Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 – Rahim yang Mulai Berat
Nayara terbangun dengan napas terengah. Perutnya terasa kencang seperti ditarik dari dalam. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Di kamar kontrakan yang sempit itu, cahaya pagi yang masuk dari jendela kecil tampak lebih pucat dari biasanya.
Ia memegangi perutnya, mencoba duduk perlahan. Sudah beberapa hari ini tubuhnya terasa berbeda—berat, mudah pusing, dan sering kram mendadak. Tapi pagi ini lebih parah. Tangannya bergetar ketika ia meraih botol air di samping tempat tidur.
“Bismillah… kuat, Nay…” bisiknya pada diri sendiri.
Ia memejamkan mata, menahan nyeri yang turun naik seperti gelombang.
Sudah dua hari sejak Rendra terakhir datang. Dua hari sejak Nayara meminta pria itu menjaga jarak. Dua hari sejak Rendra pergi tanpa menoleh lagi.
Ia pikir semuanya akan terasa lebih ringan setelah boundaries itu ditegakkan.
Namun justru sebaliknya—kehamilannya terasa semakin berat. Dan hatinya… jauh lebih sesak.
Nayara menarik napas panjang, mencoba bangkit karena harus menyiapkan sarapan Nadim. Baru saja ia melangkah keluar kamar, tubuhnya limbung.
“Ka—” Belum sempat ia bersuara, pandangannya berputar.
Ia menahan diri dengan memegang dinding, napasnya memburu.
“Kak?” suara Nadim terdengar dari ruang tengah. Anak itu keluar dengan seragam sekolah setengah terpakai. “Kenapa? Kakak pucat… banget.”
Nayara memaksakan senyum. “Kakak nggak apa-apa. Cuma pusing sedikit.”
Nadim mendekat, menatap kakaknya penuh kekhawatiran. “Tapi Kakak kayak mau pingsan.”
“Aku cuma… kurang tidur.” Nayara menepuk bahu adiknya. “Kamu makan roti dulu, ya. Kakak siapin bekal nanti.”
Namun ketika ia hendak berjalan, tubuhnya kembali goyah. Nadim buru-buru memegang lengannya.
“Kak, duduk dulu!”
Nayara akhirnya duduk di kursi plastik kecil dengan napas yang masih kacau. Ia tahu ini bukan sekadar pusing biasa. Kandungannya sudah memasuki awal trimester akhir. Risiko komplikasi sangat tinggi, kata dokter Ardi dulu.
Tapi ia tidak bisa terus-menerus meminta Rendra mengantar ke dokter. Itu hanya membuat Karina semakin curiga… dan membuat jarak emosional yang seharusnya dijaga semakin kabur.
Nadim menatapnya bingung.
“Kak… kalau Kakak sakit parah, aku gimana?”
Kalimat polos itu menusuk lebih dalam dari yang seharusnya.
Nayara tersenyum samar, berusaha meyakinkan. “Kakak baik-baik aja kok.”
Tapi senyum itu runtuh ketika kram di perutnya kembali datang—lebih tajam, lebih lama.
Ia menggenggam ujung meja, menahan diri agar tidak meringis keras.
Nadim panik. “Kak! Kakak kenapa?!”
“Tidak… tidak apa…” Nayara mengatur napas. “Cuma sedikit kontraksi palsu.”
“Kontraksi?” Nadim membelalakkan mata. “Itu bukan kayak mau… lahiran?”
“Belum. Tenang.”
Tapi hatinya sendiri tidak tenang.
Kram ini tidak terasa seperti “palsu”.
Ada sesuatu yang salah.
Sore hari
Setelah Nadim berangkat sekolah, Nayara memberanikan diri pergi ke klinik dekat pasar. Ia tahu ini keputusan yang mungkin membuat Rendra marah, tapi ia tidak ingin merepotkan siapa pun. Tidak Karina. Tidak Rendra. Tidak siapa pun.
Namun setelah diperiksa singkat, dokter jaga mengerutkan dahi.
“Ibu harus ke rumah sakit lebih besar,” katanya. “Tekanan darah ibu rendah sekali. Ada gejala pre-eklamsia ringan, dan posisi kepala janin mulai turun lebih cepat dari seharusnya.”
Nayara menatap dokter itu dengan mata melebar. “Bahaya, Dok?”
Dokter tidak menjawab langsung—dan itu saja sudah cukup membuat Nayara takut.
“Kita harus pantau. Kalau dibiarkan, bisa berbahaya untuk ibu dan bayinya.”
