NovelToon NovelToon
AKU BUKAN WANITA SHALIHAH

AKU BUKAN WANITA SHALIHAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Spiritual / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: ZIZIPEDI

Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.

Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tekanan Dari Kampus

Keesokan harinya, suasana kampus terasa berbeda bagi Nayla. Sepanjang lorong, bisik-bisik terdengar tiap kali ia lewat. Beberapa mahasiswi menatapnya—bukan lagi dengan ramah, tapi penuh tanda tanya.

“Eh, itu Nayla, kan?” bisik salah satu mahasiswi.

“Iya, yang duduk semeja sama Pak Azam kemarin?” sahut yang lain dengan nada setengah tak percaya.

“Katanya bekal makan siang Pak Azam buatan dia, lho. Gila sih, berarti mereka ada apa-apa, ya?”

Nayla mendengar semua itu. Dadanya sesak. Langkah kakinya makin cepat menuju ruang kelas. Tapi bisikan-bisikan itu seolah mengejarnya.

Ketika jam istirahat, Siska menghampiri Nayla yang duduk sendirian di taman belakang fakultas.

“Nay, kamu nggak papa?” tanya Siska pelan.

Nayla hanya mengangguk, lalu tersenyum kaku. “Aku cuma lagi pengin sendiri.”

“Gosipnya makin liar, Nay. Katanya kamu pacaran sama Pak Azam. Bahkan ada yang bilang kamu istri simpanannya.” Suara Siska merendah, namun tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.

Nayla terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia tak pernah menyangka, perasaannya yang mulai berani menyambut cinta malah disambut sorotan penuh prasangka.

“Aku cuma pengin jaga nama baik suamiku, Sis. Tapi sekarang malah jadi begini...” suara Nayla nyaris tak terdengar.

Siska memegang tangan Nayla, menenangkannya. Tapi Nayla tahu, ini bukan sekadar masalah gosip. Ini tentang masa lalu yang tak bisa ia hapus, dan kenyataan bahwa dunia tak semudah itu menerima perubahan.

Dan yang paling ia takutkan, jika semua ini justru menjatuhkan Azam, bukan mendekatkan mereka.

Keesokan harinya di Kampus.

Hari itu langit mendung. Belum juga jam sepuluh pagi, kabar sudah beredar bahwa Nayla Azahra dipanggil oleh pihak dekanat. Bukan karena nilai, bukan pula karena pelanggaran akademik. Tapi karena gosip yang tak kunjung padam—tentang kedekatannya dengan salah satu dosen muda kampus: Pak Azam.

Nayla masuk ke ruang dekan dengan langkah tenang, tapi jantungnya berdebar hebat. Di dalam, sudah ada Ibu Nuraini, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, beserta satu staf administrasi dan Ketua Prodinya.

Ibu Nuraini menatap Nayla dengan penuh pertimbangan. “Kami tidak ingin menyudutkanmu, Nak Nayla,” katanya lembut, “tapi beberapa mahasiswa dan bahkan dosen mulai mempertanyakan... hubunganmu dengan Pak Azam.”

Nayla menunduk. Ia sudah mempersiapkan diri untuk momen ini.

“Benarkah kalian memiliki hubungan pribadi di luar kampus? Jika benar, kami butuh kejelasan. Karena ini menyangkut etika dan nama baik institusi.”

Nayla mengangkat wajahnya perlahan. Sorot matanya tak lagi takut, justru ada keteguhan di sana.

“Ya, saya memang memiliki hubungan pribadi dengan beliau. Tapi itu bukan hubungan terlarang.” Ia menarik napas, lalu berkata perlahan namun jelas, “Pak Azam adalah suami saya yang sah secara agama. Kami telah menikah sembilan bulan yang lalu... dan belum pernah bercerai.”

Ruangan seketika sunyi.

Ibu Nuraini dan yang lainnya tampak terkejut.

“Kami... kami tidak tahu,” gumam Ketua Prodi. “Kenapa tidak memberi tahu sejak awal?”

Nayla tersenyum pahit. “Karena saya tak ingin membebani Pak Azam dengan reputasi saya. Itulah kenapa saya memilih diam.”

Ibu Nuraini terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Tapi pilihan untuk diam inilah yang membuat gosip menjadi liar. Kami harap setelah ini, semuanya bisa lebih terbuka. Demi kebaikan bersama.”

Nayla mengangguk. “Saya akan menulis pernyataan resmi bahwa hubungan kami tidak melanggar norma. Dan... jika dirasa perlu, saya siap mengundurkan diri sebagai mahasiswi.”

