Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#12
Nindi menutup mata saat tiba di depan kamar tidurnya. Sakit sungguh rasa hati Nindi saat ini. Tapi, sebisa mungkin dia tahan. Dia berusaha keras untuk berdamai dengan keadaan. Tapi, semakin lama, keadaan semakin tidak memihak pada dirinya.
Nindi pun langsung memutar gagang pintu setelah melepas napas berat. Namun, saat pintu terbuka, apa yang ada di depan mata malah langsung memancing amarahnya untuk bangkit kembali. Kamarnya berantakan bukan main. Semua barang yang ada di atas meja rias kacau berantakan.
"Apa ini? Apa yang sudah terjadi dengan kamar ini?" Nindi melihat sekeliling.
Alat-alat kosmetiknya rusak. Kamar itu seperti kapal pecah saja sudah. Mata Nindi tertuju ke arah balkon yang pintunya kini sedang terbuka. Tidak bisa menahan amarah, Nindi langsung menuju ke pintu tersebut.
Matanya menatap marah ketika dia melihat Afi yang sedang bersama Lena bermain di tempat tersebut. Sudah dia temukan siapa biang kerok yang telah merusak semua barang miliknya. Siapa lagi kalau bukan anak kesayangan keluarga tersebut.
"Mas Afi, apa yang sudah kalian lakukan? Kenapa kamar ini jadi berantakan?"
"Eh, Anin. Kamu sudah pulang? Maaf, Lena terlalu aktif hari ini. Baru juga aku tinggalkan keluar sebentar, dia sudah mengacak-acak meja rias kita," ucap Afi seolah hal itu bukan masalah besar.
Ya. Tidak masalah bagi Afi, tapi tidak menurut Nindi. Barang-barangnya rusak. Semua ini gara-gara ulah anak perempuan yang baru berusia hampir tiga tahun. Mungkinkah? Ah, entahlah. Nindi sendiri sudah tidak ingin memikirkan hal tersebut. Yang jelas, hatinya sangat marah. Semakin marah saat melihat tanggapan yang baru saja Afi berikan.
Beberapa kali Nindi berusaha melepaskan napas berat sebelum melepaskan kata-kata. Sungguh, dia ingin sekali mengamuk sekarang.
"Dia terlalu aktif," ucap Nindi sambil mengarahkan telunjuknya ke balita perempuan yang ada di depan suaminya. Ucapan yang Nindi lepaskan tentu saja dengan nada penuh penekanan, karena emosi wanita ini sedang sangat tinggi sekarang.
"Dia terlalu aktif, lalu kamu biarkan dia menghancurkan semua barang ku? Kamu sungguh ayah yang sabar ya, Mas. Sayangnya, yang dia hancurkan bukan barang milikmu. Barang-barang itu punya aku. Jadi, tolong, bawa anakmu ini keluar sekarang juga sebelum pikiran ku semakin tidak terkendali."
Hanafi langsung menghentikan tangannya yang sedang bermain boneka dengan Lena. Pria itu langsung menoleh karena kata-kata bernada berat yang Nindi ucapkan.
"Anin, apa yang baru saja kamu katakan? Apa yang kamu-- "
"Cukup, Mas Afi! Bawa anak ini keluar!" Nindi benar-benar sudah tidak tahan lagi. Amarahnya benar-benar memuncak.
Suaranya terdengar menggelegar memenuhi gendang telinga. Lena yang tidak terbiasa akan suara tersebut, tentu saja langsung menangis ketakutan.
Afi langsung memeluk keponakannya itu dengan cepat. Nyatanya, bukan hanya Lena yang terkejut, Hanafi juga sama. Sungguh, dia tidak pernah melihat sekalipun sisi kasar Nindi yang bisa membentak dengan suara nyaring. Apalagi, yang di bentak adalah anak kecil yang biasanya Nindi sapa dengan baik.
"Anin, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bersuara dengan nada tinggi? Lena jadi takut, Nin."
"Bawa dia pergi. Aku sudah bilang sebelumnya, bukan? Bawa dia pergi. Jangan buat aku kehilangan akal sehatku, mas Afi!"
"Anindia! Kamu sudah sangat keterlaluan." Kali ini, Hanafi pulalah yang bicara dengan nada tinggi.
Tentu saja tangisan Lena semakin kuat. Tangisan dan suara itu langsung mengundang mereka yang ada di ruang tengah untuk datang. Semua keluarga Afi kini ada di depan pintu kamar Nindi.
"Apa yang terjadi? Ada apa ini?" Nisa bertanya dengan wajah cemas.
"Lena. Kamu kenapa, sayang? Sini sama mama," ucap Desi sambil merebut anaknya dari Afi.