Setelah itu, Nayara duduk sendirian di ruang tunggu. Orang berlalu-lalang, tapi semuanya terasa jauh. Telinganya berdenging. Dunia seperti mengecil.
Ia ingin menelepon seseorang.
Tapi siapa?
Karina?
Tidak mungkin.
Rendra?
Tidak boleh.
Nadim?
Tidak perlu membuat anak sekecil itu panik.
Tangannya gemetar saat meraba ponsel.
Akhirnya… tanpa sadar, ibu jarinya bergerak sendiri.
Nayara menekan kontak:
“Dokter Ardi – Kandungan.”
Nada sambung terdengar.
“Assalamu’alaikum, Dok…” suaranya lirih. “Saya… saya pusing, perut saya kencang terus dari pagi.”
Dokter Ardi langsung terdengar serius. “Posisi kamu di mana sekarang?”
“Di klinik dekat pasar… Dokter bilang tekanan darah saya turun. Ada tanda pre-eklamsia ringan.”
“Dengarkan saya,” ujar Dokter Ardi cepat. “Kamu harus ke rumah sakit sekarang. Saya kirim alamatnya. Saya akan urus kamar. Jangan pulang ke kontrakan dulu.”
Nayara menelan ludah. “Dok… saya takut.”
“Tidak apa. Saya ada di rumah sakit. Kamu aman.”
Nada itu tegas, menenangkan.
Namun ketakutan Nayara tidak hilang. Jika ia masuk rumah sakit, siapa yang akan lihat? Siapa yang akan tahu? Bagaimana dengan Karina?
Ia ingin menyangkal, ingin menolak, ingin pulang saja. Tapi tubuhnya tidak lagi memberi ruang untuk keras kepala.
“Baik, Dok…”
Setelah menutup telepon, ia berdiri pelan dan keluar dari klinik. Matanya terasa berat. Kakinya gemetar.
Ia memanggil taksi online.
Selama perjalanan, kontraksi halus muncul lagi. Dadanya terasa sesak. Ia menunduk, memeluk tasnya erat-erat.
“Bu, mau dicepetin?” tanya driver ketika melihat wajah Nayara yang memucat.
Nayara hanya mengangguk.
Ia tidak tahu apakah ia akan sampai tepat waktu.
Satu jam kemudian – Rumah Sakit Pratama Harapan
Nayara dipandu perawat menuju ruang perawatan khusus ibu hamil risiko tinggi. Dokter Ardi datang beberapa menit kemudian, wajahnya serius.
“Kamu harus rawat inap,” katanya tanpa basa-basi. “Bayi kamu baik, tapi tubuh kamu tidak stabil.”
Nayara mencoba tersenyum kecil. “Cuma beberapa hari, ya, Dok?”
“Tergantung kondisi kamu.”
Ia merasa duniannya makin menutup.
Dokter Ardi menatapnya penuh pengertian.
“Kamu tidak sendiri di sini. Semua kebutuhan kamu saya uruskan. Tidak perlu khawatir soal biaya.”
Nayara tahu siapa yang ia maksud.
Dan itu membuat hatinya semakin berat.
“Dok… jangan beritahu Pak Rendra.”
Dokter Ardi berhenti menulis.
“Nayara,” katanya pelan, “ini bukan saatnya menyembunyikan keadaan.”
“Saya tidak mau Ibu Karina salah paham,” jawab Nayara lirih. “Kalau dia tahu saya rawat inap dan Rendra bayar semua, dia pasti makin sakit.”
Dokter Ardi menghela napas, tapi tidak memaksa. “Baik. Untuk sementara saya tidak akan hubungi dia.”
Namun saat perawat memasang infus, Nayara merasakan gelombang nyeri menyerang lagi. Ia menggigit bibir, menahan suara.
Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan.
Dalam hatinya, hanya satu kalimat yang berulang:
“Aku sendirian… di antara dua dunia.”
Dunia yang ia masuki demi menyelamatkan adiknya.
Dan dunia tempat ia harus pergi setelah melahirkan.
Tak ada tempat ia benar-benar bisa bernaung.
Ketika malam datang dan lampu kamar perawatan diredupkan, Nayara memeluk perutnya erat-erat. Bayinya menendang pelan, seolah ikut merasakan kecemasannya.
“Maaf ya, Nak… Ibu kuat, kok,” bisiknya, meski ia tahu ia sendiri tidak yakin.
Saat ia memejamkan mata, air mata kembali mengalir.
Bukan hanya karena sakit.
Bukan hanya karena takut.
Tapi karena untuk pertama kalinya… ia merasakan betapa beratnya mengandung di tengah hati yang tidak punya tempat pulang.