Ibu Nuraini mengangkat tangan cepat. “Jangan ambil keputusan tergesa-gesa. Kita akan bicarakan ini dengan Pak Azam juga.”

Hari itu, Nayla pulang dengan hati yang tercabik, tapi ada satu rasa yang tumbuh, kelegaan. Kebenaran akhirnya tak lagi dikurung.

Keesokan harinya, giliran Azam yang menerima surat pemanggilan resmi dari dekanat. Tidak ada ekspresi yang berubah di wajahnya. Ia sudah menduga hari ini akan datang. Dengan jas almamater rapi dan tas selempang di tangan, ia melangkah menuju ruang pertemuan pimpinan fakultas.

Di dalam ruangan, suasananya lebih tegang dari biasanya. Ibu Nuraini duduk di kursi tengah, diapit oleh Ketua Prodi dan perwakilan dosen senior. Mereka menatap Azam dengan serius, bukan marah, tapi jelas mengandung tuntutan penjelasan.

“Pak Azam,” Ibu Nuraini membuka, “kami memanggil Anda untuk menindaklanjuti isu yang berkembang—terkait dugaan kedekatan pribadi Anda dengan salah satu mahasiswi, Nayla Azahra.”

Azam duduk tenang, menatap satu per satu wajah yang hadir. Lalu ia angkat bicara.

“Yang beredar memang benar. Nayla bukan sekadar mahasiswi bagi saya. Dia... istri saya yang sah di mata agama.”

Beberapa orang terdiam sejenak, sama seperti reaksi sebelumnya ketika Nayla berkata demikian.

“Namun kami belum mengajukan pemberitahuan resmi karena kondisi hubungan kami sedang... dalam masa jeda. Tapi tidak pernah ada talak. Tidak ada perpisahan. Kami hanya saling memberi ruang untuk memperbaiki diri.”

Ketua Prodi mencondongkan tubuhnya, bertanya pelan, “Kenapa tidak menyampaikan sejak awal, Azam?”

“Karena saya ingin menjaga martabat Nayla. Dia datang ke sini bukan sebagai istri saya, tapi sebagai perempuan yang sedang belajar menjadi lebih baik. Saya tak ingin masa lalu kami jadi sorotan yang mengganggu prosesnya menuntut ilmu.”

Ibu Nuraini terlihat menimbang. “Lalu sekarang bagaimana, Pak Azam? Mahasiswa sudah mulai resah. Anda tetap mengajar di kelas yang sama, dan Nayla dalam posisi terjepit.”

Azam mengangguk paham. “Saya siap mengambil langkah. Bila perlu, saya mengajukan diri untuk sementara tidak mengajar di kelas tempat Nayla berada. Tapi saya mohon, jangan paksa dia mundur. Nayla sudah cukup kuat untuk berdiri kembali setelah semua luka itu.”

Kata-kata itu membuat suasana melunak.

Akhirnya, dekanat memutuskan untuk mengatur rotasi kelas Azam demi meredam gosip dan memberi ruang aman bagi Nayla. Namun, keputusan akhir juga akan menunggu diskusi lanjutan dengan rektorat.

Hari itu, Azam keluar dari ruang dekanat dengan hati yang ringan. Ia tahu, walau harus menghadapi banyak hal, ini langkah yang benar.

Dan untuk pertama kalinya, Azam menyadari: ia tak ingin kehilangan Nayla lagi—apa pun yang harus ia perjuangkan.

Malam itu, Nayla duduk termenung di serambi asrama, usai mengerjakan tugas kuliah. Suara angin berbisik lembut di sela-sela dedaunan kampus yang mulai sepi. Pikirannya kalut sejak pagi, semenjak dipanggil dekanat dan diberi tahu bahwa Azam juga menjalani pemanggilan serupa.

Namun, yang lebih menggetarkan hatinya adalah kabar dari Siska—sahabat satu kelasnya—yang mendengar langsung dari salah satu staf akademik bahwa Azam tak menyangkal apa pun. Bahkan, Azam mengakui dengan tegas bahwa Nayla adalah istrinya yang sah. Di hadapan pimpinan fakultas.

Air mata Nayla menetes pelan. Bukan karena takut, bukan karena malu—melainkan karena dihargai. Dicintai tanpa dipaksa untuk menutupi masa lalu. Azam benar-benar melindunginya.

