"Oke. Dua Cinnamon Pumpkin Chai latte," jawab gue sambil mencatat di kasir. Gue perhatikan dia. "Kalau mau sekalian nambah satu, gue kasih gratis, deh!"
"Lo kira gue butuh belas kasihan lo?" Nada suaranya ... gila, ketus banget.
Gue sempat bengong.
"Bukan gitu. Lo, kan tetangga. Gue juga naruh kupon gratis buat semua toko di jalan ini, ya sekalian aja," jelas gue santai.
"Gue enggak mau minuman gratis. Skip aja!!"
Ya ampun, ribet banget hidup ini cowok?
"Ya udah, bebas," balas gue sambil mengangkat alis, cuek saja. Yang penting niat baik sudah gue keluarkan, terserah dia kalau mau resek. "Mau pakai kupon gratis buat salah satu ini, enggak?"
"Gue bayar dua-duanya!"
Oke, keras kepala.
"Seratus sebelas ribu," sahut gue sambil sodorkan tangan.
Dia malah lempar duit ke meja. Mungkin jijik kalau sampai menyentuh tangan gue.
Masalah dia apa, sih?
────୨ৎ────
Dear, Batari Season IV
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Caspian Si Narko Boy
Matanya langsung melebar, "Lo pikir gue diperkosa?"
"Dan lo kira ini semua lucu? Dengar ya, gue punya usaha persis di sebelah sini. Gue enggak bisa bersikap santai aja kalau ada orang jahat yang bisa masuk seenaknya di toko kita terus enggak dilaporin. Gue enggak punya duit sebanyak lo. Jadi gue juga enggak punya alarm canggih yang bisa kasih tahu kalau ada yang masuk. Dan jelas gue juga enggak setuju sama keputusan lo buat matiin alarm dan ngebebasin tuh orang bawa kabur entah berapa duit. Enggak ada juga pemilik usaha lain di jalan ini yang bakal setuju kalau mereka tahu apa yang barusan terjadi. Paham?"
Gue silangkan tangan di dada. Padahal sih, gue juga sebenarnya enggak berniat lapor ke siapa-siapa. Gue bukan tipe orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Tapi sumpah, dia bikin gue ingin mengamuk.
Bibir bawahnya mulai gemetaran, dan gue langsung buang muka. Gue lebih suka melihat dia keras kepala dan melawan gue, daripada sekarang. Tampak seperti cewek rapuh yang butuh diselamatkan, dengan bibir tebalnya yang menggoda itu, sama mata besarnya yang seksi banget. Dan ya, pandangan gue akhirnya jatuh ke pahanya yang terbuka. Sial, susah banget buat enggak memperhatikannya.
"Dia gak bakal ngerecokin usaha orang lain. Tolong, jangan bilang-bilang ke siapa pun. Bisa enggak kita pura-pura kalau itu orang iseng yang lempar batu ke pintu gue? Gue bakal bayarin semuanya, beresin pintunya, dan gak ada yang perlu tahu lebih dari itu. Gue enggak akan tenang kalau mikir dia bisa ngelakuin hal yang sama ke orang lain. Tapi sumpah, dia gak bakal kayak gitu. Gue bukan orang jahat," dia hapus air matanya, dan gue sodorkan satu tisu lagi ke dia.
Bodo amat, lah. Gue gak butuh drama sialan ini. Apalagi dia dari keluarga Batari, dan sekarang gue malah terjebak di tengah omong kosong ini.
"Oke. Sekarang lo punya dua pilihan, dan dua-duanya lo enggak bakal suka."
"Lo benaran lagi nikmatin ini, ya? Dekat-dekat sama gue padahal lo sendiri enggak tahu kenapa lo benci sama gue."
"Lucu lo ngomong gitu, karena sekarang gue benar-benar benci lo, benci karena lo ngizinin si berengsek itu masuk rumah lo dan kabur kayak enggak ada apa-apa. Gak bisa kayak gitu. Jadi pilihannya, kita lapor polisi, atau lo kasih tahu gue siapa pelakunya, dan gue yang mutusin mau ngelaporin apa enggak."
"Lo tuh cowok tolol yang haus kekuasaan, ya?" katanya sambil jalan memutar di depan gue. Saat dia berhenti dan menyilangkan tangan di dada, kausnya naik sedikit, tampak banget paha kurusnya. Gue langsung deg-degan. Mata gue otomatis turun ke pahanya, terus naik pelan-pelan ke badannya sampai akhirnya tatapan dia menangkap mata gue.
