rafa mengusap kepala Alya. “Aku juga suka dia.”
Ucapannya pelan, tapi tulus.
Sore itu, saat Kanaya pulang, ia mendapati Rafa tertidur di sofa… dengan Alya menempel di dadanya, kedua tangan mungilnya mencengkram kaos Rafa seolah takut terlepas.
Kanaya berhenti di ambang pintu. Senyumnya muncul tanpa sadar.
Pemandangan itu… terlalu berarti.
Bukan hanya ketenangan pada wajah Alya… tapi ketulusan pada wajah Rafa.
Seolah Alya tahu… Rafa adalah tempat aman.
Kanaya duduk pelan di sebelah mereka, mengusap rambut Rafa yang sedikit berantakan. Ia berbisik hampir tanpa suara,
“Terima kasih sudah menyayangi dia…”
Rafa membuka mata perlahan. “Aku nggak bermaksud ketiduran,” ucapnya malu.
Kanaya menggeleng, matanya hangat. “Tidak apa-apa. Alya suka tidur di dada kamu rupanya.”
Rafa menatap bayi yang masih tertidur. “Kalau dia bahagia… aku juga.”
Dan kalimat itu menembus pertahanan hati Kanaya lebih dalam dari apa pun yang pernah Barata lakukan.
Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, Kanaya membayangkan masa depan… tanpa rasa takut.
Masa depan di mana Rafa, bukan hanya pelindungnya, tapi juga… rumah bagi mereka berdua.
Semakin sering Rafa dan Kanaya terlihat bersama, semakin cepat desas-desus menyebar.
Awalnya hanya pandangan sekilas dari ibu-ibu tetangga ketika Rafa mendorong stroller Alya sendirian. Lalu bisikan—pelan, tapi cukup terdengar.
“Itu istrinya atau siapa?”
“Bayi siapa kok ikut sama laki-laki itu?”
“Mereka tinggal serumah tapi cincin nggak kelihatan…”
Kanaya tahu ada yang berubah dari cara orang menatapnya. Tidak lagi sekadar ramah pada pendatang baru—tapi penuh rasa ingin tahu yang tak selalu baik.
Di warung sayur, si ibu penjual sayur yang biasanya ramah sekali hari itu bicara dengan nada hati-hati.
“Maaf ya, Mbak… orang-orang di sini suka salah paham. Kalau mbaknya sama Mas Rafa… belum resmi… ya mungkin lebih baik bilang sama Pak RT dulu.”
Kanaya tertegun. Pipinya terasa memanas. “Kami… memang belum menikah,” jawabnya pelan.
Ibu itu mengangguk memahami, tapi ekspresinya menunjukkan bahwa itu akan menjadi bahan obrolan panjang malam nanti.
Malam harinya, Rafa melihat Kanaya duduk murung di teras, memeluk Alya yang baru saja tertidur.
“Ada apa?” tanyanya lembut.
Kanaya menelan ludah, berusaha menahan suara gemetar. “Mereka… mulai bertanya. Tentang kita.”
Rafa mendekat, duduk di sebelahnya. “Dan kamu takut aku malu?”
Kanaya menunduk. “Aku takut… kamu jadi menyesal sudah membawa kami ke sini. Karena kami membawa masalah.”
Rafa langsung menggeleng. “Kamu bukan masalah, Kak Nay. Kamu rumah yang aku pilih.”
Kanaya terdiam—pernyataan itu terlalu indah untuk langsung dipercaya.
“Tapi orang di sini tidak tahu…” suaranya pecah, “bahwa aku hanya ibu yang ingin menyelamatkan anakku. Mereka pikir aku… perempuan murahan yang ikut pria tanpa ikatan.”
Rafa menghela napas, panjang.
“Kalau aku boleh jujur,” katanya, suaranya pelan tapi tegas, “aku ingin mengikatmu. Tapi aku tahu kamu belum siap.”
Itu membuat Kanaya menoleh, menatap matanya.
Rafa menatap balik, jujur, tanpa keraguan. “Aku akan menikah denganmu kapan pun kamu mau. Tapi kalau kamu belum siap, aku akan menunggu. Setahun pun… seumur hidup pun.”
Hati Kanaya berguncang.
Ia ingin percaya.
Ia ingin merasa pantas.
Tapi bayangan Barata masih ada di belakang kepalanya.
“Aku hanya takut masa laluku ikut menghancurkan kita,” bisiknya.
Rafa tersenyum pelan. “Yang penting bukan masa lalumu… tapi masa depan kita. Dan Alya.”
Kanaya menatap bayi di pelukannya. Alya tidur dengan damai—seolah dunia tidak pernah menyakitinya.
Perlahan, Kanaya bersandar pada bahu Rafa. “Terima kasih sudah ada,” ucapnya lirih.