Keesokan harinya, Azam mengetuk pintu asrama dan meminta izin untuk bertemu Nayla secara baik-baik, melalui perantara staf kampus. Ia tak ingin lagi mendekat diam-diam. Setelah izin disetujui, Azam menjemput Nayla bukan untuk sekadar berbicara, tetapi untuk membawanya ke sebuah tempat yang sudah lama tak Nayla datangi: rumah Abi Haji Ibrahim.

Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam. Namun, keheningan itu bukan dingin, melainkan teduh. Mereka tahu, hari ini bukan tentang menuntut jawaban, tapi mencari petunjuk bersama.

Sesampainya di rumah, Abi menyambut dengan mata yang hangat, meski mengandung pertanyaan dalam diamnya. Mereka duduk bersama di ruang tengah. Azam yang membuka suara lebih dulu.

“Abi... kami ingin bertanya soal status kami. Kami belum pernah bercerai secara lisan maupun tertulis. Tapi kami juga belum kembali dalam ikatan suami istri. Apakah... kami harus menikah ulang?”

Abi mengangguk pelan, lalu mengambil mushaf di rak kecil samping tempat duduknya. Tangannya membuka surat Ath-Thalaq, lalu menatap keduanya.

“Dalam syariat, talak itu hanya sah jika diucapkan oleh suami. Jika Azam belum pernah mengucap talak, baik secara langsung maupun tersirat dengan niat cerai, maka status kalian masih suami istri yang sah.”

Nayla menunduk. “Tapi kami tidak tinggal serumah, Abi. Kami bahkan seperti orang asing selama berbulan-bulan...”

Abi menepuk pelan tangan Nayla. “Namun tidak semua pisah rumah adalah perceraian. Jika tidak ada talak, maka tidak ada perceraian. Itu hukum Allah, Nak.”

Azam menghela napas, lalu menggenggam tangan Nayla perlahan. “Aku tidak pernah ingin menceraikanmu. Aku hanya butuh waktu untuk memahami luka-lukaku. Tapi sekarang, aku ingin menjemputmu kembali... jika kau bersedia.”

Nayla menatap Azam, matanya berkaca-kaca. Masih ada ragu, masih ada luka. Tapi untuk pertama kalinya, hatinya terasa dilindungi, bukan dihakimi.

Abi tersenyum. “Kalau begitu, bimbinglah dia dalam iman dan taqwa. Dan kamu, Nayla... bersyukurlah jika Allah masih memberimu kesempatan kedua.”

Azam dan Nayla saling mengangguk—bukan sebagai dua orang asing, tapi sebagai dua jiwa yang siap menata ulang jalan pulang mereka. Bersama.

1
Julicsjuni Juni
buat Nayla hamil thorr...buat teman hidupnya.. kasian dia
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan
Julicsjuni Juni
hati ku,ikhlas ku belum bisa seperti Nayla... astaghfirullah
Iis Megawati
maaf mungkin ada cerita yg kelewat,merekakan dah berpisah berbulan" ga ada nafkah lahir batin dong,dan bukankah itu sudah trmasuk talak 1,yg dmn mereka hrs rujuk/ nikah ulang maaf klo salah/Pray/
Zizi Pedi: Tidak, secara otomatis tidak terhitung cerai dalam hukum Islam hanya karena suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin, karena istri yg pergi dari rumah. Perkawinan tetap berlaku hingga ada putusan cerai dari Pengadilan Agama atau jika suami secara sah menceraikan istrinya. Namun, suami yang melalaikan kewajibannya seperti tidak memberikan nafkah lahir dan batin adalah perbuatan yang berdosa dan dapat menjadi alasan bagi istri untuk mengajukan gugatan cerai. Tetapi dalam kasus Azam dan Nayla berbeda, mereka saling mencintai dan tak ada niat untuk bercerai jadi mereka masih sah sebagai suami istri. Dan talak itu yg punya laki2. untuk pertanyaan kk tentang talak 1. Mereka bahkan tidak terhitung talak kk, karena Azan g pernah mengucapkan kata talak. dan untuk rujuk talak 1 Setelah jatuh talak satu, suami dan istri masih bisa rujuk kembali tanpa harus akad ulang selama istri masih dalam masa iddah. Talak satu disebut talak raj'i, yang berarti suami masih berhak merujuk istrinya selama masa iddah. Jika masa iddah telah habis, maka untuk kembali bersama, mereka harus melakukan akad nikah ulang. TAPI SEBAGAI CATATAN (Azam tidak pernah mengucap talak untuk Nayla, jadi mereka masih sah suami istri meski tanpa menikah ulang.)
total 1 replies
R I R I F A
good... semangat up date ny
Zizi Pedi: terima kasih Kk
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!