_Simple Komedi horor_
Demian, seorang anak miskin yang mencoba kabur dari bibi dan pamannya malah mendapat kesialan lain. Ya.. ia bertemu dengan seorang pemuda sebayanya yang tidak masuk akal dan gila. Lantas apakah Demian akan baik-baik saja??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa yang Memotret?
Demian ketakutan setengah mati. Ia mundur dan menutup pintu kamar dengan keras, lalu melompat ke arah Alsid yang sedang tertidur dengan suara ngorok membelah malam.
"Sid! Bangun!" pekiknya panik.
Alsid membuka mata setengah sadar, mendapati Demian sedang berusaha masuk ke selimut bersamanya dengan ekspresi pucat pasi.
"Oh, Demian masuk ke selimut gue." gumamnya, hendak melanjutkan tidur kembali. Namun, beberapa detik kemudian...
"WOY!! APA-APAAN LU?!"
Dengan refleks luar biasa, Alsid berteriak kaget dan langsung menendang Demian hingga terjungkal ke lantai. Ia buru-buru menarik selimut ke atas tubuhnya sambil menatap Demian dengan tatapan ngeri seolah baru saja dilecehkan.
"ELU BENERAN BOTY, KAN?! ASTAGA, GUE KAN UDAH CURIGA DARI AWAL! KENAPA MASUK KE SELIMUT GUE?! ALASAN APA YANG MAU LU KASIH TENTANG SEMUA INI!! JANGAN-JANGAN.. JANGAN-JANGAN ELU EMANG NGINCER GUE SELAMA INI!!"
Demian bangkit sambil mengelus tulang ekornya yang nyeri. Ia melentingkan tubuhnya kebelakang, seperti kakek-kakek yang sedang encok, dengan ekspresi kesakitan tentunya.
"Astaghfirullah, bukan gitu! Aku ketakutan, Sid! Itu bonekamu tiba-tiba ada di depan pintu kamar kita barusan! Aku bukan nyari kesempatan! Yakali aja mau sama kamu yang idiot dan gila!! Aku kalau belok pun liat-liat cowok lah!! Gak mau sama kamu!!"
"Nah kan, beneran elu suka cowok!!"
Demian mendecakkan lidahnya. "Kan aku bilang tadi itu KALAU!! Bukan BENERAN T*I!!"
Alsid mencibir, setengah percaya, setengah ilfeel.
"Ah, alasan. Kalau lu suka cowok ya ngaku aja, jangan bawa-bawa boneka segala buat ngeles!"
"Ya Allah, enggak! Boneka itu emang tadi di depan kamar, Sid! Aku beneran lihat sendiri."
"Cukup! Sekarang buktiin! Kalau bener ada, ayo kita cek bareng."
Dengan malas, Alsid bangkit dari kasurnya. Masih menguap, ia berjalan ke arah pintu kamar dan membukanya lebar. Demian, yang ketakutan, bersembunyi di belakang tubuh Alsid.
Saat pintu terbuka, suasana sepi menyambut mereka. Tidak ada boneka. Tidak ada siapa-siapa.
Hanya ruang tengah yang hening dan gelap, diterangi cahaya dari lampu luar yang temaram.
Demian menelan ludah. Keringat dingin membasahi tengkuknya. Dia yakin boneka itu ada di sana tadi! Dan itu benar-benar mengejutkannya. Lalu sekarang??? Bagaimana ia akan menjelaskannya, kalau ia memang benar.
"Mana bonekanya, oh, Demian? Manaaa?" ejek Alsid sambil menoleh dengan ekspresi penuh kemenangan.
"Tadi beneran ada, aku nggak bohong!" tegas Demian, nyaris frustasi.
"Elu gangguan jiwa kali, ya? Udah ah. Sekali lagi elu nyeleneh dan betingkah yang mencurigakan, gue suruh tidur di luar." gerutunya sambil berjalan kembali ke kasurnya, menguap lebar dan menggelengkan kepalanya.
Demian tak menjawab. Dengan wajah kecewa, ia kembali ke dalam kamar. Keinginan shalat tahajud yang awalnya membara kini luntur total. Ia terlalu takut untuk keluar sendirian. Demian memang sepenakut itu kalau tentang hantu, meskipun ia rajin shalat sekalipun.
Akhirnya, malam itu ia tidur lagi, meski masih gelisah. Bau sabun cuci piring dan teror boneka tadi masih terasa menempel di kulitnya.
Subuh datang. Suara azan berkumandang dari masjid terdekat. Demian bangun lebih dulu. Ia mengusap wajah dan menatap langit-langit, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bangkit.
"Sid, ayo shalat subuh" panggilnya pelan.
Alsid menggeliat, lalu menenggelamkan wajah ke dalam bantal.
"Tidurrr... lima menit lagi..."
Demian mendesah. Ia tahu lima menit versi Alsid artinya dua jam. Karena tak ingin dosa karena meninggalkan shalat, ia memutuskan untuk shalat sendiri di rumah. Dengan langkah hati-hati, ia melewati dapur, jantungnya berdebar lebih cepat ketika melewati tempat terakhir si boneka muncul.
Tidak ada boneka. Tidak ada kejadian aneh. Hanya sunyi dan bayangan lampu dari luar. Dan boneka brengs*k itu, masih anteng pada tempatnya. Demian shalat subuh dengan perasaan waswas, ia takut bercampur tak khusu' mendengar dengkuran Alsid yang seperti kerbau disembelih.
Pagi hari, seperti sebelum-sebelumnya, Nehara datang ke kosan. Ia berteriak dari luar, sambil menggedor jendela kamar mereka, usai puas mengetuk pintu tanpa adanya jawaban. "ALSID! BANGUN! SEKOLAH WOY! LU BEDUA MATI APA TIDUR SIH?!"