"Fi. Kenapa Lena bisa menangis? Suara gaduh-gaduh apa yang sudah kami dengar dari bawah? Apa suara itu yang membuat Lena ketakutan?" Nisa masih terus bertanya, walau pertanyaan pertamanya saja belum mendapatkan jawaban.
Tatapan tajam Hana tertuju pada Nindi. Telunjuknya pun bergerak lurus mengarah pada wanita tersebut. "Semua ini pasti gara-gara kamu, bukan? Kamu lah yang telah membuat keponakan ku ketakutan."
"Kamu gak ada habis-habisnya ya bikin masalah. Saat kamu masih tidak kunjung punya anak, kamu malah bikin anak orang lain ketakutan. Mau mu itu apa sih, ha?" Hana bicara lagi dengan tatapan menghakimi.
Selesai saja Hana bicara, suara Hanafi pun langsung terdengar. "Cukup. Pergilah kalian dari kamar ku. Aku ingin bicara dengan Anin. Keluarlah!"
"Kak. Kamu tidak bisa terus memanjakan dia. Kamu tidak bisa terus tunduk padanya. Kamu harus tegas. Jangan biarkan dia berbuat sesuka hati."
"Aku bilang cukup! Pergilah!"
Nisa tahu bahwa anak tengahnya sedang sangat marah. Tanpa banyak bicara, ia tarik tangan anak bungsu agar segera meninggalkan kamar tersebut.
Hana yang tidak rela, terlihat sangat tidak ingin meninggalkan kamar tersebut. Sepertinya, apa yang baru saja telah dia katakan pada Nindi masih belum cukup. Dia masih ingin terus mengeluarkan semua unek-unek yang ada dalam hatinya untuk menyakiti hati Nindi. Tapi sayang, tentu saja dia harus pergi karena sang mama sudah menarik tangannya dengan keras.
Setelah kepergian Hana dan mamanya, tinggal Nindi dan Afi di kamar tersebut. Suasana tiba-tiba terasa hening sesaat. Tatapan mata kesal dari keduanya terlihat dengan sangat jelas. Baik Afi, juga Nindi, keduanya sama-sama sedang menahan amarah dalam hati.
"Kenapa, Nin? Kenapa kamu berubah?"
Pertanyaan yang tiba-tiba keluar dari bibir Afi setelah hening selama beberapa saat. Dan, pertanyaan itu langsung membuat Nindi menatap tajam ke arah suaminya.
"Kenapa? Apa maksudnya pertanyaan barusan? Tidak! Apakah pertanyaan barusan itu harus aku jawab?"
"Tentu saja. Karena kamu sekarang semakin hari semakin berbeda. Kamu dulu tidak seperti ini, Anindia. Tapi sekarang, kamu sudah seperti orang asing saja di mataku."
"Ya. Aku orang asing. Karena memang sebentar lagi, kita memang akan jadi asing satu sama lain."
"Anin."
"Cukup, Mas Afi. Aku sudah sangat lelah. Aku sudah bosan bertahan. Aku capek."
"Kenapa kamu berubah begitu cepat, ha? Di mana Anindia ku yang dulu. Yang selalu sabar. Yang tatapannya selalu teduh. Yang selalu penuh cinta setiap harinya."
"Pertanyaan macam apa itu, Mas Afi? Jangan lontarkan pertanyaan yang kamu sendiri sudah tahu jawabannya. Itu sama saja dengan mubazir kata."
"Anin."
"Sudah ku katakan aku capek!"
"Jika kamu ingin Anindia mu yang dulu, maka jadilah Hanafi yang dulu. Jangan tuntut aku jadi sesuatu yang sama dengan yang sebelumnya. Karena perubahan ku itu tergantung pada dirimu, Mas. Kamulah yang telah mengubah aku jadi orang yang berbeda. Keluarga mu lah yang telah menghancurkan kesabaran yang aku miliki. Aku bukan malaikat, mas Afi. Aku juga bukan orang suci. Aku hanya manusia biasa yang punya batas kesabaran dan juga punya emosi. Ku harap kau mengerti."
anak selingkuhan desy..
kmu pasti bisa melewatix ,ad x
dukungan ayah mu nin...
sdh gk layak dipertahan kan rmh tangga mu nin...
tinggalkan afi .sdh gk ad yg pantas
pertahan kan ,jangan paksakan untuk
melewati kerikil2 itu ...
semoga pd menyesal ntt x setelah pisah sma nindi...biar tau rasa
itu karma mu.desi enak kan, dah rahim rusak gk bisa punya anak pelakor lagi. iuhh amit amit.
mnikah diatas derita wanita lain kok mau bhgia, nyadar lah kau itu pelakor.