"Terserah lo mau bilang gue apa. Tapi itu kesepakatannya!"
"Kalau gue enggak mau pilih dua-duanya?"
"Ya udah, gue telpon polisi dan bilang lo bantuin si berengsek itu buat kabur. Lo tahu sendiri kan gimana orang-orang Royal Blossom kalau udah ngomongin maling. Ini bakal jadi gosip sekota. Gak ada yang mau beli kopi lo kalau lo ketahuan belain penjahat."
Gue memang lagi menyebalkan sekarang, dan susah banget tahan tawa waktu lihat muka dia yang sampai melongo kayak begitu.
Dia hembuskan napas panjang. Matanya sempat melirik bibir gue sebentar, terus balik lagi ke mata gue. Setelah itu dia bicara pelan, "Itu adik gue."
"Caspian? Bukannya dia lagi di tempat rehabilitasi? Dia ada di sini, di Royal Blossom?"
"Harusnya. Tapi sejak terakhir gue lihat dia minggu lalu, dia enggak pernah balik rehab lagi. Dia pakai barang lagi," katanya sambil gemetaran, air matanya makin deras.
Sial.
Gue kenal banget sama rasa sakit itu. Gue sendiri tumbuh di lingkungan pecandu. Gue juga lihat bagaimana Mama sama adik gue hancur gara-gara itu.
"Gue mohon, jangan laporin dia, Nauru. Keluarga gue udah cukup hancur. Mama-Papa gue bahkan enggak tahu kalau dia ada di sini sekarang. Dia bilang butuh duit buat balik ke tempat rehab. Dia lagi kambuh."
"Lo percaya dia?" tanya gue.
Gue memang kesal sama orang itu. Tapi dari muka Ailsa, tampak banget dia sayang sama adiknya. Sakitnya enggak bisa disembunyikan. Dan rasa sakit itu, gue juga pernah rasakan.
"Gue juga enggak tahu. Tapi kalau gue nyerah sama dia sekarang, dia benaran bakal sendirian. Dia nyolong duit karena malu minta ke gue ... kalau dia pakai duit itu buat beli barang lagi."
"Dia pakai topeng waktu kabur di gang belakang. Kok, lo bisa yakin itu dia?"
"Soalnya waktu dia masuk, dia nyuruh gue balik ke atas. Terus pas gue teriak ke dia, dia bilang butuh duit buat balik ke rehab. Jadi gue buka laci kasir dan lemparin semua duitnya ke dia. Dia pasang lagi maskernya, terus kabur bawa duit itu."
Gue garuk belakang leher, benar-benar bingung harus berbuat apa sama info ini. Hazerrie, sih pasti senang banget, soalnya dia dari dulu ingin lihat si berengsek itu kena batunya. Jujur saja, gue juga enggak keberatan.
Tapi melihat Ailsa yang segalau ini, bikin gue ragu.
"Oke. Gue enggak bakal ngomong ke siapa-siapa. Tapi lain kali kalau ada yang kayak gini lagi, mending lo diam aja di apartemen, kunci pintu rapet-rapet, biarin alarm bunyi. Kalau dia enggak sempat kabur sebelum polisi datang, ya sudah, berarti dia penjahat amatiran, soalnya lo tahu sendiri kan, polisi di sini leletnya kayak siput," kata gue.
Bibirnya tertarik sedikit ke atas, seperti menahan senyum.
"Ailsa, kalau dia lagi make, dia bisa berbahaya. Narkoba tuh selalu menang kalau udah masuk darah."
Gue tahu kalau Caspian punya masalah sama opioid. Satu kota juga tahu. Keluarga Batari sudah mati-matian buat menutupi kasus ini, tapi namanya sudah terlalu terkenal, sering teler di mana-mana.
"Makasih. Lo boleh pulang. Gue udah enggak apa-apa, kok," katanya sambil tarik-tarik ujung kaosnya, kayaknya baru sadar kalau dia enggak pakai celana.
Gue geleng pelan. "Gue tetap bakal nunggu lo di sini. Atau Lo mau ke rumah Mama-Papa lo?"
"Enggak. Gue mau stay di sini aja."
"Yang benar aja. Gak bakal gue biarin!"
Dan ya, kita ribut lagi.
Dia mungkin menang di perdebatan pertama, tapi yang ini?
Enggak bakal gue kasih menang.
sampe Nauru akhirnya mau minuman gratis di cafe Ailsa 🤭
walau di cerita awal, Caspian itu adiknya tapi disini jd kakaknya, gpplah. mohon lanjutannya Thor 🙏🙏🙏🙏