Alsid melonjak dari kasur seperti baru ditusuk jarum. Rohnya seolah masuk ketubuh dalam keadaan terbanting. Demian yang terbangun tenang hanya tersenyum simpul melihatnya. Nyawanya belum terkumpul kalau untuk ngakak sendirian.
Dengan mata masih lengket, Alsid bersiap. Mereka berdua pun berangkat ke sekolah bersama Nehara, namun akhirnya mengambil jalan berbeda karena mereka tidak bersekolah di tempat yang sama. Tentu saja karena sekolah Alsid itu sekolah orang-orang kaya dan terpandang saja, bahkan sekelas pemilik kos seribu pintu pun tak mampu masuk ke sana.
Di sekolah, suasana berlangsung normal. Pelajaran terasa membosankan, tapi Demian berusaha fokus, mana mau ia melewatkan pelajaran yang ia ingin sekali untuk mengenyamnya itu. Namun di sisi manusia tidak tau diri, ia malah sibuk mencatat dan meramal kejadian apa yang akan terjadi dari pengobatannya nanti.
Kalau sakit gatal, obat dan dramanya begini. Kalau anak rewel dan demam, obat dan dramanya begitu. Seperti itulah kira-kiranya.
Sambil belajar dan memperhatikan tingkah Alsid, Demian masih memikirkan perkara boneka malam tadi. Ia mimpi buruk, tapi pada kejadian kedua ketika boneka ada di pintu kamar, itu nyata. Ia merasa dipermainkan. Sampai-sampai Alsid mengira ia tidak normal.
Disisi lain, sebenarnya Alsid mempercayai ucapan Demian. Hanya tak mau membuat anak itu takut. Kalau dia takut, yang mencuci piring malam-malam siapa? Masa' boneka itu? Awal membeli boneka pun boneka itu bergeser ke ruang tengah, dan Alsid berusaha memindahkannya. Artinya, ini sudah dua kali terjadi.
Setelah jam pulang, mereka kembali ke kosan dengan Alsid yang terus-menerus menggerutu perihal pekerjaan barunya.
"Gila, ya... hari ini kosong. Nggak ada yang dateng buat minta dukun. Padahal kemarin-kemarin kan rame orang ngebahas tentang gue," keluh Alsid sambil menendang kerikil di trotoar. "Kenapa sekarang gak ada ya? Apa gue kalah saing ama Pak Raji, karena dia dukun beken?!"
"Ya memang! Dia kan udah ada nama, kamu kan belum. Harusnya kalau mau rame, kamu harus rajin promosi."
Alsid menatap Demian dengan mata berkilat-kilat. "Nah, elu kan kang promosinya."
"OGAH!! Aku cuma mau bantu promosi sekali itu aja!" tolak Demian. "Lagian kan kamu bisa update story di media sosial, siapa tau ada yang liat," sahut Demian sambil mengangkat bahu.
Alsid mengangguk. "Iya juga." gumamnya sambil mengambil ponsel dan memeriksa foto di galeri yang sudah ia edit mengenai usaha perdukunannya. Tiba-tiba saja mata Alsid terhenti pada satu foto asing yang tak pernah ia liat sebelumnya. "Eh, lu pegang HP-gue ya semalem?"
Demian mengerutkan dahi. "Enggak. Kenapa?"
"Jangan bohong deh," kata Alsid, menatapnya curiga. "Soalnya ada foto baru di galeri gue."
"Foto apa?"
Alsid membuka galeri ponselnya. Ia membuka folder terbaru dan menunjukkannya ke Demian. Ekspresi wajahnya berubah serius.
"Lihat ini. Lu moto gue lagi tidur, kan? Emang penyakit nih anak!!"
Demian mencondongkan badan. Begitu melihat layar ponsel, jantungnya seperti dihantam palu.
Foto itu... adalah potret kamar mereka.
Kondisi ruangan tampak remang. Sorotan cahaya dari luar jendela masuk samar-samar. Yang membuat tubuh Demian mengeras adalah... Di dalam foto itu, tampak dua sosok: Yang sedang tidur lelap di tempat masing-masing.
Darah Demian langsung membeku kala melihat sudut pengambilan gambar. Foto itu jelas-jelas diambil dari ambang pintu kamar. Tepat dari luar. Seperti seseorang—atau sesuatu—memotret dari kegelapan.
"Ya Allah..." bisik Demian. "INI BUKAN AKU YANG FOTO!" pekiknya kemudian.
"ELU BILANG TADI BUKAN ELU! TERUS SIAPA? EMANGNYA GUE PERCAYA?!" balas Alsid memekik.
Demian merasa lututnya lemas.
"Aku... Aku enggak megang HP kamu. Kalau aku yang foto, terus kenapa aku juga ada di dalam foto itu?" ucap Demian, membuat Alsid mengerutkan dahi dan memeriksa ulang fotonya.
Mereka saling berpandangan. Wajah mereka pucat. Keringat dingin mulai membasahi tengkuk.
Alsid menggenggam ponselnya erat. "Iya lagi, kok.. elu juga ada dan lagi tidur di deket kaki gue?"
Sunyi. Tak ada suara. Hanya detak jam dinding diruang tamu dan suara angin dari luar jendela yang berbisik samar.
Mereka yang berada di ambang pintu langsung menatap lurus ke arah dapur.
Pikiran mereka... tidak bisa diam.
Siapa yang memotret?
Atau...
Apa yang memotret?
Bersambung...
kalou gak kena pasien akan ngebalik ke yang ngobatin maka jangan main main dengan peran dukun karena itu akan kembali ke kita kalau kekuatanya lebih kuat dari kita
semangat terus KA rimaaa, penasaran banget kelanjutan nyaa.