Rafa mengulurkan tangannya, meraih tangan Kanaya yang dingin. “Kita akan hadapi semua omongan itu. Tapi tidak sekarang. Malam ini… kamu istirahat.”
Kanaya mengangguk.
Dan untuk pertama kalinya…
ia tidak merasa bersalah karena bersandar pada seseorang.
Sejak gosip mulai beredar, tidur Kanaya tak pernah benar-benar nyenyak. Meski Rafa selalu menenangkan, kata-kata orang lebih tajam daripada pisau.
Malam itu, ketika Rafa sudah tertidur di sofa—seperti biasa setelah memastikan pintu terkunci—Kanaya duduk di samping jendela. Lampu teras yang Rafa sengaja nyalakan memantulkan cahaya kuning pucat ke wajahnya.
Ia memeluk lutut, tatapannya kosong menembus gelap.
Apa mereka benar?
Apa aku seperti perempuan murahan di mata mereka?
Apa aku membuat Rafa terlihat buruk?
Pikiran itu terus bergema, menghujam hingga membuatnya sulit bernapas.
Alya, yang tidur di boks kecil di sebelahnya, menggeliat pelan. Kanaya segera mendekat dan mengelus rambut lembut putrinya.
“Aku melakukan ini demi kamu, Alya…” suaranya hampir tak terdengar. “Kenapa masih terasa seolah aku salah?”
Air matanya jatuh, membasahi pipi. Ia cepat mengusapnya — takut terlihat lemah bahkan oleh dirinya sendiri.
Keesokan paginya, di toko roti, Kanaya berusaha bersikap normal. Tapi ia bisa merasakan tatapan dari beberapa pelanggan — bukan tatapan jahat, tapi tatapan yang menilai. Menilai tanpa tahu apa-apa.
Saat jam pulang bekerja, Kanaya pulang dengan langkah berat. Dari jauh, ia melihat Rafa sedang menyiram tanaman sambil menggendong Alya dengan gendongan dada. Pemandangan itu biasanya membuatnya hangat…
Namun hari ini, justru membuatnya khawatir.
Bagaimana kalau mereka menganggap Rafa dimanfaatkan?
Bagaimana kalau Rafa mulai malu memiliki dirinya dan Alya?
Rafa melihatnya datang dan tersenyum terang. “Hei! Kita beli martabak manis, ayo makan bareng!”
Tapi senyum Kanaya tidak seterang biasanya.
Rafa langsung bisa membaca itu. “Ada yang ganggu pikiranmu lagi?”
Kanaya menunduk. “Aku… aku takut menjadi beban. Aku takut semua orang menganggap kamu salah memilih kami.”
Rafa mendekat, menggeser gendongan Alya agar ia bisa menatap Kanaya lebih jelas.
“Kak Nay… aku memilih kamu bukan karena tidak punya pilihan lain. Aku memilih kamu karena kamu yang aku inginkan.”
Kanaya memejamkan mata, berusaha percaya.
“Tapi mereka terus membicarakan kita…”
“Biarkan,” jawab Rafa tegas. “Yang tahu cerita kita cuma kita. Mereka hanya menebak.”
Kanaya menarik napas gemetar. “Aku benci merasa… kotor di mata orang. Seolah aku ini wanita yang merebut kamu tanpa ikatan.”
Rafa menatapnya lama. Tatapannya tidak penuh iba — tapi rasa hormat.
“Kamu tidak perlu pembenaran dari siapa pun,” katanya, pelan tapi penuh bobot. “Kamu adalah ibu yang berjuang untuk anaknya. Itu kehormatan, bukan aib.”
Kata-kata itu tepat menyentuh luka di hati Kanaya.
Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia memeluk Rafa lebih dulu—bukan karena takut, tapi karena butuh tempat pulang.
Rafa mendekapnya erat, satu tangan menahan punggungnya, tangan lain mengusap kepala Alya yang tertidur di dada.
“Aku ada,” katanya pelan. “Dan aku tidak akan pergi.”
Kanaya mengangguk di bahunya, berjuang menahan isak yang ingin meledak.
Mungkin… ia tidak perlu lagi berjuang sendirian.
.
.
.
BERSAMBUNG
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
kira2 gmn akhir dari kisah ini
hahh jd anak itu anak siapa alya kok bisa kanya sma barata dan kok bisa alya hamil hadeh kepingan puzel yg bener2 rumit tingkat dewa 🤣🤣🤣🤣
jawaban dr alya anak dia bukan kira2 kasih flash back nya kapan 🤣🤣🤣
jane apa.sih iki 🤣🤣🤣
ini cerita gak tembus retensi, keterlaluan si LUN itu gak bantu promosiin 😤😤😤
ini bukan genre konflik etika, tetapi horor/ misteri